7. Sebuah Kejutan

176 10 0
                                    


"Siapa sih yang nyuruh lu kasih surprise segala?"

Joss tidak menyangka Gawin akan hadir di acara ulang tahunnya bersama penggemar. Kemarin malam Gawin bilang ia sibuk dan ada urusan genting, tapi ternyata itu hanya akal bulus untuk memperdaya Joss karena laki-laki itu muncul dari balik kerumunan dengan membawa sekotak salad buah karena ia sedang diet.

Gawin tertawa di kursi penumpang, seperti biasa mereka pulang bersama setelah menghadiri kegiatan-kegiatan berdua. Manager mereka entah sekarang ada di mana, mungkin mengurusi hal-hal lebih penting ketimbang dua artisnya yang sedang sibuk dimabuk asmara ini. Atau, memang malas bekerja saja.

"Gak ada, gue inisiatif aja sendiri."

Joss tergelak, seraya melayangkan pandang sekilas pada Gawin lalu kembali fokus pada jalanan kota Bangkok di pertengahan malam ini. "Makasih, lu lucu banget masa."

"Sama-sama, gue emang selalu lucu, makanya lu suka."

"Mulai..."

Kening Gawin berkerut samar. "Gue kenapa lagi sih?"

"Lu tuh kalau gak bikin overthinking ya bikin gue deg-degan. Gak pernah di antara keduanya. Jangan genit gitu, entar gue terkam lu panik lagi."

Gawin mendengus, memutar ain satu lingkaran penuh. "Genitan mana sama yang tadi toel-toel dagu gue di depan fans-nya sendiri, hah?"

Joss tersipu, menggigit bibir sendiri. Tadi dia tak kuasa menyembunyikan rasa. Kehadiran Gawin di acara itu lebih dari cukup membuat debar jantungnya jadi tak karu-karuan. Ia hanya ingin menyentuh laki-laki itu sedikit sebelum menyentuh lebih banyak nanti setelah mereka berada di atas ranjang. "Sumpah gue gak kuat, lu gemes banget. Kalau gak ada orang, udah habis bibir lu gue lumat."

"Udah gila," tukas Gawin tapi tak urung jua tersipu. Ia tahu Joss selalu gamblang dengan perasaannya di segala perkara, lebih-lebih ini urusan hati yang telah lama digantung. Sunyi, Gawin mendadak senyap karena Joss tak menanggapi umpatan terakhir darinya. Jalanan kota Bangkok secara menakjubkan cukup lengang hari ini, padahal ini hari minggu dan biasanya orang-orang berhamburan ke jalan untuk mencari tempat siuh sejenak dari segala rutinitas. Gawin menghela napas panjang, waktu terasa sangat cepat jika ia bersama dengan Joss. Rasanya baru kemarin ia menghabiskan waktu di rumah keluarga Kevin pada hari ulang tahun pria itu. Tahu-tahu Minggu ini akan segera berakhir dan mereka akan kembali bekerja besok.

"Gue tadi deja vu." Joss membuka percakapan kembali di antara mereka, jiwa ekstrovertnya enggan membiarkan hening menguasai suasana lebih lama dari seharusnya. "Pas lu datang bawa kotak buat tadi, gue jadi keingatan pas lu bawain gue cupcake di ultah gue tiga tahun lalu di rumahnya P' Green."

"Ohhh, itu ya..." Gawin mengawang-awang, mencoba menggali memori bertahun-tahun lalu. "Waktu kita mau latihan vokal bareng itu kan ya. Iya, gue ingat."

"Hahaha, gue juga deg-degan parah hari itu pas lu muncul bawa cupcake. Gak kebayang lu bakal ngucapin gue ultah, apalagi ngasih gue surprise."

"Waktu itu kita udah sering nongkrong bareng gak sih? Gue lupa."

"Tahun 2021 kayaknya udah, tapi lu sama gue gak gitu akrab. Masih canggung gak jelas. Gue sih yang suka salting, gue udah ngefans sama lu dari lama sebenarnya jadi pas jadi temen nongkrong rasanya aneh tapi seneng juga."

Gawin mengerjap beberapa saat, lalu memandang Joss tak percaya. "Lu dah naksir sama gue selama itu?"

Joss sontak tertawa canggung, menyadari kalau ia telah membuka fakta yang selama ini belum pernah ia sampaikan secara terang-terangan. "Yah, lu tipe gue, masa iya gue gak naksir," aku Joss akhirnya.

"Hahahaha." Gawin tak kuasa menahan tawa, fakta ini sungguh menggelikan. "Anjirlah, kayak remaja baru akil balik aja lu pakai naksir-naksiran segala."

"Sialan," umpat Joss. "Kan cuman naksir, emang salah?"

Gawin menggeleng, masih ada sisa tawa di raut wajahnya. "Gak, gak salah. Itu hak lu kok, cuman gue gak nyangka aja ternyata selama itu lu udah mendem rasa sama gue."

"Kayaknya bisa lebih lama lagi dari waktu itu kalau gue sadar suka sama lu lebih cepat," timpal Joss, sekalian berenang saja karena sudah terlanjur basah.

"Hah? Yang bener aja lu?" Gawin terbelalak, tawanya raib. Ia sama sekali tak menduga kalau Joss telah memiliki perasaan padanya selama itu. Mendadak rasa bersalah itu muncul dan membuat hatinya gelisah. Jika dibandingkan, rasanya perasaan Gawin pada Joss saat ini justru tidak ada apa-apanya. Bahkan mungkin, Gawin telah menyakiti pria itu lebih dalam daripada yang ia duga selama ini.

"Gak usah overthinking," tegur Joss ketika menyadari hening yang terasa menyesakan di antara mereka. Bahkan dalam temaram lampu jalan dan deru mobil yang membelah angin malam, Joss bisa membaca dengan jelas perubahan ekspresi dan suasana hati Gawin. "Perasaan gue itu tanggung jawab gue. Jangan merasa terbebani karena gue udah naksir lu dari lama karena itu urusan gue, bukan lu."

"Tapi gimana ya, gue rasanya gak adil aja. Gue jahat banget gak sih sama lu?"

"Masalahnya gue gak pernah merasa dijahatin sama lu. Gue secara sadar menerima hubungan ini dan gue enjoy every single second of it. What we have now is better than I ever imagined before."

Gawin lagi-lagi terdiam, Joss selalu tahu bagaimana menenangkan badai pikirannya yang selalu jadi penghalang utama dari hubungan absurd mereka. "I am sorry," ujarnya lirih, menutup percakapan dengan sedikit rasa bersalah yang masih tertinggal di dada.

"Hadah, udah gue bilang jangan merasa bersalah, lu malah say sorry."

"Gue gak tahu mau ngomong apa lagi."

"Bilang aja terima kasih."

Gedung apartemen Joss sudah di depan mata. Setelah menempelkan kartu, mobil berbelok cepat ke kantong parkir dan mereka pun berhenti bergerak. Joss akhirnya bisa menoleh pada Gawin dan menatap wajah laki-laki itu lekat-lekat. Hening sejenak, sebelum akhirnya Joss menangkup dengan kedua wajah yang selalu hadir di benaknya pada malam-malam tanpa tidur itu lembut. "Bilang aja terima kasih ke gue, itu sudah cukup. Gue gak butuh apa-apa lagi."

Gawin terperangah, membalas pandangan mata Joss yang tertuju padanya dengan ain berkilat air mata. Cahaya lampu parkir menembus kaca mobil dan membias pada wajah mereka masing-masing—temaram dan tentram, momen ini terasa magis dengan cara yang begitu elusif dan tak dapat dijabarkan dalam bahasa mana pun. Lalu, dengan suara sedikit terbata karena menahan isak yang tertahan di tenggorokan, Gawin pun berkata, "Terima kasih, Joss. Terima kasih udah sayang sama gue."

Senyum Joss melebar, ia girang bukan kepalang; setengah mati yakin kalau ia tak pernah salah memilih Gawin sebagai tambatan hati. "Good boy," bisiknya penuh penekanan lalu begitu saja tanpa harus memberi aba, Joss pun melayangkan ciuman pada bibir laki-laki itu.

Sungguh, tak pernah mereka berciuman semesra ini. Tak ada nafsu atau akal bulus; tak ada birahi pun hal-hal berbau sensual. Ciuman ini sederhana dan tulus, hanya kecupan demi kecupan saling sahut dan menemukan. Joss merengkuh tengkuk Gawin dan melumat bibir itu dalam dan penuh perasaan yang sukar diungkapkan. Dada mereka masing-masing terasa penuh dengan eksistensi satu sama lain. Dunia rasanya berhenti berputar dan mereka terlempar pada dimensi ruang-waktu yang lain.

Ah, ciuman ini terasa tepat luar biasa, bahkan dalam hubungan tanpa nama sekalipun, perasaan Joss maupun Gawin sungguh nyata adanya.

[Joss x Gawin] Our Alternative RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang