Nina bergerak dengan lincah seperti kancil. Anak perempuan itu melompat kepada setiap batu besar dan batang pohon yang teronggok di hadapannya. Ia tidak sadar – dan tidak peduli – bahwa Amar tertinggal sepuluh meter di belakangnya. Sambil tergopoh-gopoh anak laki-laki itu berusaha untuk mengejar Nina. Amar terpaksa berjalan dengan agak membungkuk ke depan untuk menahan beban tas punggungnya yang cukup berat.
"Nina!" Amar berseru, "Nina, tunggu!"
Namun Nina tidak mendengar, sebab anak perempuan itu terlalu asyik bermain seorang diri.
Menyadari bahwa ia tidak bisa mengejar Nina, Amar lalu memutuskan untuk duduk dan beristirahat di atas sebuah batu besar. Anak laki-laki itu menghabiskan sebotol air minum dan melihat-lihat sekeliling, sambil berharap bahwa Nina akan segera bosan dan kembali dengan sendirinya.
Tidak butuh waktu lama sebelum Amar menyimpulkan bahwa hutan itu ternyata tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Pepohonan di tempat itu kelewat rapih dan rumput-rumputnya tumbuh tidak lebih tinggi dari mata kaki – dan itu pun kelihatannya dipotong secara berkala. Bahkan onggokan batu-batu besar yang sejak tadi ia temui seolah sengaja diletakkan di sana sebagai tempat beristirahat. Amar tidak heran jika Pak Hendro berani membebaskan ia dan Nina menjelajah, sebab anak laki-laki itu tidak dapat membayangkan bahaya seperti apa yang dapat mengancam mereka di sana. Paling-paling hanya tersandung batu, atau bertemu dengan ulat bulu. Amar bahkan ragu jika ia dapat melihat kelinci sampai petualangan mereka berakhir siang nanti.
Sambil menikmati udara di sekitarnya, Amar memilih untuk menunggu Nina. Lima menit berlalu, namun anak perempuan itu belum juga kembali. Amar berdiri dan kembali melanjutkan perjalanan. Mungkin Nina yang malah menunggunya di suatu tempat, anak laki-laki itu berpikir.
Amar terus berjalan sambil sesekali memanggil nama Nina, walaupun ia tidak kunjung mendapatkan jawaban. Amar tidak lagi melihat tanda-tanda keberadaan Nina di manapun kendati anak laki-laki itu memiliki jarak pandang yang cukup jauh karena pohon-pohon tumbuh dengan sangat renggang.
Amar tidak dapat memastikan berapa lama atau berapa jauh ia sudah berjalan. Anak laki-laki itu baru menyadari bahwa ia sudah berjalan sangat jauh ketika ia dapat melihat tiang bendera-tiang bendera kecil yang berdiri berderetan. Tiang-tiang itu pastilah tiang bendera-tiang bendera pembatas yang diperingatkan oleh Pak Hendro, demikian Amar menerka. Ia kemudian berjalan menghampiri salah satu di antaranya.
Tinggi tiang bendera itu hanya sedikit melebihi pinggang Amar. Tiangnya terbuat dari besi, sedang benderanya sendiri adalah kain biasa yang berwarna kuning. Amar memperhatikan bahwa di antara tiang bendera yang satu dengan yang lain terdapat jarak kira-kira sepuluh meter, dan semua tiang bendera berdiri dengan tegak. Namun tidak demikian halnya dengan tiang bendera yang berada di hadapannya, sebab benda tersebut malah agak miring dan tanah penyangganya terlihat gembur, seolah baru saja ditimpakan dengan beban yang cukup berat – atau disandari. Lalu seketika itu juga, Amar menyadarinya.
Nina pasti telah menyeberangi tiang bendera itu dan masuk ke sisi hutan yang lebih liar!
Setelah memikirkannya sekali lagi, Amar bahkan menjadi yakin bahwa Nina telah merencanakannya sejak semula! Lagipula, bukankah anak perempuan itu yang mengusulkan untuk pergi ke hutan tersebut?
Selama beberapa saat, Amar hanya berdiri di sisi tiang bendera yang agak miring tersebut dengan diliputi kebimbangan. Namun kemudian anak laki-laki itu menyadari bahwa ia tidak punya pilihan selain untuk menyusul Nina. Anak perempuan itu bisa saja sedang tersesat, atau malah bertemu dengan binatang liar!
Walaupun enggan, Amar lalu memberanikan diri untuk berjalan menyeberang.
Sambil berjalan, Amar kini harus membiasakan diri dengan keadaan tanah yang licin dan jauh lebih bergelombang, serta pucuk-pucuk rerumputan yang tumbuh dengan liar dan sesekali menusuk kulit di atas kaus kakinya sehingga anak laki-laki itu merasa perih. Amar berusaha untuk lebih berhati-hati ketika melangkah, namun sebelum lama bercak-bercak berwarna kecokelatan sudah menghiasi pakaiannya. Bukan tanpa alasan jika bagian hutan tersebut dibatasi dengan bendera berwarna kuning – yang dipahami oleh Amar sebagai warna peringatan. Tapi ia pantang mundur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Bumidra - Buku 1: Hutan Muram
FantasyNina dan Amar tersesat ke dunia ajaib bernama Bumidra, sebuah dunia yang hanya dihuni oleh hewan-hewan yang dapat berbicara. Kedatangan anak-anak manusia tersebut membuat gempar seluruh hewan, tidak terkecuali anggota kerajaan yang curiga dengan tuj...