Pagi itu, aku tiba lebih awal di Café de l'Homme, membawa Axel.wajahnya tampak ceria meskipun baru bangun. Di sekitar kami, suasana Paris masih terbuai oleh lembutnya pagi. Jantungku berdebar cepat, aku cemas dan bersemangat menunggu kehadiran Rose, berharap ia akan mengenakan gaun yang kuberikan tadi malam.
Pemandangan Eiffel di kejauhan terlihat megah, seakan menjadi saksi bagi segala harapanku pagi ini. Cahaya matahari pagi memantul dari baja-bajanya yang kokoh, menambah kesan agung pada menara itu, sementara aroma kopi merebak berpadu dengan harum croissant hangat.
Pelayan lalu lalang membawa pesanan. Axel duduk di sampingku berkali-kali menyebut "Mommy," tanda bahwa ia juga sudah Tidak sabar menunggu kedatangan Rose karna merindukanya."Mommy sebentar lagi akan datang, Axel," bisikku, mencoba menenangkannya.
Tak lama, aku melihat sosoknya muncul di antara keramaian. senyumannya mengembang memekarkan kuncup-kuncup bunga di hatiku, Rose mengayunkan langkah, mendekat, mengenakan gaun yang kuhadiahkan. Gaun krem beraksen hati merah itu mengalir indah di tubuhnya, menghadirkan kesan anggun dan romantis. Axel langsung berlari kecil menghampirinya, mengulurkan buket mawar segar yang kuperintahkan untuk diberikan kepada ibunya. Axel mengecup pipinya, membuat seringai lebar melengkung di ujung bibirnya . seraya melakukan hal yang sama .
"Kenapa aku jadi melakonis begini," gumamku dalam hati hampir meneteskan air mata karena terlalu bahagia ketika mereka berjalan mendekat. Kenangan akan masa lalu tiba-tiba menyeruak, ketika untuk pertama kalinya aku melihat senyum tulus itu terpancar di wajah Rose.
Rose meletakkan buket bunga di meja, lalu menatapku. "Kau masih ingat gaun yang kupakai waktu itu?"
"Mana mungkin aku lupa. Malam itu, aku terlalu terburu-buru sampai tanpa sengaja merobeknya," jawabku terasa geli sendiri, mengingat kembali malam saat gairah tak terlupakan itu .
Rose terkekeh, membuat rona merah di wajahnya semakin memesona. "Terima kasih. Gaun ini persis seperti gaun yang kupakai waktu itu. Ternyata, kau sangat detail," katanya, tatapannya membias hangat dan menawan.
Aku mengambil napas sedalam mungkin, kemudian mengeluarkan kotak cincin berlian kubawa dari tadi malam. Aku menatapnya dalam sekali, memohon agar ia mengerti betapa seriusnya aku dengan semua ini. "Kau menerimanya, Rose?"
Tatapan itu berubah mantap. "Yes, aku mau," jawabnya tegas dan lembut, membuat seluruh harapanku sekejap menjadi nyata. Berpelahan, kusematkan cincin berlian berbentuk mawar itu di jari manisnya. Kilau berlian berpendar indah di tangan Rose, seakan-akan ia memang diciptakan untuk memakainya.
"Rose Riley, aku mencintaimu, segenap hati."
Rose tersenyum, meremas jemariku lembut. "Dan aku juga mencintaimu, Warren Winsey."
Aku tak mampu menahan diri lagi. kucium bibirnya begitu dalam, seakan mengunci setiap janji yang telah terucap. Kami terhanyut dalam detik itu, tak peduli pandangan orang-orang di sekitar yang mungkin memandang kami aneh. Namun, perasaan kami terlalu kuat untuk memperhatikan sorotan orang lain.
Mendadak , Rose mengurai suatu lewat nada setengah berbisik.
"Bisakah kau menunggu sebentar lagi,?"
keningku terangkat, penasaran.
"Hanya tiga bulan. Aku hanya ingin bersikap profesional.sebelum kontrakku berakhir," jelasnya.
Tatapanku bertaut dengan netranya yang bercahaya.
"Bahkan tiga tahun pun aku siap menunggumu" ujarku tulus.
ia terkekeh, sepasang mata indah berbinar nakal.
. "Aku tidak akan membiarkanmu menunggu selama itu," balasnya, tersenyum membungkah. Kutarik tubuhnya ke pelukanku, mencium bibirnya sekali lagi. Namun, ada yang mengganggu pandanganku. Aku melihat Axel sedang asyik merusak buket bunga yang baru saja diberikannya kepada ibunya."Axel! Apa yang kau lakukan?" tanyaku setengah tertawa, melihatnya mencabut bunga mawar satu per satu dari buket.
Axel hanya menyeringai ,memamerkan gigi-giginya yang kecil, senang dengan permainannya sendiri. Rose ikut terbahak, lalu memungut sisa-sisa bunga yang berserakan di lantai, memperlihatkan senyum bahagia yang selama ini kuimpikan.
Malam itu, mungkin memang awal dari sebuah kesalahan.
Tapi kehadiran Axel bukanlah suatu kesalahan. Dialah cinta terpendam antara aku dan Rose membuka kekosongan hati untuk mencari secercah sinar yang lama meredup. Bagiku Rose dan Axel adalah takdir tak terduga, menjelma menjadi separuh jiwaku membuatku ingin hidup tak hanya sekali.Warren Winsey
YOU ARE READING
Love At Night For A Moment
RomanceRose & Warren dua lawan jenis yang terpaut usia cukup jauh. Bertemu secara tidak sengaja di sebuah klub malam. pertemuan itu berlanjut di hotel. Tanpa di duga Takdir justru menyeret keduanya dalam hubungan yang misterius dengan hadrnya orang ke t...