3. Bingung

160 14 3
                                    


"Lu sama Gawin baik-baik aja 'kan?"

Joss melirik Bright sejenak, lalu tersenyum landai sementara kedua manik mata menatap pantulan wajah sendiri pada dua gelas wine di atas meja. Bar ini minim pengunjung di pertengahan minggu karena hanya orang gila saja yang ingin menghabiskan waktu untuk bermabuk ria di hari Rabu.

"Baik..." sahut Joss setelah berdiam cukup lama. "Gawin lagi liburan."

"Terus ngapain lu ngajakin gue minum-minum berdua doang?" tuding Bright lagi dengan kening berkerut dalam. "Gabut amat lu?"

Tawa halus lolos dari bibir Joss, menyadari kalau apa yang ia lakukan saat ini bukan sesuatu yang lazim. "Gak tahu, gue pengen ngobrol sama lu aja."

"Ngobrolin apa? Gak jelas lu anjir. Kalau ngobrol bisa lewat telepon, gak usah ketemu, Bro."

Diam lagi, Joss tahu Bright benar soal itu dan ia tak punya satu alasan sahih untuk diutarakan sebagai satu bentuk pembelaan diri. Jadi, mau tidak mau Joss pun mengatakan apa yang membuatnya gelisah dan terganggu belakangan ini.

"Gue bingung," kata Joss akhirnya, seraya mengambil gelas wine di atas meja dan menyesapnya sejenak, sebelum kembali melanjutkan obrolan ini, "gue bingung sama hubungan gue dan Gawin."

"Buset, lu aja bingung apa lagi gue, Joss," tanggal Bright blak-blakan karena masih tak mengerti dengan isi pikiran sejawatnya itu. "Bukannya lu sama dia emang dari awal sepakat mau FWB-an doang?"

Joss menyandarkan punggungnya pada sofa lalu tengadah menatap tawang dengan ornamen klasik bar itu. Ia mendadak pusing, bukan karena alkohol tapi karena perkara hati sendiri. "Iya, tapi lu sendiri tahu kan gue punya ekspektasi lebih," katanya dengan keputusasaan yang nyata di setiap kata.

Bright memperhatikan Joss yang terlihat sudah kepalang gila menghadapi hubungan rumit dengan Gawin, lantas menghela napas panjang. "Ya, lu ngomonglah sama Gawin. Apa susahnya?"

"Gak bisa..." jawab Joss cepat. "Gue kan mau ada proyek series sama dia, kalau gue confess, entar urusan kerjaan gue sama dia jadi runyam."

"Aelah, Joss, ribet hidup lu." Bright mengacak-acak rambutnya; mendadak ikut pusing dengan urusan ini. "Ya, udah. Tunggu aja sampai proyek ini selesai, apa susahnya. Lagian stay jadi FWB selama ini juga gak masalah."

"Tapi gue tuh gak terbiasa tahu, Bright." Joss menegakan lagi punggungnya dan mencondongkan tubuh pada Bright. "Sebelum gue setuju main series sama Gawin, gue tuh merasa fine-fine aja jadi FWB-nya. Lalu pas harus mencampuradukkan pekerjaan dalam hubungan gue sama dia, semua jadi lebih ribet. Gue tuh gak suka kalau disuruh bikin momen pura-pura gitu sama Gawin. Aneh, rasanya. Lu dulu gitu juga gak sama, Win?"

"Weits! Entar dulu, Pak... " Bright mengangkat kedua tangan dan menarik diri untuk menjaga jarak aman. "Genre hubungan kita tuh beda ya. Gue sama Win tuh jelas-jelas enemies to best friends to lovers. Kalau lu sama Gawin tuh dari temen, jadi deket, terus jadi runyam, makin runyam, semakin runyam!"

"Bangsat!" Joss mengacungkan jari tengahnya pada Bright. Ia sama sekali tidak ingin bergurau saat ini. "Mentang-mentang lu udah gak di GMM jadi bebas pacaran sama Win. Sombong gila!"

Bright terkekeh-kekeh, merasa jauh lebih unggul dari Joss dalam perkara cinta. "Ya, gimana? Emang gitu kenyataannya."

Sunyi itu mendadak menyergap suasana. Joss enggan menanggapi fakta yang dilemparkan padanya dan sejurus menghiraukan eksistensi Bright di sana. Suasana bar itu kian malam kian sendu dan wajah Gawin terpatri di benaknya seperti prasasti kuno. Joss tahu, bicara dengan Bright tidak akan menyelesaikan masalah apa pun di hidupnya. Namun, memendam segala sesuatunya sendirian juga tidak membuat ia merasa lebih baik.

"Menurut lu keputusan gue terima proyek series ini bener atau enggak?" Akhirnya, pertanyaan pamungkas itu terlontar, pertanyaan yang sesungguhnya mengganggu Joss sejak berhari-hari yang lalu.

"Ya, tergantung mau lu apa? Kalau alasannya cuman karena butuh kerjaan tanpa melibatkan perasaan ya udah bener. Lu sama Gawin kan memang dituntut profesional. Tapi, kalau lu berharap jadi makin deket karena series ini sama Gawin..." Bright menatap Joss lekat-lekat dengan sorot prihatin. "Mending lu pikir ulang lagi deh."

Kening Joss berkerut samar. "Kenapa?"

"Hah, lu emang gak paham atau pura-pura bodoh aja?" Bright memicingkan matanya seolah-olah Joss bukan manusia melainkan Ame—kucingnya. "Masa lu gak bisa ngerasain kalau Gawin bukan orang yang bisa lu paksa seenak jidat?"

Joss tercenung, sejurus menyadari satu hal yang selama ini selalu ia coba sangkal.

"Semakin lu ngotot kejar dia, semakin jauh Gawin lari dari lu," kata Bright akhirnya, berharap dengan mengungkapkan hal ini dengan gamblang maka Joss dapat tersadar. "Tu laki bukan anak kecil polos yang bisa lu pancing pakai mainan, dia juga punya pikiran sendiri tentang hubungan kalian dan gue sih ngelihatnya ya, Joss—tapi lu jangan marah nih gue ngomong begini...."

"Ya udah sih, tinggal bilang aja."

"Gawin sampai kapan pun gak mau pacaran sama lu. Dan kayaknya gak cuman sama lu sih, sama siapa pun juga dia gak mau."

Kepala Joss seperti baru saja dihantam godam dan begitu saja seluruh realita dalam hidupnya runtuh berkeping-keping. 

[Joss x Gawin] Our Alternative RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang