Part -2

10 1 0
                                    

Azrael tahu betul bahwa ruangannya adalah ruang dengan tingkat kenyamanan dan fasilitas yang paling ekslusif di antara semua ruangan yang ada di gedung ini. Di mana pemandangan gedung-gedung pencakar langit di luaran begitu memanjakan matanya setiap kali ia melihat pada kaca bening yang menjadi rutinitasnya setiap bekerja.

Suhu ruangannya juga diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada rasa lain yang ia rasakan selain sejuk dan membuat pikiran tenang. Tapi, alih-alih nyaman, sekarang ia harus berusaha memeras senyum yang tak ikhlas dari sudut bibirnya saat melihat betapa lancangnya seorang perempuan yang baru datang ke ruangannya ini.

"Mas Rael, aku bawain kamu hokben lho, aku susun dulu di meja ya." Kelancangan gadis muda ini sungguh membuatnya semakin lelah dan menguras mental.

Tenaga yang sudah Azrael kumpulkan sampai waktu pulang nanti bahkan semakin terkikis menit demi menitnya. Wanita jenis apalagi yang dilemparkan sang mama ke ruangan ini. Dalam sekali lihat pun ia dapat memprediksi bahwa wanita ini baru saja lulus menjadi seorang sarjana muda. Mamanya pasti bercanda mengenalkannya pada bocah ingusan begini? His mom must be out of her mind.

"Saya belum lapar." Susah payah Azrael merajut huruf demi huruf dari kerongkongannya itu sampai membentuk tiga kata. Tidak ada kalimat balasan yang ia harapankan selain kata bahwa gadis itu mengerti lalu silakan untuk segera pergi dari sini.

Namun, gadis yang ada di depannya ini sungguh bebal dan tidak mau mendengar. Siapa tadi namanya, Amira— ntah apa nama lengkapnya, ia pun tak tahu lagi dan merasa tak penting untuk diingat. Azrael merasa tak nyaman apalagi sedari tadi gadis muda ini terus-menerus melihatnya dengan tatapan berbinar seperti anak anjing yang menemukan tuannya, terlebih saat ia tampak memangkas jarak di antara mereka bahkan sekarang di meja kerjanya pun penuh dengan kotak makan.

Dalam hati dia mendesah letih berharap ponselnya dapat berbunyi yang setidaknya menampilkan nama sang sekretaris sekadar memberi kabar bahwa sudah mendapatkan pengawal yang ia inginkan.

Please, please. Satu detik berlalu belum terdengar notifikasi apapun.

"Mas, ayo makan bareng aku..." Amira mengerucutkan bibirnya. "Aku udah susah payah lho datang ke sini. Luangin waktu buat ketemu kamu. Padahal mami sama papi mau...bla...bla."

Azrael sudah memilih abai. Ia tidak tahu lagi apa perkataan dari gadis manja ini. Sedetik kemudian ponsel yang ada di mejanya pun berbunyi. Dengan gesit ia melihat siapa gerangan sang pengirim pesan. Terima kasih, Tuhan. Doanya dikabulkan. Ia ingin makhluk pengganggu ini segera minggat dari ruangannya.

*Hamdan Sadani
Selamat siang, Pak.
Pengawal yang bapak inginkan sudah ada.

Dengan cepat Azrael menghubungi Hamdan. Berdering dua kali dan terhubung. "Ya, Pak?"

"Kamu di mana, Hamdan?"

"Sudah di basement, Pak. Ini sedang jalan ke lobi. Kebetulan saya juga bersama Mbak Venna." Hamdan yang belum sempat menjelaskan dengan detail dan Azrael langsung memutuskan panggilan.

Pria itu berdiri, ia merapikan jasnya. Kemudian menatap Amira yang tadinya sedang cemberut itu semakin memerah wajahnya bak menahan tangis. "Maaf, saya ada keperluan mendesak. Kamu boleh makan di sini, tapi silakan tinggalkan ruangan saya jika sudah selesai. Permisi." begitu lugas dan halus namun masih sopan. Azrael bahkan tidak lagi menoleh untuk memastikan bahwa gadis muda itu duduk dengan bahu yang lemas dengan bunyi isakan kecil yang terdengar setelah pintu tertutup.

Azrael menuju lift yang berada di lantai dekat ruangannya. Kakinya baru saja ingin melangkah ke sana dan jejaknya berhenti saat pintunya terbuka dan dua presensi datang menatapnya dengan seksama secara bersamaan.

The Oldest Tiankar and His Tomboy BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang