Bab 2: Menjelang Hujan

23 1 0
                                    

Keesokan paginya pada pukul enam kurang lima belas menit, Amar sudah berdiri di depan pintu rumah Nina. Anak laki-laki itu berpakaian lengkap dengan jaket tebal serta menggendong tas punggung yang sangat gendut karena sudah penuh terisi. Nina tertawa terbahak-bahak melihat penampilan sahabatnya yang ajaib tersebut.

"Kau berencana untuk menginap berapa hari?" kata Nina mengejek.

"Biar saja," Amar membalas. "Paling tidak aku mempunyai persiapan yang matang untuk menghadapi situasi apapun."

"Memangnya situasi seperti apa yang kau harapkan? Bukankah aku sudah bilang bahwa kita hanya akan pergi ke hutan yang tidak berbahaya?" ujar Nina. Kemarin anak perempuan itu memang sempat mengatakan kepada Amar bahwa hutan yang hendak mereka datangi adalah sebuah hutan lindung atau sejenisnya.

"Ya, aku dengar," kata Amar. "Tapi bukan berarti bahwa kita juga tidak perlu mempersiapkan diri sama sekali, bukan?"

"Memangnya apa saja yang kau bawa?"

"Semua hal yang kita butuhkan; makanan, minuman, buku-buku panduan tentang alam bebas, korek api..."

"– Korek api!? Untuk apa kau membawa korek api? Aku tidak ingin membakar apapun."

"Aku juga tidak, tapi bagaimana jika kita tersesat di suatu tempat? Kita bisa mengumpulkan rumput-rumput kering dan membakarnya untuk membuat tanda."

Nina mengangkat bahunya. Anak perempuan itu kini tidak tahu apakah ia harus kembali tertawa atau malah merasa kasihan. "Baiklah, aku menyerah. Aku tidak mau tahu barang-barang apa lagi yang kau bawa di dalam sana," Nina berujar. "Ayo kita masuk. Nenek sudah membuatkan nasi goreng kesukaanmu. Ia tidak akan membiarkan kita pergi sebelum kita makan pagi terlebih dahulu."

Tanpa malu-malu Amar berkumpul dengan keluarga Nina di meja makan untuk makan pagi. Bu Surya sangat terampil memasak dan Amar menyukai semua makanan yang dibuatkan oleh perempuan tua itu. Namun di antara semua makanan buatan Bu Surya, Amar paling menyukai nasi goreng, dan pagi itu ia sudah menghabiskan piringnya yang kedua.

"Apakah kau belum makan apapun sejak kemarin?" kata Nina yang memperhatikan Amar dengan takjub. Anak perempuan itu sendiri tidak suka makan dan ia hampir tidak pernah menghabiskan lebih banyak daripada setengah piring saja.

"Nina, jangan kau ganggu temanmu itu," Bu Surya berujar. Ia tersenyum senang melihat Amar menghabiskan nasi goreng buatannya dengan lahap.

"Hendak pergi ke mana kalian pagi-pagi begini?" tanya Pak Surya yang sedang asyik membaca surat kabar. Piring nasi goreng maupun gelas teh hangat yang berada di hadapannya telah tandas tidak bersisa.

Seandainya mulut Amar tidak sedang penuh, maka anak laki-laki itu akan langsung menjawab bahwa ia dan Nina akan pergi ke hutan. Namun Nina buru-buru menendang kaki Amar di bawah meja.

"Ke rumah Pak Hendro," jawab Nina. "Kakek tahu kan, tukang kayu itu?"

"Apa yang akan kalian lakukan di rumah Pak Hendro?"

"Kami hanya ingin melihat perkakas tukang kayu, Kek," Nina kembali menyambar sebelum Amar dapat berkata apa-apa. "Tugas sekolah."

Pak Surya mengangguk, sementara Amar melotot kepada Nina – yang dibalas oleh anak perempuan itu dengan lebih melotot lagi kepadanya. Untung saja, adegan tersebut luput dari perhatian kakek dan nenek Nina.

Pada pukul enam lewat sepuluh menit, Nina dan Amar sudah berada di muka pintu untuk berpamitan dengan Bapak dan Ibu Surya. Pagi itu sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Matahari bersinar dengan cerah dan tidak ada setitik pun awan terlihat di langit. Namun Bu Surya tiba-tiba berujar.

"Sepertinya akan hujan. Apakah tidak sebaiknya kalian membawa payung?"

Nina dan Amar saling bertukar pandang dengan heran.

"Tidak perlu, Nek," kata Nina. Kenyataannya, anak perempuan itu sudah cukup puas dengan tidak membawa benda apapun selain daripada kaus berwarna kuning dan celana panjang biru yang menempel di badannya.

"Lagipula bukankah pagi ini sangat cerah?" Amar menimpali.

"Apakah kalian sungguh-sungguh tidak ingin membawa payung? Nenek ambilkan ya?" Bu Surya berkata lagi.

"Tidak usah, kami tidak akan pergi jauh kok," kata Nina sambil tersenyum. Anak perempuan itu kemudian menoleh kepada Amar, meminta dukungan.

"Ya, kami hanya akan pergi ke rumah Pak Hendro," Amar berkata kepada Bu Surya, walaupun matanya mendelik kepada Nina. "Jika hujan turun, kami bisa langsung berteduh."

Walaupun anak-anak itu sudah berusaha untuk menghibur hatinya, namun terdapat perasaan khawatir yang tidak dapat dijelaskan oleh Bu Surya ketika ia melihat Nina dan Amar berdiri di muka pintu pada saat itu. Perasaan khawatir tersebut belum juga mau hilang dari benak Bu Surya sampai Nina dan Amar berpamitan dan bergantian mencium tangannya.

Dengan berat hati Bu Surya kemudian hanya bisa memperhatikan Nina dan Amar berjalan meninggalkan rumah. Betapapun perempuan itu ingin melarang mereka pergi, namun ia juga tidak bisa bertindak lebih jauh hanya karena didorong oleh perasaannya saja. Terlebih lagi Nina dan Amar terlihat begitu senang dan Bu Surya tidak sampai hati untuk merusak kesenangan anak-anak itu. Paling tidak Nina berhak memperoleh sedikit kebahagiaan untuk mengganti hari-hari liburnya yang telah hilang, demikian ia berpikir.

BuSurya masih berdiri di muka pintu, dan ia tidak mengalihkan pandangannya barangsejenak pun dari Nina dan Amar hingga keduanya menghilang di perempatan jalan.Seandainya Bu Surya mengetahui sedikit saja tentang nasib yang sedang menantianak-anak itu, sudah tentu ia akan melakukan apapun juga untuk mencegah mereka pergi pada pagi hari yang cerah tersebut.


Kisah Bumidra - Buku 1: Hutan MuramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang