Memanggilku " Mommy"

7 4 0
                                    

Hari ini aku punya seluruh waktu di apartemen untuk diriku sendiri. Ibu sedang pergi bersama seorang pria bernama Mark, seseorang yang mulai ia kencani setahun lalu dan rencananya akan menikah dengannya dalam waktu dekat. Aku memilih membersihkan setiap sudut apartemen daripada keluar dan bertemu dunia luar. Sejak Axel pergi, hidupku terasa sunyi, dan aku lebih banyak mengurung diri di sini. Mungkin ibu juga merasa aku telah cukup dewasa untuk tidak perlu diawasi lagi. Ia sekarang jarang memaksakan kehendaknya, sesuatu yang membuat hatiku sedikit nyaman.

Aku tahu ibu telah melalui banyak hal. Dia menderita tak kalah hebat dariku sejak ayah meninggal. Aku pernah melihatnya rela  semua perhiasannya  raib demi menutupi utang ayah, meski akhirnya caranya memperlakukanku terasa salah. Namun, aku juga tidak tega melihatnya menderita sendirian. Hari-harinya yang kosong kini mungkin terisi oleh kehadiran Mark. Di sisi lain, setidaknya aku tak lagi harus bertengkar dengannya.

Sambil membawa dua kantong sampah, aku turun menuju tong sampah di ujung jalan. Setelah menekan tombol lift, pikiranku menerawang jauh, memikirkan Axel. Sudah setahun sejak aku mendengar tawanya, melihat senyumnya yang meneduhkan. Tiba-tiba, langkahku terhenti, mataku menangkap bayangan yang begitu familiar di seberang jalan. Seorang pria berdiri di sana, menggendong seorang anak kecil yang tertawa ceria sambil melambaikan tangan.

Aku terpaku. Suara anak itu, panggilannya, membuat jantungku berdetak kencang. "Mommy! Mommy!" Aku menutup mulut, merasakan air mata perlahan-lahan menggenang. Tidak mungkin-itu Axel! Tangan-tanganku gemetar, kantong sampah terlepas, dan tanpa berpikir panjang, aku berlari menyeberang jalan, mengapai mereka.

Teriakan klakson mobil menggema di telingaku, tetapi aku tak peduli. Saat hampir tertabrak, suara yang kukenal memanggilku. "Rose! Hati-hati!"

Warren. Pria itu adalah Warren, dan ia ada di sana, memandangiku dengan tatapan yang tak pernah hilang dari ingatanku. Tubuhku terasa lemas ketika akhirnya ia berdiri di hadapanku, dan aku langsung meraih Axel, mendekapnya erat. Seakan takut kalau ini hanya mimpi, aku menciumi wajahnya, mencium aroma rambutnya yang begitu kurindukan.

"Mommy," ucapnya dengan polos sambil tersenyum.

Aku terisak. "Iya, sayang, ini Mommy. Mommy sangat merindukanmu..." Axel memelukku, tertawa kecil di pelukanku, sementara Warren berdiri di samping, diam-diam menyaksikan pertemuan ini.

Kami saling berpandangan, kikuk. Warren terlihat lebih tampan, dengan senyum yang sama seperti dulu, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda, kebahagiaan yang tampaknya datang dari hadirnya Axel.

"Hi..." ia menyapaku dengan suara lembut.

"Hi..." jawabku pelan, tak tahu harus berkata apa. Jantungku masih berdetak tak karuan.

"Apa kabarmu, Rose?" tanyanya sambil tersenyum canggung.

Aku mengangguk pelan. "Baik... dan kau?"

"Lebih baik sejak ada Axel," jawabnya dengan tawa kecil, sambil mengusap kepala Axel dengan lembut.

Kukira pertemuan kami tak lebih dari sekadar keajaiban. Di dalam lift, aku tak bisa berhenti memandangi Axel yang tampak begitu bahagia di gendonganku, sementara senyuman Warren tersinggung lebar memperhatikan kami Aku mendekap Axel erat, tak ingin melepasnya, membiarkan air mata mengalir begitu saja. "Mommy sangat senang bisa bertemumu lagi, sayang..." bisikku pelan, memeluknya.

Sesampainya di apartemen, aku duduk bersama Axel di sofa, memberinya cookies yang disukai anak-anak seumurannya. Aku melihat Warren duduk di kursi seberang, matanya menjelajahi sekeliling apartemen, mungkin menyadari betapa berantakannya tempat ini Karna penghuninya terlalu sibuk.

"Kapan kalian tiba di Paris?" tanyaku, mencoba mengusir kegugupanku.

"satu jam lalu" jawabnya, sambil tersenyum tipis. "Ibumu tidak ada di rumah?"

"Dia sedang keluar dengan temannya," kataku sambil mengambilkan satu cookies untuk Axel. "Kau suka?"

Axel mengangguk ceria. Ia mengunyahnya dengan lahap, sementara Warren tersenyum melihat keibuanku yang muncul begitu alami.

"Jadi... kau ke Paris untuk bisnis?" tanyaku, berusaha untuk tidak tampak terlalu penasaran.

Warren menggeleng. "Tidak, aku dan Axel ke sini... untukmu."

Jantungku seakan berhenti berdetak ketika mendengar jawabannya. Pandanganku bertemu dengan matanya yang menatap dalam, seakan menembus dinding-dinding pertahananku. Namun sebelum sempat berkata apa pun, Axel meminta lebih banyak cookies, memecahkan kebisuan di antara kami.

"Mommy dengar kau sangat suka jus apel, biar mommy ambilkan dulu".  sembari mengusap air mata yang hampir jatuh. Aku pergi ke dapur, mengatur napasku yang tak beraturan. Ketika kembali, aku membawa dua gelas jus untuk Warren dan Axel, berusaha menenangkan diriku di tengah rasa bahagia yang bercampur cemas.

"Oh ya, Axel, Mommy punya sesuatu untukmu," kataku sambil berdiri dan menuju ke kamar gudang. Aku mengambil kotak berisi mainan Axel yang masih terbungkus rapi sejak terakhir kali aku menyimpannya. Aku membuka kotak itu, mengambil mainan mobil polisi yang dulu begitu ia sukai, lalu menyalakannya.

Axel terlihat girang dan langsug meraih mainan itu dari tanganku, tertawa bahagia. Aku duduk di sampingnya, membelai sayang rambutnya . Warren mengamati kami dari kejauhan, tatapannya sangat teduh merecik kehangatan

"Luar biasa!, ikatan batin kalian sangat kuat. Axel langsung merasa nyaman berada di dekatmu, padahal ia jarang sekali dekat dengan orang baru. Rasanya ia tahu, di dalam hatinya, kau adalah ibunya..." ucap Warren masih menebar senyum, mengisyaratkan kekagumannya.

"Terima kasih..." tuturku lirih, tak mampu menahan rasa haru yang perlahan meluap. "Terima kasih telah membawanya ke sini..."

Aku tak berani menatap Warren lama-lama, takut perasaan yang lama kusimpan akan terbongkar begitu saja. "Aku akan mandi sebentar, kemudian kita bisa pergi ke Disneyland. Kau suka Mickey, bukan, Axel?" tanyaku sambil tersenyum.

Axel mengeliat manja di dadaku, dan aku tertawa kecil sebelum akhirnya pergi ke kamar mandi, membiarkan Warren bersama Axel sejenak. Di dalam kamar mandi, aku memandang bayanganku di cermin, merasa seperti perempuan yang berbeda. Ada kebahagiaan, ada rasa lega, dan harapan baru yang merangkai.

Di ruang keluarga, suara tawa Axel masih terdengar, menggemuruhi sudut-sudut apartemen yang selama ini sunyi. Aku merasa hidup kembali, seperti orang yang akhirnya menemukan kembali bagian jiwanya yang musnah.

Love At Night For A MomentWhere stories live. Discover now