Malam mengantar Axel terlelap di sampingku, napasnya teratur dan damai. Aku tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul, perasaan hangat merambat dalam dadaku, rasa syukur begitu mendalam untuk kehadirannya. Walau di dalam hatiku masih tergenggam perih dan penyesalan, Axel menjadi sumber kekuatan tak pernah kurasakan sebelumnya. Rose juga telah meninggalkan sebuah dokumen kelahiran yang mencatat namaku sebagai ayah kandung Axel. Saat kubaca nama itu, dadaku terasa linu, air mata jatuh tanpa bisa kutahan.
Perlahan, aku mengulurkan tangan, menggenggam jemari mungil Axel
"Ibumu pasti telah melalui banyak hal untuk sampai pada titik ini," gumamku, suara bergetar. "Ayah sangat menyesal, nak. Aku tak bisa ada di samping ibumu seperti yang seharusnya."Bayangan malam itu kembali melintas di benakku, malam yang kini seakan menjadi jembatan antara penyesalan dan kebahagiaan yang hadir lewat sosok kecil ini. "Rose," bisikku dalam batin, "maafkan aku. Jika malam itu tak pernah terjadi, kau mungkin tak harus mengalami semuanya sendiri. Tapi kini aku berjanji, Rose... Aku akan menjaga Axel dengan sepenuh hatiku, bahkan lebih dari nyawaku sendiri."
Sebagai ayah untuk pertama kalinya, hari-hari terasa seperti belajar dari awal. Dari menyiapkan susu, mengganti popok, hingga menenangkan tangisnya di malam hari, semuanya adalah tantangan baru bagiku. Aku mengandalkan internet sebagai panduan, mencari tahu cara terbaik untuk membuat bayi merasa nyaman, bagaimana mengganti popok dengan cepat, dan apa yang harus dilakukan ketika Axel terbangun di tengah malam, menangis tanpa henti. Setiap usaha ibarat perjuangan, tapi aku tak pernah merasa lebih hidup dari ini.
Hari pertama tanpa ke kantor terasa begitu menantang. Ketika Axel akhirnya terlelap, aku duduk di sampingnya dan tertawa pelan, merasa lega sekaligus bangga. "Sudah lama sekali aku tak merasakan tawa seperti ini," gumamku sambil menyentuh pipinya yang lembut. "Mengurusmu sendirian adalah tantangan terindah yang pernah ayah alami, Axel."
---
Keesokan harinya, ketika akhir pekan tiba, aku memutuskan untuk membawa Axel ke rumah orang tuaku. Langit terlihat cerah, dan jalan menuju rumah terasa seolah-olah memanjang, terselip harapan dan sekaligus ketegangan yang menggelitik. Di ruang tamu, ayah duduk bersandar. Tubuhnya masih terlihat lemah, beristirahat di sofa. Kedatanganku bersama Axel membuat mereka terkejut. Tatapan ayah dan ibu terarah pada sosok kecil yang kugendong, ekspresi bingung dan terkejut bercampur menjadi satu.
"Ini Axel, Dad, Mom," kataku dengan suara nyaris bergetar. "Dia... anakku." Wajah mereka menegang, Tanda tanya menggantung di atas kepala mereka. Aku menghela napas panjang, dan kata-kata yang selama ini tertahan akhirnya keluar. "Aku minta maaf... hasil medis itu palsu. Aku bisa punya anak." Aku menatap mata mereka dengan penuh kejujuran. "Kalian bisa buktikan dengan tes DNA."
Kata-kataku menggema di ruangan itu, dan aku melihat ayah serta ibu terpaku, berusaha menerima kenyataan yang tiba-tiba terungkap. Mata ibu berkaca-kaca, seolah tak percaya, sementara ayah menatap Axel dengan sorot mata bersinar yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Kehadiran Axel memberi celah baru dalam hubunganku dengan Ayah yang sempat renggang karna keegoisan masing-masing.
YOU ARE READING
Love At Night For A Moment
RomanceRose & Warren dua lawan jenis yang terpaut usia cukup jauh. Bertemu secara tidak sengaja di sebuah klub malam. pertemuan itu berlanjut di hotel. Tanpa di duga Takdir justru menyeret keduanya dalam hubungan yang misterius dengan hadrnya orang ke t...