Bab 9: Kabar Dari Jauh

4 1 0
                                    

Amar berusaha untuk menenangkan Kola dengan menceritakan hal-hal lain yang lebih menarik tentang dunia manusia sepanjang perjalanan pulang mereka. Usaha anak laki-laki itu hanya separuh berhasil. Walaupun Kola beberapa kali tersenyum dan bahkan tertawa, Amar masih dapat melihat sedikit raut ketakutan terpancar dari wajah burung itu.

Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Amar ketika ia sudah kembali berada di rumah para burung rangkong. Anak laki-laki itu kemudian memutuskan untuk menyantap beberapa buah apel dan mangga, lalu ia berbaring di tempat tidurnya yang terbuat dari tumpukan daun-daun hingga Nina dan kawan-kawan pulang tidak lama setelah itu. Amar segera bangkit dan menghampiri Nina selagi anak perempuan itu sedang menuruni punggung Rantau.

"Tadi itu seru sekali," kata Nina bersemangat. Ia berjalan dengan diapit oleh Rantau dan Koba di kedua sisinya.

"Tunggu saja sampai besok kau bertemu dengan para jerapah!" Koba berseru kepada Nina.

"Ya, para jerapah lebih senang berbicara daripada badak-badak itu," timpal Rantau.

"Dari mana saja kalian?" tanya Amar sambil mendatangi ketiganya.

"Kami pergi bermain dengan para badak," Nina menjawab. "Kau seharusnya ikut bersama kami, mereka sangat menyenangkan."

"Kau sudah pergi ketika tadi aku mencarimu," kata Amar dengan nada kesal.

"Salahmu sendiri karena terlambat mencari," Nina membalas.

Amar lalu berjalan mendekati Nina dan berkata di dekat telinga anak perempuan itu. "Nina, ada hal penting yang harus kita bicarakan."

"Aku tahu," kata Nina. "Ini tentang utusan kerajaan itu, bukan?"

"Tidak, ini tentang hal lain."

"Tentang apa? Bicarakan saja sekarang."

Ragu-ragu, Amar bergantian melihat kepada Rantau dan Koba. "Mungkin lebih baik jika kita membicarakannya berdua saja," anak laki-laki itu berujar kepada Nina.

Raut wajah Nina berubah. Alisnya ditekuk dan suara anak perempuan itu meninggi. "Dengar, aku sudah bosan dengan sikapmu yang selalu ketakutan terhadap semua hal," kata Nina.

"Aku tidak selalu ketakutan terhadap semua hal!" Amar berseru.

Nina bertanya sengit. "Apa buktinya?"

Namun sebelum Amar menjawab, tiba-tiba saja Kola terbang mendekat sehingga perdebatan itu terhenti.

"Utusan kerajaan telah datang!" Kola berseru. "Ia menunggu kalian di depan."

Nina dan Amar berusaha untuk tidak saling melihat wajah masing-masing ketika mereka berjalan menuju ke depan rumah para burung rangkong. Kola dan Rantau mengikuti di belakang anak-anak itu, sedang Koba kembali bermain dengan burung-burung rangkong kecil lainnya (lagipula Koba juga tidak akan diizinkan untuk mengikuti pertemuan tersebut). Amar agak terkejut ketika kemudian ia menemukan Kirana sudah menunggu di tempat yang mereka tuju.

"Ah, akhirnya kalian datang juga," kata Kirana sambil tersenyum.

Tidak jauh di depan Kirana, Nina dan Amar dapat melihat seekor kuda berwarna hitam yang hampir satu setengah kali lebih besar daripada Rantau. Kuda itu sangat gagah. Badannya kekar berotot dan suraunya berderai dengan indah. Pada mulanya Amar menyangka bahwa hewan yang gagah tersebut adalah tunggangan sang utusan kerajaan, namun kemudian anak laki-laki itu ingat bahwa ia tidak sedang berada di dunia manusia. Kuda itu adalah sang utusan kerajaan itu sendiri!

"Baginda raja menyampaikan salamnya kepada para burung rangkong," sang kuda berkata dengan suara yang sama gagahnya dengan perawakannya. "Apa kabar, Kirana?"

"Kami baik-baik saja," Kirana menjawab sambil tersenyum.

Kuda itu kemudian berpaling kepada Nina dan Amar. Ia melihat anak-anak itu dengan penuh minat. "Jadi kalian yang disebut dengan manusia," katanya. "Kalian benar-benar mirip dengan apa yang digambarkan oleh Moku Moku."

"Bukankah adat kerajaan mengajarkan kita untuk terlebih dahulu memperkenalkan diri kepada siapapun lawan bicara kita," Kirana menyela.

"Oh, maafkan aku," ujar kuda itu tanpa penyesalan sama sekali. "Namaku adalah Ilaga. Aku adalah utusan langsung dari Raja Jaraya."

Tidak ingin kalah gertak, Amar berkata dengan suara yang ditegar-tegarkan, "namaku Amar dan nama temanku Nina. Kami adalah manusia."

"Ya, aku bisa melihatnya," tukas Ilaga.

"Apakah maksud dari kedatanganmu, wahai utusan kerajaan?" Kirana bertanya.

"Aku berlari ke tempat ini selama tiga hari dan tiga malam hanya untuk menyampaikan pesan dari sang raja kepada mereka," kata Ilaga sambil memberi isyarat dengan kepalanya kepada Nina dan Amar.

"Dan bagaimanakah bunyi pesan itu, wahai utusan kerajaan?" tanya Kirana lagi.

"Sang raja mengatakan bahwa ia sendiri akan datang ke tempat ini untuk bertemu dengan anak-anak manusia. Ia akan sampai pada siang hari ketika bulan purnama yang berikutnya datang."

Semua yang berada di tempat itu – termasuk Kirana – sampai terlonjak kaget, kecuali Nina dan Amar.

"Bulan purnama," gumam Kirana. "Itu lima belas hari lagi."

"Raja Jaraya akan datang ke tempat ini," Kola berkata dengan takjub. "Apakah yang kira-kira diinginkan oleh sang raja kepada Nina dan Amar?"

Kola tiba-tiba menyesal. Burung itu menyadari bahwa ia tidak seharusnya mengajukan pertanyaan tersebut.

"Aku tidak akan menjawab ia yang tidak punya kepentingan," kata Ilaga dengan kasar. Ia membelalakkan mata kepada Kola sehingga bulu-bulu burung itu berdiri karena ketakutan.

"Apa yang diinginkan oleh Jaraya kepada kami?" Nina berseru kepada Ilaga.

Bukan main betapa terkejutnya Ilaga! Ia mengalihkan sorot matanya yang tajam kepada Nina, namun anak perempuan itu tidak mau kalah dan berbalik melotot kepada kuda tersebut.

"Raja Jaraya tidak mengatakan apapun," Ilaga menegaskan. Nada bicaranya pelan, namun mengancam. "Tapi jika sang raja telah bertitah, maka kalian akan mematuhinya."

"Katakan kepada sang raja, bahwa anak-anak manusia ini akan menunggu kedatangannya dengan senang hati," Kirana berkata untuk menyela ketegangan itu.

Ilaga mengangkat kepalanya dengan angkuh. "Kalau begitu jika pesan yang aku sampaikan sudah jelas, maka aku akan kembali untuk memberitakan jawabannya kepada sang raja," ujar kuda itu. "Selamat siang."

Lalu setelah ia memberi tatapan galak sekali lagi kepada Nina dan Amar, Ilaga langsung berbalik dan pergi. Kuda itu berlari dengan sangat cepat sehingga membuat debu-debu yang ditinggalkan di belakangnya beterbangan ke udara.

"Ia menyebalkan," kata Nina setelah Ilaga menghilang dari pandangan mereka.

"Ia adalah seekor utusan kerajaan, dan kau harus mulai belajar untuk menjaga sikapmu," Amar berujar sambil menekuk alisnya.

"Tapi kuda itu yang mulai duluan!" Nina berseru.

"Namun sikapmu tetap saja tidak bisa diterima," balas Amar.

"– Teman-teman, lihat," Rantau tiba-tiba memotong. "Itu Kora!"

Di kejauhan, Nina dan Amar dapat melihat sosok Kora sedang terbang mendekat, lalu sejenak kemudian burung itu sudah mendarat di tengah mereka semua. Sangat jelas bahwa ia kelelahan. Bulu-bulu Kora terlihat kusam dan berantakan, namun ia masih bisa tersenyum.

"Selamat siang semuanya," ujar Kora dengan bingung sekaligus ceria. "Dari mana kalian tahu bahwa aku akan datang?"


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah Bumidra - Buku 1: Hutan MuramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang