Part -1

13 1 0
                                    

Hamdan, sepagi ini sudah berlari seperti atlet maraton sepanjang koridor perusahaan. Dalam hatinya terkandung beberapa umpatan, mengapa lantai para petinggi perusahaan harus di letakkan di lantai paling atas? Siapa yang memberi ide gila dan tak masuk akal ini? Kendati lift adalah salah satu benda yang dapat mempermudah akses setiap pekerja. Tetap saja dirinya kewalahan, terlebih ia harus bekerja secara ganda. Benar-benar ganda seorang diri.

Ini sebab sang bos besar tidak memiliki minat untuk menambah sekretaris perempuan. Sehingga ia harus bekerja dua bagian sekaligus. Setiap hari bahkan dia harus memeras senyum karir di wajahnya saat karyawan lain menatapnya iba penuh prihatin.

Sabar ya, Dan. Pak Bos memang gitu.

Dan, Pak Bos belok ya sama lo?

Dan, kenapa ya pak bos gak mau hire woman secretary?

Berbagai macam pertanyaan lainnya akan ditelan oleh Hamdan bulat-bulat tanpa menemui jawaban atas segalanya. Tetapi, beberapa bulan belakangan. Pertanyaan-pertanyaan nyeleneh itu kembali datang menghiasi hari-hari nya sepanjang mengais rezeki di kantor ini, namun bukan tentang kebenaran dari pertanyaan nyeleneh yang berkata bahwa ia dan sang bos memiliki hubungan menyimpang karena kali ini berbeda versi.

Dan, Pak Bos udah kembali ke jalan yang benar ya?

Pak Bos kita normal ya?

Kok bisa normal?

Gue liat dalam sebulan ini ada tiga cewek yang datang ke meja hrd terus nanya ruangan Pak Bos di mana.

Oh, God. Seriously? Yah, broken heart deh gue.

Hamda mengangguk puas. Itu lebih baik kalau bos nya mulai berpikir untuk mencari tambatan hati. Masalahnya, Hamdan menghela napas berat. Dia baru dua puluh tujuh tahun bernapas di atas bumi tapi keriput di matanya bahkan dengan kurang ajarnya mulai tumbuh karena terlalu stres dan makan hati. Apalagi saat melihat para wanita itu selalu keluar dari ruangan bosnya dengan wajah memerah menahan tangis.

Entah diapakan oleh bosnya, Hamdan tak tahu menahu. Kalau ia tidak memikirkan gaji dan bonus yang fantastis di tempat ini, lebih baik Hamdan resign saja dan pindah ke Halim ataupun Tribuana yang sedikit lebih manusiawi, mungkin? Mungkin saja.

Kemudian setelah pintu lift terbuka, ia bergegas menuju ruangan bosnya. Memikirkan apalagi kali ini fenomena yang dapat disaksikannya, saat ia masuk dan berdiri di daun pintu dan berpikir bahwa ada drama, mungkin memang ada saat ia melihat eksistensi sang bos terlihat sedang memegang ponsel yang di telinga lalu Hamdan bahkan dapat mendengar suara yang mengomel di seberang sana.

"Rael, kamu apain Cantika tadi, hah? Kenapa dia telepon mama sambil nangis-nangis pas balik dari kantor kamu."


"Enggak aku apa-apain kok."

Hamdan bergeming, ia berdiri dengan menutup rapat bibirnya. Dilihatnya sang bos menjawab dengan tenang terkesan acuh tak acuh.

"Kamu ya, Rael. Mama udah susah-susah atur jadwal kencan buat kamu. Tapi kamu malah sibuk sama dokumen dan laptop kamu doang. Kamu gak belok kan? Jangan bilang kamu naksir sama sekretarismu itu? Jangan bilang iya kalau kamu mau bikin mama jantungan."


"Ma, please. You already know that my priority is the expansion of Tiankar. I don't want to ruin all of things that our family had done for so long.?"

"Tapi, Rael. Ini demi kebaikan kamu juga, Nak. You're 33 now. Sean udah nikah dua bulan yang lalu. He looks so happy with his wife, apparently they are sooner expecting a new member of their marriage life. Mama juga mau lihat kamu bahagia with your own family, Rael."

The Oldest Tiankar and His Tomboy BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang