"Bagaimana? Kau bisa melihat cahayanya?" Dokter itu bertanya, suaranya lembut, tapi sarat kekhawatiran. Ia menyorotkan senter kecil ke mata Aurora, berharap ada reaksi.
"Tidak. Aku tidak bisa melihat apa-apa," jawab Aurora, suaranya datar, tanpa getar.
Di sampingnya, seorang wanita dewasa langsung membeku. Wajahnya memucat, matanya berkaca-kaca. "Rora, coba lihat mama. Lihat baik baik."
Dokter itu menghela napas pelan, mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan. "Saraf optiknya rusak parah. Dalam kasus seperti ini, peluang untuk bisa melihat lagi... hampir tidak ada."
"Tidak! Itu tidak mungkin! Pasti ada solusinya," suara wanita itu tiba-tiba meledak, seolah menolak kenyataan yang menyergapnya. "Bagaimana dengan transplantasi kornea? Aku... aku bisa menyumbangkannya!"
Dokter itu menatapnya dengan sabar, meskipun ia sudah sering menghadapi reaksi seperti ini. "Bu, masalahnya bukan di kornea. Ini saraf optik. Transplantasi tidak akan membantu."
Wanita itu memandangnya dengan ekspresi yang tidak bisa dipahami—antara putus asa dan kemarahan yang meluap. "Tidak! Dia tidak bisa buta! Dia seorang balerina, dokter! Bagaimana dia bisa menari jika dia tidak bisa melihat?" Suaranya pecah, hampir histeris.
Dokter itu mengerutkan kening, merasa aneh dengan reaksi sang ibu. Bukannya memikirkan keadaan mental putrinya yang baru saja kehilangan penglihatannya, wanita ini malah terobsesi dengan balet. "Bu, saya mengerti ini sulit, tapi yang perlu Anda pikirkan sekarang adalah kesehatannya. Bukan baletnya."
"APA YANG KAU TAHU TENTANG BALET?" teriak wanita itu, marah tak terkendali. "Balet adalah hidupnya! Kau tidak mengerti, dokter. Jika dia tidak bisa menari, hidupnya berakhir!"
Aurora masih diam. Tidak ada air mata. Tidak ada protes. Hanya kehampaan yang menggantung di udara.
Dokter itu, menyadari bahwa dia tak bisa berbicara lebih banyak lagi, memilih untuk pergi. "Jika ada yang Anda butuhkan, saya di luar," ucapnya pelan sebelum meninggalkan ruangan.
Keheningan mendalam mengisi ruang itu. Wanita yang dipanggil 'Mama' mengusap rambut Aurora dengan lembut, seperti mencoba menenangkan dirinya lebih dari menenangkan putrinya. "Jangan khawatir, sayang. Mama akan menemukan cara. Apa pun yang terjadi, mama akan menyembuhkan matamu," katanya, suaranya bergetar, namun penuh kepastian yang dipaksakan.
"Mama tahu kau kuat. Kau sudah ribuan kali menari, kan? Kau tahu gerakannya. kaki dan tanganmu masih sama. Tidak perlu melihat untuk menari. Hanya sedikit penyesuaian, dan kau akan kembali bersinar. Dengar, Rora? Kau akan tetap jadi balerina yang hebat."
Aurora tak menjawab, hanya mengangguk kecil, seolah setuju untuk meredakan kegelisahan ibunya. Tapi dalam hatinya? Hanya ada kegelapan.
"Rora mau ke kamar mandi," ucapnya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan.
"Mama bantu, ya?" tawar ibunya dengan segera.
"Tidak, Rora bisa sendiri," jawab Aurora singkat. Dia turun dari brankar, kakinya mencari lantai yang dingin, lalu perlahan meraba dinding, mencoba menyesuaikan diri dengan dunia yang kini penuh kegelapan. Tangannya menyentuh pintu, lalu dia melangkah keluar dari ruangan, mencari arah.
Dalam perjalanan, tangannya secara tidak sengaja menyentuh lengan seseorang. "Maaf," ucapnya pelan.
"Tidak masalah," jawab suara laki-laki yang terdengar tenang, mungkin seumuran dengannya.
Aurora mengerutkan kening. "Kau... tahu jalan ke atap gedung ini?"
"Ke atap?" laki-laki itu terdengar bingung. "Kenapa?"
"Aku hanya ingin ke sana," jawab Aurora singkat, nadanya kosong, tanpa penjelasan lebih lanjut.
Laki-laki itu terdiam sejenak sebelum berkata, "Susah kalau cuma dijelasin. Biar gue anter. Mau?"
"Boleh. Maaf merepotkan," ucapnya lirih.
"Enggak masalah. Pegang lengan gue, biar gue bantu."
Namun, Aurora memilih untuk memegang ujung jaketnya, lebih nyaman begitu—lebih terjaga. Mereka berjalan dalam keheningan, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di lorong yang sepi.
YOU ARE READING
Melody Haru
RomanceAurora, seorang balerina berbakat, terperangkap dalam kegelapan setelah kehilangan penglihatannya. Di tengah desakan ibunya untuk terus menari, Aurora merasa hampa dan muak. Segalanya berubah ketika Haru, seorang pemuda misterius yang gemar bermain...