Bab 10.

1.9K 420 17
                                    

Pyas!



Dito seketika bangun dan terduduk. Mulutnya menganga tak percaya ketika seseorang dengan tega menyiram dirinya menggunakan air. Matanya melirik keberadaan Ivander serta pelaku yang menyiramnya, kalau tidak salah ingat, namanya adalah Becky.

"Persiapkan dirimu. Hari ini kau harus latihan fisik, " ujar Ivander di belakang Becky lalu pergi dari sana dengan wajah angkuh. Pria tua itu melengos tak peduli pada Dito.

"Mari tuan muda, saya bantu untuk bersiap-siap." Becky menarik tangan Dito lembut. Membantunya turun dari ranjang karena lelaki muda tersebut masih mengumpulkan sukmanya.

"Aku bisa sendiri." Dito melepaskan pegangan Becky. Berjalan lebih dahulu menuju kamar mandi. Ya ampun, dirinya belum tidur secara puas, ada saja cobaan yang harus dia hadapi. Kakinya saja masih belum sembuh, lalu apa tadi? Latihan fisik? Gila...

Becky pun mengangguk dan menatap kepergian Dito dengan gelengan kepala kecil. Merasa kasihan terhadap anak tengah Winata tersebut. Dia sudah tau bagaimana perilaku yang didapatkan Dito selama ini. Lalu sekarang harus menghadapi kegilaan tuan besar Winata.

"Anak muda yang malang."

Becky pun segera menyiapkan keperluan Dito. Karena mulai hari ini, Tuan gilanya akan melatih Dito agar lebih layak berada dalam keluarga terhormat, Winata.  Setelah semua selesai, Becky berjalan ke luar untuk kembali ke sisi Ivander.

Sementara di dalam kamar mandi. Dito mengguyur dirinya dibawah shower. Kepala terunduk dan satu tangan menempel pada dinding. Dia sedang meratapi nasibnya. Dito tidak tau, badai apa yang akan datang lagi padanya setelah menghadapi berbagai masalah.

Perlu Dito katakan, jika belum genap satu bulan, dia sudah mendapatkan luka dimana-mana. Pipi, kaki, bahu, lalu perundungan yang telah dia lewati. Apakah nanti tangannya akan terpotong? Atau perutnya tertusuk? Lebih buruknya, jantungnya tertembak.

Astaga, memikirkan saja membuat Dito frustasi. Rasanya, dia ingin kembali saat ini juga. Tetapi, Dito tidak tau caranya. Karena secara logika pun, apa yang dia alami sangatlah mustahil terjadi di kehidupan manusia.

Dito Winata tak pernah lagi mengunjunginya. Mungkin, saat terakhir kali dia melihat Ito, ketika pemuda itu dengan paksa menyeretnya kemari. Ini membuat Dito berpikir bahwa dia bisa kembali jika Ito ada disini.

Tapi kapan? Apakah menunggu hingga ia babak belur? Sampai ia tak bisa bergerak dan hanya berbaring di tempat tidur karena tak memiliki tangan dan kaki? Atau parahnya beberapa tulangnya patah.

Tidak mungkin, Dito tak ingin itu terjadi. Dia memang pemalas, dia juga takut mati. Bergerak terlalu banyak saja dia pusing, apalagi sampai harus merasakan seluruh tulangnya patah. Akan tetapi jika dipikir-pikir, dia tak pernah mengalami yang namanya sakit kepala. Walaupun dia terluka, Dito tak terlalu merasakan sakit.

Dia juga bisa berjalan normal padahal dua hari lalu dia tertembak dibagian kaki. Apakah saat menjadi Ito, tubuhnya lebih kuat dan kebal dari dirinya. Meskipun tubuh ini kecil? Sial, rasanya Dito akan gila.

Bugh!

"Arghhh!! Dia benar-benar sampah!!" Dito berteriak dan memukul tembok. Dirinya teramat kesal. Kehidupan teralih, yang tadinya slice of life menjadi action. Rasanya dia juga telah menjadi jahat, meskipun sudah membunuh seseorang, dia hanya merasa shock tanpa empati.

Dito cukup yakin, bahwa semua perbedaan yang dia alami adalah karena ia menempati tubuh Ito. Terlebih, keluarga Winata memiliki banyak musuh, karena belum lama, dia sudah menghadapi penyerangan selama dua kali.

Jika demikian, mau tak mau Dito harus mengikuti alur. Dia tak ingin terluka, Dito tak ingin mati, dia ingin kembali kerumahnya dulu, Dito rindu neneknya, Dito rindu ayahnya.

"Dito Winata!! Kau merengut hidupku!!"

Dito sudah sangat membenci Ito. Hidupnya menjadi kacau. Dia tidak bisa bermalas-malasan dan tidur sepuasnya. Seluruh keluarga Winata menyeramkan, dia tak dekat dengan anggota keluarga. Hal ini membuatnya sulit untuk beradaptasi.

"Jika aku bertemu denganmu! Aku berjanji akan memukulmu sampai hancur!"

*

"Kau serius ingin melatihnya kakek? Meski kakek gila, kakek harus tau dong, dia masih terluka. Lebih-lebih luka itu ada di area kakinya." Galen menyeru, duduk memandang Ivander dengan tatapan tak sukanya.

"Dia tidak apa-apa." Ivander menjawab acuh, toh yang dia katakan benar. Tadi dirinya melihat bahwa cucu tengahnya itu baik-baik saja.

Galen berseru. "Itu kakek saja yang buta. Jelas-jelas dia terkena tembakan. Tapi kakek malah memaksanya melatih fisik. Sejak dulu, kakek memang gila. Kakek kejam, tidak berperasaan!!" Dia meninggikan suara di depan Ivander.

Mimik wajah Ivander berubah. "Sejak kapan kau bisa meninggikan suara di depanku, Galen?!" ujarnya dengan suara rendah. "Lagi pula, kenapa kau terlihat peduli padanya? Seakan bahwa kau sudah menerima jika dia adalah adikmu."

Galen memicing, nafasnya menggebu-gebu. "Dia memang adikku kakek tua! Kau lupa? Ibu melahirkan di Kolkata! Dasar bajingan tua. Sudah tau tua dan pelupa, tetap saja suka memaksa!"

Jujur saja, Galen menggunakan seluruh keberaniannya. Dia tak tau apa yang sedang dia lakukan saat ini. Tetapi memikirkan Dito berlatih saat kakinya terluka, dia tidak terima. Dito akan lebih terluka nantinya, bisa jadi, lukanya akan bertambah parah.

"Galen." Varro memperingati adik pertamanya. Bahwa kakeknya sangat sensitif jika itu menyangkut mantan anggota keluarga wanita dalam keluarga Winata.

Galen berbalik dan menatap Varro. "Apa kak?! Kenapa? Kakak juga ga terima? Lebih baik kakak bilang pada kakek untuk mengurungi niatnya setidaknya sampai Dito sembuh."

"Dia akan tetap melakukan hari ini. Kakek tidak butuh persetujuanmu."

Urat di leher Galen timbul, lelaki itu merasakan emosi yang siap meledak kapan saja. "Dasar gila, kakek bau tanah!!" Dia mengeluarkan pisau lipat dari balik punggungnya, maju berniat untuk menyerang Ivander.

Namun pergerakannya terkunci secara cepat oleh Becky sebelum pisau itu menancap pada mata Ivander. Pria itu tersenyum begitu manis. Dia mengeluarkan sesuatu dari balik sakunya. "Kakek tau kau akan seperti ini, " ucapnya tersenyum.

"Kau!!" berang Galen. Dia menatap Ivander seolah sang kakek  adalah musuhnya.

Ivander membuka penutup jarum suntik, lalu mengarahkannya pada leher Galen. "Kau sangat berontak Galen. Jadi, tidurlah sebentar, karena ketika kau bangun nanti, kakek ada hadiah bagus untukmu."

"Shhh-sialan!" umpat Galen sebelum tubuhnya ambruk dan di tangkap Becky. Lantas pengawal Ivander itu mengangkat Galen menuju tempat yang sangat di benci oleh lelaki yang tengah ia angkat tersebut.

"Jangan berlebih kakek." Varro beranjak setelah mengatakan itu. Dia memiliki pekerjaan penting yang tak bisa dia serahkan pada bawahannya. Memerlukan waktu setidaknya satu bulan sebelum dia kembali ke mansion Winata.

Varro sudah mengatakan ini pada Dito. Entahlah, dia hanya ingin memberitahu Dito, bahwa dia tak akan pergi lama. Varro akan cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya dan kembali sebelum genap satu bulan.

Sama seperti Galen, Varro juga keberatan akan keputusan kakeknya. Namun Varro percaya, jika kakeknya sudah bertindak, maka sebulan mendatang, Dito akan menjadi sosok yang kuat.

Ivander berdecih melihat kepergian Varro, kemudian melirik Liam menyandar sembari membaca koran. "Kemana Jairo?" tanyanya basa-basi. Juga, dirinya penasaran karena tak melihat keberadaan cucu bungsunya.

"Sedang dalam masa hukuman." Lima menjawab seadanya, tanpa mau menoleh pada ayahnya. Merasa bahwa koran lebih menarik dari pada keberadaan sang ayah.

Ivander pun kembali berdecih, padahal hanya Jairo, cucu yang satu pemikiran dengannya. Dia pun beranjak pergi, hari mulai siang.

"Ayo kita mulai pelatihan ini, Dito. Kakekmu tak sabar, sejauh apa kau bisa berkembang."



Tbc.




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang