"Ka! I need your help, here!" teriak Bahana dari dalam kamar, membuat Nayaka yang sedang mengerjakan tugas kantor merasa capek. Ini sudah kelima kalinya Bahana memanggil untuk hal yang tidak penting.
"Kali ini apalagi?" Nayaka melongok ke kamar Bahana.
"I need some water," desis Bahana.
"Tuan, tanganmu itu tak kenapa-kenapa, dan lagi kamu bebas bergerak. Yang luka hanya perutmu," omel Nayaka seraya mengambilkan air yang ada di nakas dekat tempat tidur Bahana.
"Aku kan gak boleh banyak gerak, agar lukaku tak terbuka." Bahana tersenyum melihat Nayaka mengomelinya.
"Alasan." Nayaka memasang wajah kesal.
"Apakah kamu sibuk?" goda Bahana.
"Tuan, i'm working. I must pay my bill," desis Nayaka membuat Bahana tertawa.
"Kemarilah," kata Bahana, menarik tangan Nayaka ke arahnya, kemudian memeluknya dengan erat. "Then, will you marry me?"
Nayaka membeku seketika. Baru saja beberapa hari yang lalu Bahana terluka karena melindunginya dari Doni, kini dia mengajaknya menikah? Apakah otaknya ikut tertusuk pisau berkarat milik Doni? Atau bakteri tetanus sudah naik ke otaknya?
"Jangan main-main," sergah Nayaka berusaha melepaskan diri dari pelukan Bahana.
"Apakah aku pernah bermain-main dengan kata-kataku?" Bahana tak melepaskan Nayaka.
"Aku akan pergi dari sini bila kamu seperti ini," ancam Nayaka membuat Bahana mengurai pelukannya dengan kesal.
"Kenapa kamu selalu mengancamku seperti itu?" Bahana menekan perutnya yang sedikit nyeri karena lukanya yang belum sembuh.
"Karena aku masih belum bisa memaafkan diriku, kamu terluka karena aku. Lagi pula, kita sepakat untuk menjalani ini tanpa membawa perasaan kita lebih jauh, sebelum kita bisa saling menerima masa lalu kita sendiri." Nayaka memilin ujung bajunya, kebiasaan yang selalu dilakukannya saat resah.
"Aku, berusaha melupakan masa lalu itu, dengan berusaha menjadikanmu milikku. Bukan pelampiasan, bukan pelarian. Tapi, sekedar kawan agar aku tak sendirian." Bahana menarik tangan Nayaka dan menggenggamnya erat.
Entah bagaimana, Nayaka malah kemudian memeluknya erat. Menelusupkan kepalanya ke dada Bahana. Rasanya dia menemukan ketenangan yang dicarinya di sana. Saat dia mendongak, matanya bertemu dengan mata Bahana yang menatapnya tak berkedip. Lalu entah keberanian apa yang membuat Nayaka mencium bibir Bahana, melepaskan perasaan yang mungkin menghimpitnya selama ini.
Bahana merengkuh kepala Nayaka, membuat jarak mereka tak lagi ada. Bibir mereka menyatu dan saling melumat.
"I try to love everything in you," bisik Bahana di sela ciuman mereka.
Membuat Nayaka menyembunyikan wajahnya di leher Bahana. Desah napasnya yang memberat, membuat Bahana ingin memeluknya lebih erat.
"Aw ...." Bahana memekik saat luka di perutnya sedikit tertekan oleh massa tubuh Nayaka. Yang seketika membuat Nayaka menjauh.
"Maaf," desisnya.
Bahana kemudian menarik Nayaka kembali, lalu memeluknya.
"Dont say sorry. Aku sangat bahagia kalau kamu bisa selalu bersikap seperti ini," kata Bahana seraya menciumi puncak kepala Nayaka.
"I dont know," desis Nayaka.
Langkah kaki tergesa membuat mereka saling mengurai pelukan. Nayaka bangkit dan hendak menuju laptopnya yang berada di ruang tengah, saat matanya bertemu dengan wanita anggun nang sedang memandangnya dengan tatapan tak suka.
"Siapa kamu? Berani masuk ke kamar Bahana?" tanya wanita itu tanpa basa-basi.
"Dia kekasihku." Suara Bahana membuat Nayaka urung mengeluarkan kata-kata.
"Kekasih?" Wanita itu menajamkan matanya tak percaya. Dia beranjak masuk ke kamar Bahana dan hendak menggapai Nayaka yang masih terpaku di tempatnya. Tepat saat Bahana memasang tubuhnya di depan Nayaka.
"Minggir, pasti dia sudah merayumu," kata wanita berhenti tepat di depan Bahana.
"Aku yang membawanya ke sini. Kamu tak berhak mengatakan apa pun." Bahana menantang mata yang dulu sempat membuatnya terlena dan akhirnya terluka.
"Kamu melupakanku demi dia?"
"Aku tak pernah melupakanmu, tapi saat kamu berdiri di altar dengan Gama, maka cerita kita berlalu. Apakah kamu lupa dengan pilihanmu?" sergah Bahana.
"Aku harus menikahi Gama, demi perusahaan, dan kamu tahu itu." Dia berkilah, membuat Bahana tertawa.
"Aku bukan anak kecil yang akan masuk ke perangkapmu, sekali lagi. Ini rumahku, pergilah, sebelum aku memanggil Gama dan membuka semuanya." Bahana mengeraskan rahangnya.
"Kamu!" Wanita itu mengarahkan telunjuknya tepat di manik mata Bahana. Geram. Merasa dilupakan, padahal pada kenyataannya, dialah yang memilih pergi meninggalkan Bahana untuk memilih Gama, kakak Bahana.
"Berani kamu sentuh dia, kupastikan Gama tahu apa yang terjadi di antara kita," ancam Bahana membuatnya pergi dengan rasa kesal menumpuk.
Siapa wanita yang sudah merebut posisinya sebagai kekasih di hati Bahana? Wanita itu merutuk seraya meninggalkan halaman dengan kesal. Mobilnya melaju sepanjang jalan. Rasa rindu kepada Bahana karena dia tak pernah menampakkan batang hidungnya setelah pernikahannya dengan Gama, dan tak muncul di kantor, membuatnya menghampiri rumah itu. Lalu dia menemukan Bahana bersama wanita lain.
"Na," desis Nayaka melihat Bahana masih terpaku di tempatnya.
Bahana tersadar dan memeluk Nayaka.
"Apakah tadi Sangka?" tanya Nayaka sangsi. Tapi melihat kemarahannya, bisa dipastikan benar, itu adalah Sangka, wanita yang sudah membuat Bahana terluka.
"Dont mind her." Bahana membisikkan kata sebisanya untuk menenangkan Nayaka yang mungkin kaget dengan perilaku Sangka.
"Dia cantik," desis Nayaka.
"You are more beautifull," kata Bahana berusaha menghilangkan debaran jantungnya yang masih tak bisa dikendalikannya saat bertemu Sangka. Padahal sudah setahun berlalu sejak pertemuan terakhir mereka, di pernikahan Gama dan Sangka.
Walau mereka keluarga, Bahana selalu punya alasan untuk menghindari pertemuan. Gama adalah satu-satunya keluarga inti yang dia punya, kedua orang tuanya sudah tiada, tapi dengan dalih sibuk, Bahana bisa menghindar dan membuat Gama selalu mendesah berat karena harus mengiyakan alasannya.
"Makan yuk," kata Bahana berusaha mengalihkan semua perasaannya.
"Aku ingin makan di Pomegranate." Mendadak Nayaka ingin melarikan diri dari tempat itu.
"Berangkat," kata Bahana tersenyum. Nayaka jarang meminta sesuatu padanya.
"Naik mobil, aku tak ingin lukamu bertambah parah," kata Nayaka seraya meraba luka di perut Bahana.
"Siap, My Dear." Bahana mendaratkan kecupan di bibir Nayaka lalu meninggalkannya untuk berganti pakaian.
"Apakah kamu ingin membantuku berganti baju?" goda Bahana melihat Nayaka masih berdiri di kamarnya. Nayaka menyadari hal itu dan gegas keluar kamar sambil menutup pintu. Dia menghela napasnya, segala kekuatannya seakan luruh saat melihat Sangka dengan mata kepalanya sendiri. Wanita anggun, cantik dan memesona itu memang seperti yang Bahana ceritakan, mematikan, bahkan bagi Nayaka, yang seorang perempuan.
Dia kemudian membereskan laptop dan mengambil dompet. Tak perlu berganti baju, karena mereka hanya akan makan di Ubud, Pomegranate adalah restoran mungil di tengah sawah yang menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
RomanceNayaka bertemu dengan Bahana, masing-masing punya luka yang harus disembuhkan. Bisakah keduanya berdamai dengan luka masing-masing, dan bertaut satu sama lain?