DASAR PELAKOR!!!!!
Senin yang seharusnya khidmat, seketika ambyar begitu Elliana membaca pesan di inbox Facebook miliknya. Elliana masih jomblo di usianya yang sudah kepala 3. Semua itu berkat kematian tunangannya 8 tahun silam. Terkadang dia berpik...
Pintu lift terbuka saat elevator control display baru menunjukkan angka satu. Hari ini Evo mengajakku bertemu klien wedding di hotel tempat acara akan dilangsungkan nantinya. Sepasang laki-laki dan perempuan masuk ke kabin sebelum pintu lift tertutup kembali. Entah kenapa aku seperti mengenali wajah wanita itu. Rasanya tak asing, namun ingatanku enggan bekerja hari ini.
Evo menarik pundakku agar bergeser mundur. Aku menurut saja. Namun kehadiran pasangan itu agaknya sedikit mengganggu pemandangan. Bukan saja wajahnya yang tak asing, atau pakaian si perempuan yang terlalu minim, namun kemesraan mereka juga sedikit kurang pantas menurutku. Dipikirnya aku dan Evo ini saklar lift yang tidak bisa melihat mereka?
Lift berhenti pada lantai tiga sesuai tombol yang mereka tekan tadi. Lantai dua dan tiga merupakan lantai untuk kamar inap di hotel ini. Setelah pintu lift kembali tertutup, kabin kembali terangkat menuju lantai paling atas tempat meeting room.
Di Bali itu, seluruh bangunan bertingkat memiliki keterbatasan jumlah lantai, tidak boleh lebih dari lima belas meter atau setara empat lantai di atas tanah. Menurut filosofi masyarakat Bali, sebuah gedung tidak boleh lebih tinggi dari Meru. Dalam filosofi yang sama, Meru memiliki tinggi setara pohon kelapa yang konon tingginya mencapai lima belas meter. Meru sendiri adalah bagian dari Pura yang berupa atap bertingkat dengan kandungan nilai religius, memiliki makna simbolis, serta agung.
Display lantai di atas pintu lift berganti dari angka tiga menjadi angka lima. Aku bergegas melangkah keluar. Di banyak bangunan bertingkat, lantai keempat kerap diganti menjadi lantai lima. Hal itu terkait dengan mitologi pelafalan angka empat dalam bahasa Jepang dan Mandarin, yaitu 'Shi' yang artinya kematian.
Evo berjalan mengiringi. Aku menoleh ke arah kiri. Di lorong sebelah kiri terdapat dua bar, salah satunya didesain dengan aksen Eropa yang cukup kental. Kami berbelok ke koridor kanan tempat deretan meeting room. Seseorang tengah berada di depan pintu ruang meeting yang tampak bersiap menerima kehadiran kami.
"Silakan, Pak!" sapa pria berkemeja krem dengan kombinasi batik di bagian kancingnya itu.
Aku dan Evo mengangguk bersamaan. Kami segera memasuki ruangan yang sudah tampak padat oleh para perwakilan vendor.
Menghadiri meeting ke hotel bintang lima dan resort mewah adalah kesempatan piknik gratis untukku. Memang sih, hanya sejenak saja menjejakkan kaki di lantai granit hotel mewah. Namun setidaknya, aku berkesempatan pamer foto bahwa aku juga pernah mengunjungi hotel-hotel mewah nan Instagram-able. Selain menyehatkan jiwa-jiwa yang lelah ini, juga dapat memberi asupan yang bergizi untuk berbagai akun sosial mediaku. Belum lagi jamuan makanan lezat dan estetik ala hotel. Tentu saja hal itu yang selalu kutunggu.
Technical meeting kali ini berjalan lancar dan sesuai jadwal. Tidak lebih dari dua jam rapat selesai, terutama untuk ketentuan teknis tim kami. Kesempatan yang tepat untuk berfoto-foto. Aku segera menggeret Evo ke area balkon di lobby hotel Sultan. Menurutku kusen pintu yang dibuat melengkung dan sangat tinggi itu unik dan Instagram-able. Di bagian luarnya merupakan balkon yang terisi beberapa kursi santai dengan bantal berwarna-warni. Di bagian pagar berterali, kita bisa melihat laut di kejauhan, sedangkan pemandangan bagian bawah, adalah hamparan kolam renang yang dibuat estetik.
"Miring kiri dikit lagi!" instruksi Evo saat mengatur gayaku sebelum ia memotret dengan ponsel apelnya. Kuturuti saja demi hasil foto yang maksimal.
"Coba lihat!" pintaku pada Evo setelah berhasil menjepret berkali-kali.
Ritual memotret makanan dan berpose di titik terbaik hotel, adalah sakral hukumnya. Tidak boleh terlewatkan dalam kamus pengabdi sosial media.
"Wait!" aku memperhatikan sosok wanita yang ikut terjepret di fotoku. Pandanganku segera mengitari area lobi untuk mencarinya. Namun hasilnya nihil. "Ini cewek yang tadi, bukan?"
"Kayaknya, sih," jawab Evo.
"Keknya aku pernah lihat orang ini deh, tapi lupa siapa," kataku.
"Kan tadi pagi barengan di lift, lupa?" ujarnya.
"Bukan gitu, tadi pas di lift itu aku juga udah curiga, kayak pernah lihat."
"Ibu kosmu kali," tebak Evo.
"Aku malah nggak pernah ketemu ibu kosku."
"Terus—bayar kos ke siapa?" tanya Evo.
"Bapak kos yang bagian nagihin."
"Wah, bapak kosmu mencurigakan."
"Mencurigakan gimana?" alisku berkerut.
"Jangan-jangan itu selingkuhan bapak kosmu?" kelakarnya.
Tanganku mengibas tanda tak sepaham. Namun mendengar kata selingkuh, sepertinya ada benang merah yang menuntunku pada ingatan samar ini. Buru-buru kubuka ponsel dan mengecek inbox di Facebook Messenger. Benar, wajah itu adalah seseorang yang pernah mendampratku beberapa waktu lalu. Seorang perempuan yang menurutku adalah istrinya Biyan, yang dengan sumpah serapahnya telah mengata-kataiku sebagai pelakor.
"Oh, shit!" gumamku.
"Siapa?" selidik Evo.
"Ada, deh!" Aku enggan menjawab dan memilih berlalu dari hadapan Evo.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.