Bab 1: Nina dan Amar

29 1 0
                                    

Nina Ardiati tidak dapat memutuskan apa yang lebih buruk: sebuah film yang bercerita tentang seekor anjing yang dapat berbicara dan bermain sepak bola (Nina sudah cukup tua untuk mengetahui bahwa seekor anjing tidak dapat berbicara, apalagi bermain sepak bola), atau kenyataan bahwa ia menghabiskan satu hari lagi dari libur panjangnya yang teramat berharga dengan menonton film tersebut di rumah. Nina menekuk alisnya dalam-dalam. Sudah hampir pukul sebelas siang dan ia belum juga mandi. Sejak pagi, anak perempuan itu hanya duduk meringkuk begitu saja tak ubahnya seonggok batu di depan pesawat televisi. Nina masih memakai baju yang sama dengan yang dipakainya dua hari yang lalu, dan saat ini baju tersebut sudah mulai terasa lengket. Ia juga bukannya tidak menyadari bahwa orang-orang dapat mencium baunya dari jarak dua meter. Namun Nina tidak peduli.

Bukan tanpa alasan jika Nina bersikap seperti itu. Dua hari lagi sekolah sudah akan dimulai, dan sejauh ini ia belum menikmati liburannya barang sejenak pun.

Nina terkena demam sejak hari pertama liburan, yang memaksanya untuk menghabiskan sebagian besar waktu dengan berbaring di atas tempat tidur. Seandainya penyakit tersebut datang pada hari-hari sekolah yang biasanya, maka anak perempuan itu tidak akan peduli. Sebaliknya, Nina mungkin malah akan merasa senang karena paling tidak ia mempunyai alasan yang bagus untuk tidak masuk sekolah. Namun penyakit tersebut datang pada hari pertama libur panjang, atau dengan kata lain, salah satu hari yang paling penting dalam sepanjang tahun. Dan Nina tidak bisa melakukan apa-apa selain menyesali nasib sial yang menimpanya.

Demam mengambil tiga hari pertama dari tujuh hari liburan Nina. Pada hari yang keempat dan kelima ketika anak perempuan itu sudah cukup sehat untuk bermain di luar, hujan turun dengan teramat deras sepanjang siang dan malam seolah tak kenal waktu. Petir saling bersahut-sahutan dengan ganas dan langit tidak berhenti menumpahkan bulir-bulir air yang hampir sebesar biji kelereng. Jangankan untuk bermain, untuk berjalan di luar saja rasanya sudah setengah mati. Dengan berat hati, Nina terpaksa kembali menghabiskan dua hari itu dengan hanya berdiam diri di rumah saja.

Pada mulanya Nina masih berharap bahwa hujan akan segera berhenti. Dengan setia anak perempuan itu menunggui hujan di depan jendela dan ia hanya beranjak untuk makan dan tidur. Namun bukannya berkurang, bulir-bulir air yang bertumpahan malah semakin banyak dari waktu ke waktu, sehingga Nina menjadi kesal dan lebih memilih untuk tidak lagi peduli. Bermacam-macam pikiran buruk muncul di dalam benaknya. Mungkin ia memang hanya sedang bernasib sial, tapi mungkin juga ia sedang dikutuk seperti di dalam buku cerita-buku cerita. Nina dapat menyebutkan banyak nama temannya di sekolah yang sampai hati melakukan hal itu kepadanya. Setelah memikirkannya sekali lagi, Nina bahkan menjadi yakin bahwa ia benar-benar sedang dikutuk, sebab anak perempuan itu tidak dapat menemukan penjelasan yang lebih baik tentang bagaimana hal-hal buruk bisa menimpanya berurutan dalam jeda waktu yang begitu singkat. Sekedar kebetulan saja rasanya tidak mungkin sampai separah ini, Nina berpikir.

Lalu karena hatinya sudah telanjur kesal, pada pagi hari ini Nina lebih memilih untuk tidak pergi bermain di luar kendati hujan sudah tidak lagi turun dan matahari mulai kembali terlihat di atas langit yang hanya sedikit berawan.

Keadaannya mungkin tidak akan seburuk itu jika saja Nina senang tinggal di rumah dan bermain dengan bonekanya seperti anak perempuan kebanyakan. Namun Nina tidak seperti anak perempuan kebanyakan. Sama sekali tidak. Kenyataannya, kau tidak akan menemukan boneka barang sebuah pun di dalam kamar tidur anak perempuan itu. Seandainya rambut Nina tidak panjang dan ia memakai celana, maka orang-orang akan salah menyangkanya sebagai anak laki-laki.

Nina berusia sebelas tahun. Anak perempuan itu seharusnya sudah di kelas enam, namun saat ini ia masih duduk di bangku kelas lima lantaran sekolahnya berpindah-pindah. Tubuh Nina memang agak kecil, tapi nyalinya sangat besar. Nina bermain sepak bola lebih baik daripada kebanyakan anak laki-laki, dan ia berani memacu sepedanya paling tidak dua kali lebih cepat.

Kisah Bumidra - Buku 1: Hutan MuramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang