Hari ini terasa seperti kerlip lilin yang redup, sebuah ruang kosong yang bergema hanya dengan satu nama, Axel. Semenjak kutinggalkan dia di depan rumah Warren, ayah kandungnya, hidupku kembali terlipat dalam kesendirian. Di Paris, aku menjalani hari-hari yang terasa hampa, seolah jiwaku telah terbang bersama Axel. Kerinduanku mengisi setiap detik waktu yang berputar lambat, menyisakan hanya kenangan dan jejak-jejak Axel dalam pikiranku.
Setiap malam, aku menatap foto-foto kecil Axel yang tersimpan di ponselku. Jemariku menyusuri senyumnya, matanya yang kecil dan bersinar, hingga wangi pakaiannya yang tertinggal mengisi kehampaan di ruang kamarku. Rasanya, jantungku serasa ditarik dari tubuhku, membuatku berjalan tanpa nyawa, hanya menjalani rutinitas yang kosong. Di depan kamera, aku memasang senyum yang terasa kaku, sekadar menghias wajah yang sebenarnya ditopengi kegelisahan.
Sejak melahirkan, aku menjalani diet ketat demi mengembalikan tubuhku seperti sedia kala. Berjuang sendiri selama kehamilan hingga melahirkan di Edinburgh adalah perjuangan yang amat menyakitkan. Mengandung Axel seorang diri di kota asing telah mengajarkan banyak hal tentang kekuatan, meski bayang-bayang Warren kerap membayangiku. Dia tak ada di sisiku saat itu, namun entah mengapa, hatiku tak pernah bisa berhenti memikirkan dia, bukan hanya karena Axel adalah anaknya, tapi lebih karena aku telah jatuh cinta.
Perasaan ini muncul tanpa pernah kuundang. Mungkin saat pertemuan pertama kami, atau mungkin malam itu, saat dunia terasa teramat sepi hanya dengan kehadiran kami berdua. Meski usia kami terpaut cukup jauh, sepuluh tahun lebih tua, Warren tetap memancarkan pesona tak bisa ku tolak. Meski dia seorang pria matang, dengan sorot mata menggambarkan ketegasan, ada kehangatan yang hanya dia miliki.
Saat hamil besar, aku menyewa rumah kecil di dekat rumah sakit agar tak terlalu jauh ketika tiba waktu persalinan. Hari-hariku di Edinburgh kulewati dengan merajut pakaian kecil untuk bayi kami. Aku belajar dari internet, merenda harapan-harapan dalam setiap helai benang yang kugunakan. Sesekali aku mengisi waktu dengan membaca buku atau berkeliling kota, mencoba menikmati udara Edinburgh sambil membawa hati yang dirasuki oleh kerinduan. Meskipun tahu mungkin tak akan pernah bersama, aku sering kali mengunjungi toko buku hanya untuk melihat wajahnya terpampang di sampul majalah bisnis.
Ketika hari itu akhirnya tiba, rasa sakit luar biasa menjalar di tubuhku. Air ketuban pecah, dan aku segera menelepon rumah sakit. Dalam keadaan kontraksi yang menusuk, aku merasakan kesepian yang menggigitku lebih dalam. Tak seorang pun yang menggenggam tanganku, tak ada bisikan penguat di telingaku. Seharusnya Warren ada di sini, menemaniku, menenangkan kegelisahanku. Namun aku tetap diam, menahan perih ini sendirian.
Saat perawat bertanya, "Apakah suami Anda akan segera datang?"
Aku hanya tersenyum datar, "Suamiku... sedang sibuk," jawabku di sela sembilu yang kusimpan sendiri.
Axel lahir dengan berat 3,2 kilogram, sepotong kehidupan kecil yang mengubah seluruh duniaku. Ketika pertama kali menatap matanya, aku tahu dia adalah alasan mengapa aku bertahan. Dengan hati penuh syukur, kutimang dia dengan jiwa keibuan.
"Terima kasih, sayang, telah hadir ke dunia Mommy. Kau adalah anugerah terindah yang Tuhan titipkan, bukan kesalahan seperti yang dunia katakan. Sebentar lagi kau akan bertemu dengan Daddy-mu, seseorang yang juga mencintaimu, meskipun mungkin tak pernah mengakuinya."
Hari demi hari bersama Axel terasa seperti mimpi indah yang tak pernah ingin kutinggalkan. Tapi janji harus kutepati. Ketika usia Axel mencapai tiga bulan, aku kembali ke London dan meninggalkannya di depan rumah Warren. Hati ini serasa tersayat mendengar lirih tangisnya , namun aku yakin ini adalah keputusan terbaik. Axel berhak atas kehidupan yang aman dan nyaman bersama ayahnya. Dengan sepucuk surat dan beberapa dokumen, aku perlahan meninggalkannya, memperhatikan dari kejauhan sampai pintu rumah itu terbuka.
Di Paris, ibuku beberapa kali menanyakan siapa sebenarnya ayah Axel. Tapi aku hanya menjawab samar, "Ayah Axel hanyalah orang biasa, tapi dia bertanggung jawab. Mulai sekarang, kau tak perlu khawatir lagi tentang anakku. Axel aman bersama ayahnya."
Setiap kali kerinduan menyiksaku, entah dari mana Warren seakan tahu. Dia mengirimkan foto-foto dan video Axel, mengizinkanku melihat senyum kecil itu meski hanya dari layar. Axel sedang dibaptis, Axel bermain, Axel tertawa digendong kakek dan neneknya, semua masa berharga itu dikirim Warren seolah aku juga ada di sana, turut menyaksikan pertumbuhan Axel yang perlahan besar di pelukan mereka.
Kurasakan air mata bergulir saat menonton video Axel yang Warren kirimkan dalam bentuk flash disk. Ku lihat juga , Axel tersenyum Dalam frame , seakan tahu bahwa ibunya menonton ditemani kerinduan yang tak pernah terpuaskan. Foto-fotonya menghiasi dinding kamarku, menjadi teman bisu , menghibur setiap saat aku merasa terpuruk.
"Axel, sayang... jika kau bisa mendengarku, ketahuilah Mommy akan selalu merindukanmu, Mommy sangat mencintaimu" batinku membisik, menatap lekat setiap foto Axel menampilkan senyum khasnya.
Malam-malam di Paris terasa panjang dan sepi. Sering kali kubiarkan diriku tenggelam dalam kenangan, membayangkan Axel di dekatku, tertawa dan bermain seperti anak-anak lainnya. Video serta foto kiriman Warren seakan menjadi satu-satunya jendela yang menyambungkanku dengan dunia kecil Axel. Lewat kiriman demi kiriman itu, aku pun merasakan ada sentuhan yang memeluk hangat rinduku, walapun tak benar-benar bisa memeluknya dalam nyata.
Begitu banyak cinta yang kurasakan untuk anakku, cinta yang tak pernah kusangka bisa hadir dengan begitu kuat. Meskipun jauh dari sisiku, Axel akan selalu menjadi bagian dari jiwaku. Ia adalah cahaya kecil berbenderang terang menyinari dalam sudut gelap hidupku, pengingat bahwa aku pernah mencintai dan dicintai, meskipun dalam diam. Warren, meskipun hadir dengan sikap yang mungkin tak selalu kuinginkan, telah membuktikan bahwa ia adalah ayah yang baik. Dia merawat Axel dengan cinta dan perhatian yang tulus, memberikan keamanan yang tak mampu kuberikan.
Kini, aku hanya bisa menanti waktu berjalan, mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari-hari tanpa Axel. Namun aku percaya, suatu hari nanti, Axel akan mengetahui semua yang telah terjadi. Bahwa cinta ini tak pernah berkurang, walau jarak dan waktu memisahkan.
YOU ARE READING
Love At Night For A Moment
RomanceRose & Warren dua lawan jenis yang terpaut usia cukup jauh. Bertemu secara tidak sengaja di sebuah klub malam. pertemuan itu berlanjut di hotel. Tanpa di duga Takdir justru menyeret keduanya dalam hubungan yang misterius dengan hadrnya orang ke t...