Bab: Rindu Mulai Mengetuk
Setelah malam itu, tak ada satu pun hari berlalu tanpa bayang-bayang Rose yang terus mengisi pikiranku. Gadis dengan rambut merah menyala, sepasang mata cokelat yang teduh, dan bibir merekah yang menawan, semua tentangnya berputar, menggelayut dalam benakku. Bayangan istriku yang dulu terasa begitu lekat. perlahan mulai memudar, seperti lukisan yang digerus waktu. Kini, sosok Rose-lah yang mengisi kekosongan itu, meresap tanpa permisi ke dalam setiap celah rindu yang dulu tak pernah kubayangkan akan terasa sebegitu menyesakkan.
Satu-satunya yang tersisa hanyalah kenangan samar tentangnya, tak lebih dari bayang-bayang yang kutemui di senja. Aku merindukannya dengan cara yang belum pernah kualami. Setiap malam, ada dorongan aneh untuk kembali ke klub tempat pertama kali kami bertemu. Seakan langkah kakiku masih bisa menuntun ke arah di mana ia menari, melontarkan senyum yang entah kenapa tak bisa hilang dari benakku. Namun, sekalipun aku berdiri di sudut tempat kami pernah berbincang, tak pernah ada bayangan Rose yang tampak. Seolah kota ini sengaja menyembunyikannya dari jangkauan.
Hingga suatu hari, seolah takdir menyingkapkan tabirnya. Tanpa sengaja, aku melihat foto Rose di sebuah majalah hiburan internasional. Namanya kini begitu tenar, terpampang jelas dalam huruf besar di sampul majalah, menandakan ia sudah melangkah jauh ke dalam dunia gemerlap yang dulu ia benci. Mataku terpaku pada wajahnya, masih sama, tak sedikit pun kehilangan pesonanya. Ia menjadi seseorang yang terus kubayangkan, namun juga seseorang yang tak lagi bisa kugenggam.
Aku ingin menemuinya. Hasrat itu bergejolak begitu nyata, mendorongku untuk membeli tiket pertama ke mana pun ia berada, menembus batas jarak dan waktu. Namun, ada sesuatu yang menghalangiku. Entah itu kebanggaan atau ketakutan untuk menyakiti kenangan yang terjaga, aku tidak tahu. Sementara itu, ayah terus mendesakku untuk menikah lagi, menyodorkan perempuan-perempuan pilihannya yang tak pernah sanggup kuperhatikan. Dalam pandanganku, tak ada satu pun dari mereka yang memiliki sesuatu yang bisa menggantikan sosok Rose. Ketika hati sudah terpaut, rasanya perintah dan harapan orang lain menjadi terlalu sulit untuk dipenuhi.
Sampai pada suatu titik, rasa jengah membuatku nekat. Aku membuat rekam medis palsu yang menyatakan bahwa aku tidak bisa memiliki keturunan. Aku ingin ayah berhenti mengatur kehidupanku, berhenti menjadikanku penerus yang hanya ada di harapannya. Sebenarnya, aku tak pernah mengira jika kebohongan itu akan berbuah sesuatu yang berat. Ayah terkejut, tubuhnya limbung, dan dalam sekejap ia jatuh sakit. Hatinya pasti tercabik; aku bisa merasakan penyesalan mengalir deras dalam tiap denyut nadiku saat itu. Namun, berkat kebohongan itu, ayah mulai berhenti memaksaku menikah. Tuntutannya mereda, tak lagi sekeras dulu. Meski akhirnya aku mendapatkan kedamaian kecil, bayangan ayah yang terbaring sakit masih menghantuiku, membawa rasa bersalah yang tak bisa kuhapus.
Sering kali aku berdiri di dekat jendela, menatap hamparan langit malam yang bertabur bintang. Terlintas dalam pikiran, seandainya aku menikah lagi, mungkin hanya satu orang yang pantas menjadi pendampingku: Rose. Namun, di saat bersamaan, aku bertanya-tanya apakah pertemuan kami yang begitu singkat adalah cukup untuk menyebutnya takdir. Rasanya, aku masih terbelenggu oleh rasa tidak tahu apa yang benar-benar kuinginkan, antara cinta yang lama terkubur dan harapan akan masa depan yang tak terjangkau.
Rose adalah sosok yang memberi warna baru dalam hidupku. Hanya saja, di mana pun aku mencarinya, yang tersisa hanya bayangan. Aku menahan diri untuk tidak melacaknya lebih jauh, membiarkan cinta itu terkubur dalam diam, bagai menanti musim yang mungkin tak akan pernah tiba.
YOU ARE READING
Love At Night For A Moment
RomanceRose & Warren dua lawan jenis yang terpaut usia cukup jauh. Bertemu secara tidak sengaja di sebuah klub malam. pertemuan itu berlanjut di hotel. Tanpa di duga Takdir justru menyeret keduanya dalam hubungan yang misterius dengan hadrnya orang ke t...