(Warren)
Malam itu adalah malam yang terasa begitu melelahkan. Aku duduk di kursi kulit yang nyaman di sebuah lounge eksklusif, menatap kosong ke arah gelas whisky yang ada di tanganku. Di sini, tempat yang seharusnya menawarkan pelarian dari kekacauan hidup, aku merasa tak ada apa-apa yang bisa benar-benar menghapus bayang-bayang masa lalu yang selalu menghantui.
Aku tidak mencari siapa pun malam ini. Aku datang sendirian, berharap bisa menghabiskan malam dengan tenang, walau aku tahu, dunia malam tidak pernah menawarkan kedamaian. Tapi kemudian, dalam keramaian, aku tak sengaja menumpahkan martini seseorang, seorang wanita muda dengan wajah lesu, tapi ada sesuatu di matanya yang tak bisa kupahami. Sebuah keletihan, mungkin lebih dari itu.
"Maaf, aku tidak sengaja," kataku buru-buru, memandang cairan yang telah membasahi pakaiannya.
Wanita itu mengangkat matanya, lalu menarik senyum tipis. "Tidak apa-apa," katanya pelan. "Aku... Rose Riley."
"Rose," gumamku, merasakan bagaimana namanya terasa lembut di bibirku. "Warren. Warren Winsey."
Dia memperkenalkan dirinya, dan tanpa sadar, percakapan kami mulai mengalir. Awalnya tentang hal-hal ringan, tentang lounge ini, tentang minuman yang tumpah, namun kemudian, sesuatu yang lebih dalam muncul. Mungkin itu karena caranya tertawa pelan, atau mungkin ekspresi lesunya yang tak bisa disembunyikan. Aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Kau sendirian?" tanyaku, mencoba mencari tahu lebih banyak tentangnya.
Rose melirik ke arah sudut ruangan. "Tidak, aku datang dengan manajerku," katanya, menunjuk seorang pria di sofa merah, asyik dengan wanita di sebelahnya. "Brad."
Aku mengenali pria itu. "Kau kenal dia?" tanyanya penasaran.
Aku mengangguk ringan. "Kami pernah bekerja sama beberapa kali. Dia orang yang keras kepala, tapi pekerja keras."
Rose tersenyum getir. "Dan sangat baik... setidaknya itulah yang dia perlihatkan."
Kami kembali terdiam sejenak, sebelum aku kembali mengajukan pertanyaan lain. "Sepertinya kau jarang ke sini?"
Rose terkekeh, tapi di balik tawanya ada kepahitan yang samar. "Tidak. Aku sering ke sini. Sejak beberapa bulan terakhir." Dia menatap gelas kosong di hadapannya. "Aku sudah akrab dengan alkohol."
Aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-katanya. Saat dia mengucapkan itu, ada ketegangan dalam suaranya, seolah ada sesuatu yang ingin dia bagi tapi tak pernah benar-benar keluar.
"Tempat ini memang cocok untuk lari dari masalah," kataku sambil meneguk whiskey, "tapi bukan tempat yang baik untuk tinggal terlalu lama."
Dia kembali menmasang senyum tipis. "Sejak ayahku meninggal tiga tahun lalu, hidupku terasa terbalik. Ibuku... dia memaksaku menjadi seorang model, tapi aku tak pernah benar-benar menginginkannya. Hanya demi uang. Demi hasratnya untuk tetap hidup dalam kemewahan. Dia takut jatuh miskin." Rose tertawa getir lagi. "Ibuku bahkan rela menjodohkanku dengan pengusaha tua hanya demi keamanan finansial."
Aku diam. Ada sesuatu yang menghancurkan di balik ceritanya. Betapa dunia orang tua bisa begitu kejam. Tidak jauh berbeda dengan hidupku sendiri.
"Orang tua terkadang bisa terlihat begitu egois," gumamku. "Mereka menganggap bahwa hanya karena mereka telah membesarkan kita, mereka memiliki kendali penuh atas hidup kita."
Rose menatapku, mencoba mencari sesuatu dalam perkataanku, seolah dia bisa melihat bahwa aku juga membawa luka yang sama.
"Orang tuamu juga?" tanyanya pelan.
Aku mengangguk, tersenyum pahit. "Ayahku terus mendesakku untuk menikah lagi. Aku pernah menikah sebelumnya, Rose. Tapi istriku... dia meninggal setahun lalu , dia mengidap Leukemia. Aku sangat mencintainya, dia adalah cinta pertama dan satu-satunya dalam hidupku."
Rose diam, matanya menunjukkan rasa simpati yang tulus. "Maafkan aku."
"Tak apa," jawabku, meneguk whiskey lagi. "Ayahku ingin aku menikah lagi. Bukan karena cinta, tapi karena dia menginginkan pewaris untuk perusahaan. Kakakku tidak bisa punya anak, jadi semua tekanan ada di pundakku. Tapi aku tidak bisa melupakan istriku. Tak ada wanita yang bisa menggantikan dia."
Aku mulai merasakan alkohol menguasai diriku, rasa pahit dan penyesalan membanjiri pikiranku. Aku mabuk, tapi aku tidak peduli.
Rose membantuku berdiri ketika aku hampir tak bisa menjaga keseimbangan. Dia begitu sabar, meski aku adalah orang asing yang baru saja dia temui. "Kau bisa menyetir dalam keadaan seperti ini?" tanyanya khawatir.
Aku menggeleng pelan, tersenyum lemah. "Kau bisa menyetir?"
Rose mengangguk ragu-ragu, dan dengan enggan, dia setuju untuk mengantarku ke hotel. Aku hanya ingin malam ini segera berakhir, tanpa harus pulang dan menghadapi ayahku dalam keadaan seperti ini.
Di hotel, Rose tetap di sampingku. Dia memberikan segelas air padaku, dan saat pandangan kami bertemu, ada sesuatu di sana, sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan singkat di lounge.
Sebelum aku menyadarinya, aku mencium Rose. Dan, mengejutkanku, dia membalasnya. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, atau mengapa kami membiarkan diri kami tenggelam dalam satu sama lain. Mungkin itu pelarian dari rasa sakit kami masing-masing, atau mungkin, dalam sekejap, kami menemukan kenyamanan dalam kehadiran satu sama lain.
Malam itu, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sejak istriku meninggal. Sebuah kehangatan, walau hanya sementara.
Pagi harinya, aku terbangun dengan tangan yang melingkari pinggang Rose, tubuhnya begitu dekat denganku. Untuk sesaat, dunia terasa tenang. Tapi aku tahu itu tidak akan bertahan lama.
Ketika aku membuka mata, Rose sudah tidak ada. Hanya aroma parfumnya yang tersisa di bantal, dan ruangan terasa hampa tanpanya. Aku tahu dia telah pergi, tapi entah mengapa, aku tidak merasa marah. Mungkin karena aku tahu, pertemuan kami memang tidak direncanakan untuk bertahan.
**
Setahun berlalu sejak malam itu. Hidupku kembali seperti semula, terjebak dalam rutinitas, tuntutan pekerjaan, dan desakan ayahku untuk menikah lagi. Aku mencoba melupakan Rose, meski bayangannya terkadang muncul di pikiranku, seperti bayangan yang sulit diusir.
Pagi itu, ketika aku hendak berangkat ke kantor, aku mendengar suara bayi menangis di luar rumah. Dengan bingung, aku membuka pintu, dan yang kulihat adalah pemandangan yang tak pernah kubayangkan.
Seorang bayi laki-laki, terbungkus dengan selimut putih, terbaring dalam stroller di depan rumahku. Tangisannya langsung terhenti ketika aku menggendongnya, dan entah kenapa, ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat hatiku bergetar.
Di samping stroller, aku melihat sepucuk surat. Surat dengan kertas berwarna pastel.
Aku membuka surat itu, tanganku bergetar. Kalimat demi kalimat tertulis dengan tinta yang sudah mulai memudar.
Dear Warren,
Maafkan aku karena meninggalkanmu tanpa kabar waktu itu. Axel adalah tanda cintaku padamu. Kau tidak perlu khawatir, dia adalah anakmu. Kau boleh melakukan tes DNA jika kau ingin memastikannya. Aku tidak pernah berhubungan dengan pria lain setelah malam itu. Warren. Jaga dan cintai Axel, seperti kau mencintai dunia.
Dari wanita yang kini mencintaimu, Rose.
Tanganku gemetar saat membaca surat itu, dan air mata mulai mengalir tanpa bisa kutahan. Aku memandang bayi di pelukanku. Axel, anakku. Dia menatapku dengan mata polosnya, seolah dia tahu bahwa dunia yang baru saja dia masuki penuh dengan misteri.
Aku ingin mencari Rose, ingin bertanya mengapa dia meninggalkanku, mengapa dia tidak pernah kembali padaku. Tapi ketika aku melihat Axel, entah kenapa, sebagian dari diriku merasa bahwa dia telah memberiku sesuatu yang lebih besar dari jawaban. Sebuah masa depan.
Aku menggendong Axel erat-erat, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada harapan dalam hidupku.
Axel adalah Hadiah terindah dalam hidupku, Hadiah Dari wanita yang berpelahan meninggalkan jejak geliisah. kini tanpa aku sadari jiwaku sering menyebut namanya bahkan
lebih dari malam yang telah kami lewati bersama.
YOU ARE READING
Love At Night For A Moment
RomansRose & Warren dua lawan jenis yang terpaut usia cukup jauh. Bertemu secara tidak sengaja di sebuah klub malam. pertemuan itu berlanjut di hotel. Tanpa di duga Takdir justru menyeret keduanya dalam hubungan yang misterius dengan hadrnya orang ke t...