Episode 6: Ingin berteman

24 3 1
                                    

Setelah percakapan yang membuatnya frustrasi dengan ibunya, Aurora memutuskan untuk pergi keluar, mencari udara segar. Dengan tongkat penuntun yang membantunya, dia berjalan tanpa arah pasti, pikiran dan perasaannya bercampur aduk. Langkahnya terhenti ketika alunan melodi piano yang lembut menyapa telinganya. Suara itu merdu dan menenangkan, seolah melarutkan segala beban yang menghantui pikirannya. Ia menutup matanya, menikmati setiap nada yang membawa kedamaian sejenak.

Kakinya secara otomatis mengikuti arah melodi itu, membawa Aurora ke sebuah taman kecil. Di sana, ia menemukan kursi panjang dan duduk di sana, tenggelam dalam keindahan melodi piano. Tanpa mengetahui siapa yang memainkannya, Aurora membiarkan dirinya terserap dalam harmoni yang lembut. Namun, sayangnya, melodi itu tiba-tiba berhenti, digantikan oleh suara riuh di sekitar taman.

"LO YANG KEMAREN MAU BUNUH DIRI, KAN?" Suara lantang itu memecah ketenangan, dan Aurora langsung mengenali suara Haru, lelaki yang menyelamatkannya di atap.

Orang-orang di sekitar mulai berbisik-bisik, pandangan mereka tertuju pada Aurora. Keheningan yang sebelumnya menemani berubah menjadi keramaian yang tak nyaman.

'Laki-laki ini masih saja menyebalkan,' pikir Aurora. Ia ingin segera pergi dari sana, tetapi sebelum sempat bergerak, Haru sudah menahan tangannya.

"Lo hobi banget ya ngurusin hidup orang?" ucap Aurora, nada suaranya penuh dengan kekesalan saat dia berusaha melepaskan genggaman Haru.

Haru sedikit terkekeh, lalu duduk di sampingnya. "Gue nggak akan ngurusin hidup lo. Gue cuman mau duduk di sini. Gak masalah kan?"

Aurora diam sejenak, berusaha mencerna situasi ini. Setelah hening beberapa saat, dengan ragu ia bertanya, "Yang main piano tadi…"

"Itu gue," jawab Haru, seolah tahu apa yang ingin ditanyakan Aurora.

Aurora hanya mengangguk.

"Setiap pulang sekolah, gue sering kesini buat main piano. Eits, jangan salah paham. Gue bukan pengamen," Haru menambahkan, takut Aurora berpikir dia mencari uang dengan cara itu.

Mendengar penjelasan itu, Aurora sedikit tersenyum, meskipun hanya sebentar. "Sekolah itu seperti apa, Haru?" tanyanya, penasaran.

Haru bingung dengan pertanyaan itu, tapi tetap menjelaskan. "Sekolah adalah tempat di mana kita punya banyak teman. Suasana yang menurut gue lebih menarik dari rumah. Di sana kita bebas ngelakuin apapun yang kita mau."

Aurora mencerna semua yang dikatakan Haru. Bebas? Melakukan apapun yang kita mau? Itu adalah impiannya.

"Emang lo gak pernah sekolah?" tanya Haru heran.

Aurora menggeleng pelan, "Gue homeschooling dari kecil. Gak pernah keluar rumah kalau gak buat les balet atau pentas."

"Kayak Rapunzel aja," Haru berkomentar sambil tersenyum. "Kalau gitu, gue teman pertama lo dong?" lanjutnya penuh semangat.

Aurora segera beranjak, mengabaikan tawarannya. "Kapan gue bilang kita jadi teman?"

Haru, yang tak ingin menyerah, buru-buru mengejar Aurora dengan sepeda yang dituntunnya. "Kenapa lo gak mau temenan sama gue?"

"Lo jelek," Aurora menjawab acuh, berusaha menjaga jarak.

"Kan lo buta," Haru mengucapkan itu tanpa rasa bersalah.

Aurora berdecak kesal. "Suara lo yang jelek."

"Ra, nama gue Alharu Gajendra. Katanya, Bunda terinspirasi dari nama Gadjah Mada yang terkenal karena Sumpah Palapanya. Jadi, gue bersumpah, gue akan buat lo jadi teman gue," ucap Haru penuh tekad, seolah itu adalah misi hidupnya.

Aurora berhenti sejenak, terkejut oleh ketegasan Haru. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai meresap—apakah dia bisa membiarkan seseorang memasuki hidupnya? ia merasakan harapan yang mulai tumbuh.

Melody HaruWhere stories live. Discover now