"Ini pagar pembatas." Suara laki-laki itu terdengar tenang saat meletakkan tangan Aurora di pagar.
"Apa di sini ada orang?" tanya Aurora pelan.
"Tidak ada."
"Kalau begitu, terima kasih."
Laki-laki itu mengangguk meskipun Aurora tak bisa melihatnya. "Hmm... Gue duluan," ujarnya, lalu langkah kakinya mulai menjauh, meninggalkan Aurora sendirian.
Aurora, yang berdiri di tepi pagar, merasakan keheningan mendalam meresap dalam dirinya. Tanpa banyak berpikir, ia menaiki pagar itu dan berdiri di atasnya, seolah pagar itu adalah panggung terakhirnya. Perlahan, ia menutup mata dan membiarkan tubuhnya bergerak. Tangannya terangkat, kakinya bergerak luwes, seperti sedang menari mengikuti alunan musik yang hanya bisa ia dengar dalam hatinya.
Angin sepoi-sepoi menggerakkan beberapa helai rambutnya, sementara wajahnya dihiasi senyum tipis. Gerakan tubuhnya terlihat indah, seolah ia masih berada di panggung balet, mengabaikan kegelapan yang kini menjadi dunianya. Setiap langkah di atas pagar itu menggambarkan kebebasan yang ia dambakan, seolah menari adalah satu-satunya jalan untuk melupakan segalanya.
Satu kakinya terangkat dengan anggun, tangannya terulur ke udara, membentuk siluet sempurna dalam kesunyian. Ia menari di antara hidup dan mati, setiap gerakannya seolah berbicara tentang harapannya untuk lepas dari penderitaan.
Tanpa banyak berpikir, Aurora melompat. Ia berharap jatuh dari ketinggian ini akan mengakhiri semua rasa sakit, membebaskannya dari dunia yang kini tak lagi bisa ia lihat. Tapi, saat tubuhnya menyentuh tanah, itu bukanlah sensasi jatuh yang ia bayangkan.
"Masih hidup?" gumam Aurora, bingung.
Tiba-tiba suara laki-laki tadi terdengar kembali. "Udah gue duga, lo pasti mau bunuh diri. Untung gue cuma bawa lo ke parkiran," katanya, berjalan mendekat dengan langkah santai.
"Lo nipu gue? Sialan lo!" Teriak Aurora dengan marah. Ia mengayunkan tinjunya ke arah suara itu, tapi hanya menghantam angin kosong.
Laki-laki itu, yang tampaknya terhibur oleh usahanya, tertawa pelan. "Gak perlu segitunya. Gue cuma nyelametin lo."
"Ini bukan urusan lo!" Suara Aurora bergetar, campuran marah dan putus asa.
Laki-laki itu menatapnya, senyumnya perlahan pudar. "Denger. Itu bukan sepenuhnya salah nyokap lo. Kalau aja lo mau jujur sama perasaan lo, mungkin nyokap lo bakal ngerti."
Aurora mengernyit, bingung.
"Gue nggak sengaja denger waktu lo ngobrol sama nyokap lo tadi." Laki-laki itu menjawab pertanyaan yang belum sempat Aurora lontarkan, seolah sudah bisa membaca pikirannya.
Aurora mendengus. "Selain tukang tipu, lo juga tukang nguping ya."
Laki-laki itu tersenyum lebar, lalu mengulurkan tangannya, "Gue Alharu Gadjendra. Panggil aja Haru."
Aurora diam, tak merespons. Haru baru sadar kalau Aurora tidak bisa melihat, dan tanpa berpikir panjang, ia meraih tangan Aurora sendiri dan menempelkannya pada tangannya. "Lo Rora, kan?"
Aurora langsung menarik tangannya kembali, wajahnya tampak kesal. Tanpa sepatah kata, ia berbalik, melangkah menjauh dari Haru.
Haru tertawa kecil. "Yakin, nggak mau gue anter lagi?"
Aurora terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran itu. Akhirnya, dengan berat hati, ia meraih ujung jaket Haru lagi, tanpa berkata apa-apa.
Haru, dengan senyum kecil di wajahnya, mulai berjalan, dan mereka melangkah bersama dalam keheningan.
YOU ARE READING
Melody Haru
RomanceAurora, seorang balerina berbakat, terperangkap dalam kegelapan setelah kehilangan penglihatannya. Di tengah desakan ibunya untuk terus menari, Aurora merasa hampa dan muak. Segalanya berubah ketika Haru, seorang pemuda misterius yang gemar bermain...