Part -4

7 1 0
                                    


Venna pernah bertanya-tanya bagaimana cara kerja seorang Azrael Bumantara Tiankar, 'kan?

Baik, di waktu tiga minggu bekerja sebagai pengawal. Ia akhirnya mendapatkan itu semua hari ini. Tidak tahu entah ada angin ribut atau apa. Venna diminta berjaga di depan pintu ruang rapat yang meskipun tertutup sepenuhnya, dindingnya tidaklah kedap suara seperti ruangan si bos besar. Sebaliknya, di dalam ruangan itu beberapa suara saling beradu satu sama lain. Bagaimana kelanjutan dari tim marketing dalam melaporkan grafik penjualan Tiankar Jewels dalam satu bulan terakhir.

Sayup-sayup dia mendengar bagaimana suara-suara berat sesekali merespon. Venna merasakan intimidasi yang kuat di setiap kata-kata singkat itu. Bagaimana ya kabar Hamdan dan yang lainnya di dalam sana. Seperti Dinda, Tasya, dan Dewi serta para karyawan dari divisi marketing itu sesekali mengeluarkan suara saat Azrael memberikan tanggapan maupun sanggahan.

Lalu sekitar ima belas menit kemudian, semua karyawan keluar dengan bahu yang menurun bercampur lesu. Wajah ketiga karyawati itu yang lebih parah dibanding senior-senior yang sudah pergi sejak tadi.

"Are you okay, guys?" Venna bertanya singkat.

Ketiga karyawati itu menghela napas, sejujurnya ingin berkeluh kesah dan curhat pada bodyguard imut kepunyaan si bos itu. Namun, di balik ruangan masih ada bos singa dan sekretarisnya. "Gapapa, Mbak. Kita duluan ya." Dinda lantas pamit pada Venna lalu mengajak Dewi dan Tasya kembali ke kubikel di mana ruangan mereka berada. Kasihan!

Lalu pintu kembali di buka, Hamdan terlihat diikuti Azrael yang ada di belakangnya. Venna berdiri dengan posisi siap seperti biasanya menatap Azrael dengan wajah yang tenang dan diam. Dilihat-lihat bosnya dalam mood yang normal. Terbukti dari raut wajahnya yang tidak menunjukkan raut keras seperti dua minggu sebelumnya.

Venna kemudian mengikuti langkah Azrael yang berjalan menuju lift dan berjalan bersisian dengan Hamdan.

"Mbak, nanti istirahat makan siang di kantin atau di luar?" Hamdan bertanya saat mereka berada di lift.

Venna menatap sudut dinding lift lalu mengangguk, "Di kantin aja lah, Dan, gapapa."

Lalu keduanya fokus menunggu lift beroperasi dengan pemandangan punggung Azrael yang lebar membentang. Dalam diam Azrael mengerutkan dahinya untuk sesaat namun setelah itu menghilang. Begitu sampai di ruangan kerjanya, Azrael masuk tanpa berkata apa-apa.

Hamdan yang tadinya berada di samping Venna sedikit berbisik "Hari ini bos keliatan agak sedikit lebih manusiawi."

"Sampai mana persentase manusiawinya, Dan?"

"Dilihat dari lubang sedotan, Mbak." Hamdan nyengir melihat Venna yang menatapnya dengan wajah datar.

"Itu sama aja kaya ibarat lo ikan di sungai tapi mau manjat pohon, Dan. Ish, mana ada bedanya." Venna melihat para karyawan-karyawati divisi marketing tadi saja sudah menjawab semuanya.

"Hahaha... dah balik lagi lo posisi jadi patung liberty di sini. Gue mau ke ruangan dulu." Hamdan berjalan masuk ke ruangannya.

"Gak ada patung liberty seimut gue, Dan." Venna menukas dengan sedikit candaan dan Hamdan hanya mengibaskan tangannya saja sebagai jawaban alias terserah.

Venna pun melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Baru jam sepuluh, dipikir-pikir ini sudah tiga minggu dia berada di Tiankar, kenapa tidak ada wanita yang datang ke ruangan bos seperti yang pernah di bicarakan Hamdan sebelum-sebelumnya. Apa ini? Sungguh aneh. Padahal menunggu itu adalah keahlian terbesar Venna. Dia bahkan bisa berdiam diri dalam waktu yang lama tanpa berbicara sepatah kata pun. Itu mudah, karena pada dasarnya dia tidak suka menggerakkan bibirnya untuk memuntahkan kata demi kata. Melelahkan.

The Oldest Tiankar and His Tomboy BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang