Aurora duduk diam di bangku taman rumah sakit, tongkatnya bersandar di sebelahnya. Sebenarnya, ia sudah menunggu hampir lima jam di tempat yang Haru janjikan. Matahari mulai merangkak naik ke puncaknya, menyelimuti wajahnya dengan kehangatan.
Namun, ia tetap bertahan.
Saat ia mulai berpikir untuk pergi, suara roda sepeda yang mendekat terdengar, diiringi suara langkah tergesa. Haru berhenti tepat di depannya, napasnya memburu.
"Sorry, Ra. Lo gak nunggu lama kan?" ucap Haru, mencoba terlihat santai meski jelas ia terlambat.
Aurora mendengus kecil, menyembunyikan rasa kesalnya. "Gak, gue tadi kebetulan aja lewat sini."
Haru tersenyum samar. Ia tahu Aurora berbohong, tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
"Yuk, berangkat" ajaknya.
“Naik sepeda?” Aurora mengerutkan dahi, keraguan terlihat jelas di wajahnya.
“Iya, kenapa?”
Aurora menghela napas panjang. “Nggak apa-apa,” jawabnya, meski jelas nada suaranya menunjukkan kebalikannya.
Haru membantu Aurora duduk di palang sepeda dengan hati-hati, memastikan dia nyaman. Setelah Aurora siap, Haru mengambil posisi di jok depan, memegang setang dengan kokoh. Tubuhnya sedikit condong ke depan, mendekati Aurora agar lebih mudah mengayuh. “Santai aja, Ra. Gue nggak akan ngebut.”
Aurora hanya diam, memejamkan mata. Ini adalah pertama kalinya ia naik sepeda. Ada rasa takut yang menjalar, mengingat masa kecilnya yang tidak pernah diperbolehkan naik sepeda, karena ibunya khawatir kakinya akan terluka dan sulit menari balet.
Namun, saat roda sepeda mulai bergerak dan angin menerpa wajahnya, rasa takut itu perlahan menghilang. Aurora merasakan kebebasan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Tanpa bisa melihat, angin dan aroma di sekitarnya menjadi penglihatannya.
***
Suara debur ombak menyambut Aurora saat Haru membimbingnya turun dari sepeda. Angin laut yang segar menyapu wajahnya, membawa aroma asin khas pantai. Aurora mengerutkan dahi, menebak-nebak di mana mereka berada.
"Ini pantai, ya?" tanyanya pelan, jari-jarinya mencengkeram lengan Haru.
“seratus buat lo” jawab Haru membenarkan.
Aurora mendengar langkah-langkah Haru menjauh, meninggalkannya berdiri sendirian di atas pasir. Ia merasa gelisah, menggerakkan tongkatnya untuk mencari keberadaan Haru.
“Haru?” panggilnya, sedikit ragu.
“Gue di sini. Dengerin aja.” Suara Haru terdengar dari kejauhan.
Tiba-tiba, suara denting piano mengalun lembut, membelah keheningan pantai. Nada pertama dari "Swan Lake" menyentuh telinga Aurora.
Haru memainkan piano itu dengan penuh perasaan, seolah setiap tuts yang ia tekan adalah pesan yang ingin ia sampaikan kepada Aurora.
Aurora menutup matanya. Perlahan, tubuhnya bergerak mengikuti alunan musik. Tangannya terangkat, kaki-kakinya mulai melangkah dengan gerakan yang ia kenal baik. Meski tongkatnya terjatuh ke pasir, Aurora tidak peduli.
Ia menari.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aurora merasa bebas. Tidak ada rasa takut, tidak ada paksaan. Ia bergerak dengan sepenuh hati, mengikuti irama yang terasa seperti denyut nadinya sendiri. Pasir lembut di bawah kakinya seolah menjadi panggung yang sempurna.
Haru berhenti memainkan piano, berjalan mendekati Aurora yang masih menari dengan mata tertutup, dikelilingi cahaya keemasan dari matahari terbenam. Gadis itu menyentuh bahu Haru sebagai tumpuan tarian dan memutarinya.
Semakin lama tarian Aurora semakin cepat hingga akhirnya berhenti dipelukan Haru. Ia terengah-engah, tapi di bibirnya terukir senyum yang tidak pernah Haru lihat sebelumnya.

YOU ARE READING
Melody Haru
RomanceAurora, seorang balerina berbakat, terperangkap dalam kegelapan setelah kehilangan penglihatannya. Di tengah desakan ibunya untuk terus menari, Aurora merasa hampa dan muak. Segalanya berubah ketika Haru, seorang pemuda misterius yang gemar bermain...