Joss sadar mencari-cari kekurangan atas sesuatu jauh lebih mudah ketimbang menerima kondisi apa adanya. Namun jika ini menyangkut perkara Gawin, Joss tak pernah merasa kurang karena semua hal membuatnya cukup. Hubungan mereka memang terlampau pelik untuk diberi tajuk apa pun. Joss bahkan tak berani memberikan fanservice terlalu gamblang di depan publik karena takut emosinya terpampang jelas pada raut wajah. Namun, ketika syuting kian mendekati akhir dan semakin banyak waktu yang ia habiskan bersama Gawin, Joss barang tentu tak dapat menyembunyikan buncahan emosi cinta itu lebih rapat lagi.
"Muka lu nempel banget dah di leher gue," komentar Gawin sembari menatap layar iPhone-nya yang menampilkan kicauan Joss di X. "Lu sengaja ya upload foto kita yang ini?"
"Hehe..." Joss cuman nyengir seraya membuka hoodie abu-abunya yang penuh dengan pasir pasir pantai, lalu menyampirkannya begitu saja ke punggung kursi kamar hotel. "Gue bisa aja upload foto kita yang lebih vulgar tapi gue pilih itu karena gue lucu."
Buk!
Gawin melempar bantal dan memberengut. "Tai lu," umpatnya seraya meletakan smartphone-nya ke atas nakas lalu mulai membuka baju. Ia bisa melihat ekor ain Joss memperhatikannya dengan intens dan langsung menoleh pada pria itu sekejap setelah ia bertelanjang dada. "Apa lu lihat-lihat? Kayak gak pernah lihat gue telanjang aja."
Joss sontak terbahak, menyadari kalau Gawin akan terus membuatnya terpana terlepas seberapa banyak mereka bercinta. "I just really like your body, Babe. Can you just let me stare peacefully? Hahaha."
Dengusan Gawin terdengar nyaring di kamar hotel yang hanya mereka berdua tempati, lalu ia membuang muka cepat dan berjalan ke arah kamar mandi. "Gak bisa gue sama lu," komentarnya singkat, tapi tak ayal ia berbalik menoleh pada Joss lalu berkata, "Lu mau ikut mandi bareng gue gak?"
"Maulah!" Senyum sumringah Joss tampak jelas pada wajahnya, lalu gegas ia membugilkan diri sebelum menyusul Gawin menghilang di balik pintu kamar mandi.
.
.
.
Malam terakhir di Chonburi, Joss dan Gawin menghabiskan waktu di patio kamar hotel yang menjorok pada pemandangan ke laut dengan kaleng bir di tangan masing-masing. Mereka telah menuntaskan syuting di tempat ini dengan sangat baik. Sutradara memuji mereka dan pemeran lainnya berkata optimis kalau series ini akan meledak jika tayang. Mendengar itu semua seharian ini Joss memilih untuk menanggapi semua percakapan itu dengan rendah hati meskipun tak urung jua ia memikirkan masa depan yang tak pasti.
"Kalau series ini udah tayang lu mau apa?" Joss membuka percakapan pertama mereka malam ini setelah mereka berdua terdiam cukup lama hanya untuk memandangi langit yang membiru kelam.
Gawin menyesap sedikit birnya sejenak sebelum menjawab, "Ya, mau apa lagi? Kita bakal sibuk promosi ke sana kemari lah."
Senyum Joss tersungging landai, itu memang pertanyaan bodoh. "Maksud gue, kek... apa? Lu gak ada rencana lain sama gue selain promosi doang?"
"Entalah, lihat aja entar," sahut Gawin sekadarnya, ia sedang tak ingin berpikir terlalu rumit tapi Joss kadang suka mengundangnya menelisik hal-hal perkara masa depan terlampau dalam. "Emang lu masih mau main series bareng gue lagi?"
Joss diam sejenak, tapi senyumnya melebar. "Mau, gue ngerasa akting gue improve banget pas sama lu. Jadi, gue pengen akting di banyak series sama lu."
"Bukan karena lu suka sama gue?"
Tawa Joss berkumandang, rona wajahnya memerah karena alkohol dan malu. "Ya, itu juga sih. Enak kan kalau kerja sama orang yang kita suka."
"Hmmh." Gawin hanya bergumam lirih, seraya kembali menyibukan bibirnya menenggak lebih banyak bir.
"Tapi yah, kalau lu cuman mau proyek sama gue di series ini doang ya gak papa juga sih. Gak akting bareng lu lagi bukan berarti gue gak bisa ketemu lu kan."
Sunyi itu terasa ganjil dan Joss takut jika apa yang dikatakannya membuat Gawin mulai memikirkan hal-hal pelik. Sesungguhnya ia hanya ingin membicarakan hal-hal baik di tempat ini karena selama beberapa hari semua hal terasa baik tapi Joss kadang tak bisa menahan diri tiap kali ia ditinggal berdua dengan Gawin. Rasa nyaman itu selalu menghantarkan mereka pada percakapan seperti ini dan Joss tak bisa mendustai diri sendiri bahwa laki-laki itu membuatnya tergila-gila setengah mati.
"Sorry, Joss, gue gak bisa mikir terlalu jauh ke depan," tanggap Gawin seraya meletakan kaleng birnya yang kosong ke atas meja di antara mereka. Ia tersenyum pada pria yang duduk di sampingnya kendati kedua mata itu tak menunjukkan binarnya sama sekali. "Gue cuman bisa mikir semua yang terjadi sekarang dan sekarang gue lagi sama lu. Itu aja udah cukup buat gue."
Semu di wajah Joss kian mentereng merah terpapar lampu temaram patio itu; mendadak semestanya terasa penuh dengan eksistensi Gawin pada kala kini karena apa yang barusan Gawin katakan juga ia rasakan saat ini. Untuk sekarang, detik ini, momen ini, ia merasa cukup dengan hanya bersama dengan Gawin.
"Yah, gue juga sih," tanggap Joss akhirnya, setelah setengah mati mencoba menenangkan degup jantungnya sendiri. "Gue cukup sama kita sekarang."
Gawin tak urung tersenyum, ia memahami bagaimana hubungan mereka yang abu-abu ini masih jadi misteri bagi diri mereka masing-masing. Namun ketika Joss dan ia kini berada dalam lembar buku yang sama tanpa harus saling menyakiti dengan ekspektasi dan menahan diri. Gawin rasa mereka berdua saat ini berada di titik terbaik yang bisa mereka berikan pada satu sama lain. Hubungan mereka memang semakin rumit sejak berubah dari teman nongkrong menjadi teman seranjang, lalu kini semakin kusut dengan hubungan profesional di industri yang menuntut mereka berakting layaknya sepasang kekasih di depan kamera. Gawin kira, berada di titik abu-abu dan memasang batas-batas adalah cara terbaik untuk menjaga kewarasan mereka. Jangan terlalu gegabah, pelan-pelan saja. Jika nanti kisah ini menemukan akhir—apa pun itu, barangkali adalah akhir yang terbaik.
"Win, ngomong dong, kalau diam-diaman gini mending kita ciuman aja gak sih," kata Joss akhirnya setelah mereka terdiam dan melarung terlampau jauh dalam pikiran masing-masing.
Gawin hanya tertawa pendek, sebelum akhirnya menarik bahu Joss mendekat, membawa wajah mereka bersitatap, dan bibir pun melekat satu sama lain. Ciuman itu barangkali terasa sama seperti yang sudah-sudah—lengket, lembut, dan semerbak dengan wangi alkohol. Namun, Gawin maupun Joss selalu menikmati setiap detik yang dihantarkan ciuman mereka pada tubuh masing-masing. Birahi itu memuncak seiring dengan tiap pilinan lidah dan pagutan yang tertukar begitu dalam dan intens.
Joss mulai meraba dada, bahu, dan tengkuk Gawin. Jemarinya menelaah tubuh itu dengan tekun seolah tengah memahatnya dalam pikiran sendiri. Lalu ia mengambil jeda beberapa detik untuk membiarkan mereka menarik napas sejenak dan berkata, "Ayo, pindah ke kasur."
Lantas, Gawin pun mengangguk setuju dan menutup percakapan mereka petang itu dengan seks semalam suntuk.
.
.
.
[JOSS X GAWIN] HAL-HAL BAIK DI CHONBURI - EXPLICIT PART 🔞
NO PASSWORD NEEDED!
TW ⚠
NSFW, SMUT, Explicit Content, Vulgar, dirty talk
LINK Privatter: https://t.co/brWKqn6z8k
.
.
.
Trivia.
Besok paginya, Joss ngecek aplikasi X dan lihat Gawin ternyata nge-post foto yang sama persis yang dia post kemarin malam.
"Lah, lu kok nge-post yang sama kayak gue."
Gawin mengangkat bahu. "Soalnya gue juga lucu."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Joss x Gawin] Our Alternative Reality
Fanfiction"Joss..." "Hm?" "Lu masih mau nunggu gue gak?" Gawin menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosi yang meluap-luap. Ia menyandarkan kepalanya pada dada Joss dan mendengar dengan saksama bagaimana jantung pria itu berdegup dengan nyaring...