Setahun yang lalu, aku berangkat ke Paris bersama mama, membawa perih dan kenangan di lubuk kalbuku. Agensi besar di Paris merekrutku sebagai model, membawaku ke dunia yang kian berbinar namun terasa semakin jauh dari kenyataan. Namaku mulai dikenal; wajahku terpampang di sampul majalah, sorotan kamera mengikuti setiap langkahku. Tapi di balik gemerlap dunia model ini, ada satu hal yang terus membelenggu hatiku, rasa rindu pada seseorang yang mungkin tak pernah seutuhnya kutinggalkan.
Dia, Warren. Seorang pria tampan yang terikat masa lalunya, enggan membuka hatinya pada cinta baru. Malam itu, di bawah kesunyian, aku dan Warren menemukan kehangatan dalam dekapan yang singkat namun sangat membekas, tak hanya dipikiranku tapi juga hatiku. Sosoknya selalu mengusik pikiranku, menyelinap dalam bayang-bayang kehidupanku di Paris. Setiap kali aku memejamkan mata, kenangan akan dirinya kembali mengacau benakku.
Sore itu, setelah sesi pemotretan yang cukup menguras energi, aku singgah di sebuah kafe. Aroma salmon yang tersaji di atas meja langsung membuat perutku bergejolak. Seketika, aku merasa mual dan bergegas ke toilet, meninggalkan hidangan yang baru saja kujamah. Di dalam bilik toilet, aku terpaksa melepas korset yang terasa menekan perutku, lalu muntah berulang kali. Tubuhku terasa lemah, dan seiring langkah berat, aku memutuskan untuk pulang ke apartemen.
Saat tiba, aku menemukan catatan kecil di pintu kulkas: Rose, mama keluar untuk makan malam dengan teman mama. Masak makan malam sendiri, ya. Aku menghela napas dan melangkah ke kamar mandi, berharap air hangat bisa mengusir lelah yang menumpuk. Setelah mandi, aku mulai merawat wajah dengan skincare, namun saat mencari kapas di laci meja rias, mataku tertumbuk pada sebungkus pembalut. Baru saat itulah aku tersadar, sudah hampir dua bulan aku tak datang bulan.
Aku sempat mengabaikan, mengira ini mungkin hanya karena stres yang kerap membuat siklusku terganggu. Namun, kali ini terasa berbeda. Rasa lelah sering datang tiba-tiba, kantuk yang terus mengganggu di tengah pekerjaan, semuanya mulai menimbulkan kecemasan dalam hati. Aku merasakan perutku dan berbisik pelan, "Tidak mungkin... Aku hanya melakukannya sekali."
Esok paginya, saat mama membuatkan omelet kesukaanku, aroma hidangan itu membuatku mual lagi. Aku bergegas ke kamar mandi, berusaha meredam perasaan yang kian menerkam. Ketika mama bertanya apa yang terjadi, aku hanya mengulaskan senyuman minim dan berkata aku sedang tak enak badan. Namun, hati ini tetap cemas. Sebelum ke lokasi pemotretan, tanpa rencana, aku mampir ke apotek di sudut jalan dan membeli tes kehamilan. Aku mengenakan kacamata hitam dan topi untuk menyembunyikan identitasku.
Sesampainya di lokasi, aku menuju toilet dan membuka alat tes kehamilan yang baru saja kubeli. Dengan jantung berdebar, aku menunggu garis-garis itu muncul, berharap hasilnya negatif. Namun, seketika seluruh duniaku terasa berputar saat melihat dua garis yang perlahan-lahan muncul. Lututku melemas, dan aku jatuh terduduk di lantai toilet. Tanganku gemetar memandang hasil tes itu lagi, berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanyalah kesalahan.
Tapi tidak. Aku mengandung anak Warren.
Air mata mengalir tanpa dapat kutahan, menumpahkan seluruh perasaan yang selama ini kusimpan dalam-dalam. Bayangan Warren tiba-tiba hadir, meresapi pikiranku, tatapan matanya, suaranya, kehangatan yang sempat kurasakan dalam dekapannya. Hati ini bergejolak, bergelut, kecamuk antara takut, cemas, dan rindu tak pernah usai.
Di tengah pendaran kota Paris dalam gemuruh kesibukan dunia model yang begitu menuntut, aku terperosok di persimpangan besar dalam hidup. Di dalam diriku, ada bagian dari dirinya yang hidup. cinta tersembunyi di bilik hening malam , sebuah rahasia yang kini akan mengubah segalanya.
Di dalam toilet itu, Aku berusaha menenangkan diriku, namun gelombang emosi datang bertubi-tubi, menyelimuti hatiku dalam campuran panik dan ketidakpastian. Air mata jatuh perlahan, merembes pada rasa takut yang menyeruak dari lubuk terdalam. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tidak tahu ke mana aku akan berlabuh dalam badai yang tiba-tiba menghantam hidupku.
Apakah aku harus menghubungi Warren? Mengatakan padanya bahwa ada bagian dari dirinya yang kini hidup dalam diriku? Namun, malam itu, di bawah kelamnya langit, aku dan Warren hanyut dalam pelukan tanpa ikatan. Tidak ada janji, tidak ada harapan, hanya dua hati yang saling menghangatkan dalam sunyi. Saat itu, aku pun tak kuasa menolaknya, meski tahu bahwa pada akhirnya, kepergian ini tak bisa terhindari.
Suara ketukan di pintu mengembalikan kesadaranku. "Rose, apa kau di dalam?"
"Iya, tunggu sebentar, Kate," sahutku pada asistenku, suaraku berusaha setenang mungkin.
"Sesi pemotretanmu akan segera dimulai. Apa kau baik-baik saja?"
"Iya, aku baik-baik saja... hanya agak sembelit. Sudah hampir selesai," jawabku, menahan getir di hati.
"Oke, aku tunggu di luar."
Cepat-cepat aku merapikan diri, menyembunyikan tes kehamilan ke dalam tas, lalu membasuh wajah di wastafel. Aku menatap bayanganku di cermin, seolah mencari jawaban yang mungkin takkan pernah kutemukan. Sampai kapan aku bisa menutupi kenyataan ini dari semua orang?
-
Dua bulan berlalu. Jadwal kerja yang semakin padat mulai menghancurkan fisikku. Di setiap sesi pemotretan, rasa lelah itu datang lebih cepat, letih berat mendobrak tubuhku. Hingga akhirnya, di siang itu , tubuhku tak sanggup lagi; aku jatuh pingsan, menyerah pada kelelahan yang sejak lama ku tahan.
Saat kesadaranku perlahan kembali, aku menemukan diriku terbaring di ranjang rumah sakit, dikelilingi aroma antiseptik. Kate berdiri di samping, matanya cemas namun sekaligus lega melihatku siuman. Di sampingnya, mama berdiri dengan raut wajah kaku dan gusar, mungkin telah mengetahui segalanya.
Tanpa menanyakan keadaanku, mama langsung menyodorkan pertanyaan tajam, "Anak siapa yang kau kandung? Siapa pria itu?"
Aku terdiam, memalingkan muka. Tak ada jawaban yang sanggup kuberikan.
"Jawab, Rose!" desaknya, suaranya kian menekan.
Namun aku tetap membisu, menahan air mata yang semakin deras membasahi pipi. Kate berusaha menenangkan mama, meredakan ketegangan yang kian memuncak di ruangan itu. Namun, kata-kata mama berikutnya menghantam jiwaku tanpa ampun.
"Kau harus menggugurkannya sebelum karirmu hancur gara-gara janin itu."
Dadaku terasa tersetrum, dan air mata jatuh tanpa bisa kutahan lagi. "Tidak, Ma!" lirihku tegas, "Ini anakku... Aku tidak akan pernah melakukan itu. Sedetik pun, aku tak pernah berpikir untuk menggugurkannya."
Sorot mata mama semakin bengis, dan tanpa peringatan, tangannya terangkat, hampir menghantam pipiku. Namun Kate segera mencegahnya, menggiring mama keluar dari kamar . Hening menyelimuti ruangan setelah mereka pergi, meninggalkanku dalam kepedihan yang semakin membuncah.
Saat Kate keluar sebentar untuk membeli makanan, aku menyusun rencana. sedikit takut, aku mencabut jarum infus di lenganku, menahan perih yang menjalar, membiarkan darah mengembul sebelum kuusap dengan tisu. Bergegas, aku mengganti pakaian, meraih tas, dan keluar dari kamar dengan hati-hati. Aku berhasil keluar tanpa banyak menarik perhatian dan segera mendapatkan taksi yang mengantarkanku menuju apartemen kecil yang baru kucicil, tempatku berlindung setiap kali ada keributan dengan mama.
Sesampainya di apartemen, aku meminta sopir untuk menunggu sebentar di luar. Bergegas, aku memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper, menyelipkan paspor, visa, kartu debit, dan uang tunai secukupnya. Hatiku berdebar cepat, namun tekadku sudah bulat.
Begitu kembali ke taksi, aku berucap mantap, "Tolong antar saya ke Bandara ,."
Taksi meluncur melewati jalanan Paris, membawa segala lara dan keputusanku menuju titik baru dalam hidupku. Di bandara Charles de Gaulle, tanpa menunggu lama, aku memesan tiket ke Edinburgh, tanah yang dulu pernah ku singgahi, menggoreskan ketenangan. tempat aku akan mencari jawaban, memulai kisah yang baru bersama bayi ini.
YOU ARE READING
Love At Night For A Moment
RomansaRose & Warren dua lawan jenis yang terpaut usia cukup jauh. Bertemu secara tidak sengaja di sebuah klub malam. pertemuan itu berlanjut di hotel. Tanpa di duga Takdir justru menyeret keduanya dalam hubungan yang misterius dengan hadrnya orang ke t...