"Aku tidak suka jika kau harus sampai berbohong kepada kakek dan nenekmu," kata Amar dengan nada agak kencang karena ia harus mengalahkan suara angin serta deru mesin. "Bukankah mereka juga hampir tidak pernah melarang kita melakukan apa saja yang kita inginkan?"
"Aku tidak bohong!" Nina berseru kesal. "Tadi kita benar-benar pergi ke rumah Pak Hendro."
"Tapi sekarang kita pergi ke hutan."
"Tapi sebelumnya ke rumah Pak Hendro!"
Amar terdiam. Anak laki-laki itu menyadari bahwa ia tidak pernah menang jika berdebat dengan Nina.
Saat ini Nina dan Amar sedang duduk di bagian belakang mobil bak terbuka milik Pak Hendro. Di antara kaki-kaki mereka yang kecil berseliweran tali tambang bergulung-gulung serta sisa-sisa ampas kayu yang berserak di banyak tempat. Untung saja angin bertiup ke arah yang berlawanan, sebab jika tidak, sisa-sisa ampas kayu tersebut bisa saja terhirup oleh anak-anak itu. Sebenarnya Pak Hendro sudah berulangkali menawarkan kepada Nina dan Amar untuk duduk di kursi depan, namun Nina bersikeras untuk duduk di belakang. Ia berpendapat bahwa hal itu akan membuat petualangan mereka menjadi lebih seru.
"Lagipula mengapa kau harus berbo... eh, maksudku mengapa kau tidak mengatakan bahwa kita akan pergi ke hutan?" tanya Amar dengan hati-hati.
Nina melihat Amar cukup lama, lalu anak perempuan itu berkata, "aku baru saja sembuh beberapa hari yang lalu, jadi aku tidak ingin membuat kakek dan nenek khawatir."
Paling tidak Amar bisa menerima alasan tersebut, sehingga ia memutuskan untuk tidak lagi mengungkit masalah itu.
"Pemandangan yang bagus," gumam Amar.
"Apa?"
"Aku bilang, pemandangan yang bagus!"
Nina melihat sekeliling, lalu anak perempuan itu mengangguk setuju.
Mobil yang sedang ditumpangi oleh Nina dan Amar melaju dengan pelan. Menurut perkiraan Amar, mereka telah menempuh perjalan selama kurang lebih tiga puluh menit. Semakin jauh mobil itu berjalan, semakin sedikit rumah terlihat dan semakin tinggi pepohonan menjulang. Jika pada mulanya Amar hanya melihat anak-anak pohon berukuran tidak lebih besar daripada badan orang dewasa, kini di sekelilingnya sudah terdapat pepohonan setinggi lebih dari tiga meter – dan sepertinya akan terus bertambah tinggi. Amar memperhatikan bahwa semua pohon berjenis sama, dengan ciri batang yang besar serta dahan yang hanya terdapat sedikit di bagian puncaknya. Anak laki-laki itu juga menyadari bahwa pohon-pohon tersebut berdiri secara teratur seperti pasukan baris-berbaris di dalam upacara bendera.
Amar baru pertama kali ini melalui jalan yang sedang dilaluinya sekarang, dan ia merasa aneh karena mendapati bahwa daerah berpohon yang menyerupai hutan tersebut ternyata berada tidak jauh dari tempat tinggalnya. Selama ini anak laki-laki itu selalu mengganggap bahwa hutan adalah sesuatu yang hanya terdapat di buku-buku atau majalah-majalah – atau di tempat-tempat yang jauh dan tidak terjangkau.
Selang lima menit, muncul kekhawatiran yang lain di benak Amar. Jaket tebal yang dikenakannya mulai membuat anak laki-laki itu kegerahan, sementara matahari terus merangkak naik. Saat ini saja bulir-bulir keringat sudah membasahi dada dan keningnya, namun Amar juga tidak berani untuk melepaskan jaket tersebut karena khawatir benda itu akan terbang dibawa angin. Amar diam-diam menyesali keputusan Nina yang lebih memilih untuk duduk di belakang sehingga mereka tidak dapat berlindung dari panas matahari. Anak perempuan itu enak saja sebab ia hanya mengenakan kaus, demikian Amar mengeluh – yang tentu saja hanya di dalam hatinya.
"Apakah masih jauh?" tanya Amar kepada Nina.
"Apa?"
"Perjalanannya masih lama?"
"Sepertinya tadi pertanyaanmu tidak begitu!"
"Tidak penting! Apakah perjalanannya masih lama?"
"Lima menit lagi kita akan sampai," Nina berkata dengan mantap.
Namun baru dua puluh menit kemudian mobil yang ditumpangi oleh Nina dan Amar berhenti. Dengan badan yang sudah bermandikan keringat, Amar turun dari bak mobil dibantu oleh Pak Hendro. Nina menunjukkan simpatinya kepada anak laki-laki itu dengan tertawa hingga perutnya kesakitan.
"Kau seperti habis dihukum berlari keliling lapangan saja!" Nina berseru.
"Cepat keringkan badanmu agar kau tidak masuk angin," Pak Hendro menimpali.
Pak Hendro adalah seorang laki-laki yang berbadan besar dan berusia sekitar 40-an. Tangan Pak Hendro kekar seperti pipa besi dan bahunya sangat lebar. Nina dan Amar menyukai Pak Hendro karena laki-laki itu sangat ramah dan – yang lebih penting – ia juga tidak pernah banyak bertanya.
"Tidak perlu, Pak," kata Amar. "Aku membawa baju ganti untuk beberapa hari."
Nina terbelalak. "Kau membawa baju ganti untuk beberapa hari?" ujarnya keheranan.
"Tidak sia-sia, bukan?" kata Amar seraya menurunkan tas punggungnya. Anak laki-laki itu kemudian mengambil baju berwarna merah dan berjalan ke sisi mobil yang lain untuk berganti baju.
"Terserahlah," Nina bergumam sambil menyilangkan tangannya di depan dada.
Sambil berganti baju, Amar berusaha untuk mengenali keadaan lingkungan di sekitarnya. Tidak jauh dari tempat ia berdiri, anak laki-laki itu dapat melihat sebuah rumah berbentuk persegi, lalu di belakangnya terdapat sebuah pekarangan luas yang dikelilingi pagar berduri. Di dalam pekarangan tersebut Amar menemukan batang-batang pohon yang bertumpuk-tumpuk banyaknya. Amar tersenyum geli. Ia tidak bisa berhenti berpikir bahwa siapapun yang membangun pagar berduri itu telah membuang waktu dan tenaga mereka, sebab anak laki-laki itu tidak dapat membayangkan siapa pula yang mau mencuri batang-batang kayu tersebut. Tentunya benda itu tidak berharga, bukan?
Ketika Amar selesai memasukkan bajunya yang basah ke dalam tas dan berjalan kembali ke sisi mobil tempat Nina dan Pak Hendro menunggu, ia melihat bahwa Nina sudah mulai menghentak-hentakkan kakinya karena tidak sabar. Tanpa membuang waktu lebih banyak, kedua anak itu kemudian berjalan ditemani oleh Pak Hendro hingga ke titik tempat berakhirnya rerumputan dan dimulainya pepohonan.
"Hutan ini adalah sebuah hutan produksi," Pak Hendro menjelaskan sambil berjalan. "Semua pohon yang kalian lihat ini ditanam untuk ditebang ketika sudah besar, lalu digunakan untuk kebutuhan masyarakat."
"Apakah di hutan ini ada harimaunya?" tanya Nina.
Pak Hendro tertawa terbahak-bahak. "Jangan khawatir," katanya. "Tempat ini sudah bersih dari binatang liar. Kalian tidak mungkin bertemu dengan harimau atau serigala, paling-paling hanya kelinci."
Pak Hendro rupanya salah menangkap maksud dari pertanyaan Nina, sebab anak perempuan itu malah menghela nafas kecewa.
Sejenak kemudian rombongan itu sudah berhenti tepat di bawah pohon besar pertama yang mereka temui.
"Apakah ada di antara kalian ada yang membawa jam tangan?" Pak Hendro bertanya.
"Aku bawa," kata Nina sambil memamerkan jam tangannya. Amar baru menyadari bahwa anak perempuan itu menggunakan jam tangan sejak tadi.
"Saat ini sudah hampir pukul delapan. Kita akan berkumpul lagi di tempat ini pada pukul sebelas siang, lalu kita pulang," ujar Pak Hendro seraya melihat jam tangannya sendiri.
Nina dan Amar mengangguk.
Sebelum mereka benar-benar berpisah, Pak Hendro menyempatkan diri untuk menyampaikan sebuah nasihat lagi.
"Kalian bebas untuk menjelajah ke mana saja, tapi ingat, jangan melebihi tempat-tempat yang ditandai dengan bendera. Di luar tempat itu bukan lagi daerah hutan produksi. Walaupun tidak berbahaya, namun pepohonan di sana masih belum teratur sehingga kalian bisa tersesat."
Ninadan Amar kembali mengiyakan. Anak-anak itu kemudian berjalan masuk ke dalamhutan, sementara Pak Hendro kembali ke mobilnya untuk mengambil peralatan danmulai bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Bumidra - Buku 1: Hutan Muram
FantasyNina dan Amar tersesat ke dunia ajaib bernama Bumidra, sebuah dunia yang hanya dihuni oleh hewan-hewan yang dapat berbicara. Kedatangan anak-anak manusia tersebut membuat gempar seluruh hewan, tidak terkecuali anggota kerajaan yang curiga dengan tuj...