Sangka menyesap tehnya pagi ini. Sendirian. Di meja makan. Joy menunggu dengan posisi tegap di sebelah kanannya.
Kemarin, hari pernikahan Bahana, Gama mengurungnya di rumah. Memastikan dia tak melangkah keluar dari pintu.
Sekarang, Gama bahkan belum bangun. Dia tidur di kamar tamu sejak kejadian di rumah Bahana waktu itu.
"Aku ingin pergi keluar hari ini." Sangka menatap Joy, tapi gadis itu tak terintimidasi sama sekali.
"Kata Mas Gama, hari ini, Anda belum boleh keluar rumah," kata Joy masih dengan posisinya yang berdiri tegap.
"Sampai kapan? Aku tak akan mengacau," desis Sangka geram karena tak bisa melabrak wanita yang sudah menjadi istri Bahana sekarang. Hatinya sangat sakit mengingat hal itu. Kini, tak ada lagi kesempatan untuk mendekati Bahana, untuk meluapkan perasaannya. Sudah satu tahun dia memendam semua kerinduannya, dan kini saat dia ingin menuntaskannya, Bahana sudah meninggalkannya. Ralat, Bahana tak pernah meninggalkannya, dia, yang melakukan itu.
"Saya akan menunggu perintah, Anda." Joy menatap Sangka yang memijat keningnya.
"Aku hanya ingin keluar!" teriak Sangka tak tahan lagi.
Dia ingin pergi ke tempat Bahana, merengkuh laki-laki itu dan memilikinya. Bukan, melampiaskan perasaannya, hatinya, karena dia tak akan pernah dapat memiliki Bahana. Karena Gama.
"Lakukan. Maka besok, aku akan mengirimkan surat cerai itu untukmu. Aku tak keberatan melepas wanita yang tak bisa menghargai perasaan." Gama sudah menuju meja makan dan duduk di sana, memakan sarapannya dengan tenang. Sama sekali dia tak terintimidasi oleh sikap Sangka yang kini memandangnya dengan tatapan yang entah.
"Kamu mengancamku?" Sangka bangkit dan menghampiri Gama.
"Tidak. Aku hanya mengingatkanmu tentang perjanjian kita." Gama bahkan menelan makanannya dan meminum kopinya, santai.
"Gama. Apa sebenarnya maumu?" cecar Sangka frustasi dengan sikap Gama yang dingin.
"Aku mau, kamu tahu bagaimana menghargai orang lain. Sekali lagi aku tekankan, perasaanmu terhadap Bahana, aku tak mempermasalahkannya selama kamu bisa mengontrolnya. Tapi, saat kamu mulai mengacau, maka, aku pastikan semuanya berakhir." Gama menatap mata Sangka yang kini meredup. "Aku masih memberimu kesempatan. Atas nama cinta yang kupunya. Tapi bila kamu memilih menjadi wanita bebas, pergilah, tinggalkan aku, dan semuanya yang kamu dapatkan saat menikahiku," tegas Gama membuat Sangka bimbang. "Joy. Pastikan hari ini, dia tak keluar dari pintu," kata Gama sambil berlalu. Joy mengangguk patuh. Sangka menghentakkan kakinya dan melangkah ke kamar.
"Oh ya, Bahana akan pergi. Lupakan ambisimu. Aku sudah mencopotmu dari jabatan COO di kantor. Kalau kamu masih ingin bertahan. Jadilah istri yang baik. Jika kamu masih ingin mengejarnya, aku tunggu keputusanmu," kata Gama membuat langkah kaki Sangka terhenti. Tangannya mengepal. Posisinya sangat tidak menguntungkan sekarang. Bila dia menyerah dan melepaskan Gama, maka taruhannya adalah perusahaannya. Gama akan mengambil semua sahamnya, atau malah akan membuatnya tak berkutik dengan mencabut semua sokongan.
Gama mencengkeram setir mobilnya sebelum ke kantor. Geram dengan tingkah laku Sangka. Terlebih, geram dengan kenyataan, bahwa Sangka ternyata tak pernah mencintainya.
Nayaka dan Bahana sedang perjalanan ke bandara. Raka dan Mbok Inah, melakukan perjalanan darat dengan membawa mobil mereka dan koper-koper berisi baju.
"Meninggalkan Bali dengan semua kenangannya," desis Bahana saat Nayaka memandang jendela pesawat.
"Lebih tepatnya, merajut cerita baru bersamamu. Melupakan kenangan buruk kita, dan memulai semuanya," desis Nayaka seraya menatap lelakinya itu.
"I do love you," gumam Bahana saat tangan Nayaka mengelus pipinya lembut.
"Kamu sudah siap? Hanya akan benar-benar ada kita di sana," kata Nayaka.
"Lebih siap dari apa pun," jawab Bahana memantapkan hatinya.
Nayaka masih menatap Bahana dengan rasa tak percaya. Hari yang akan mereka lewati, jauh dari masa lalu. Nayaka tersenyum membalas senyum hangat Bahana.
"Are you tangled with my face?" goda Bahana membuat wajah Nayaka memerah.
"Apa yang membuatmu memilihku?" tanya Nayaka.
"Awalnya, aku ingin melindungimu, lalu mengisi kekosongan hatiku, dulu, aku hanya mencari sedikit pengalihan," jujur Bahana. Nayaka tahu hal itu. "Seiring waktu. Kamu menawanku. Membuatku jatuh hati. Membuatku menginginkanmu. Melebihi apa pun," lanjut Bahana. Kini wajah Nayaka benar-benar memerah. "Lalu, kenapa kamu mau menerimaku?" Bahana bertanya balik.
"Bagaimana bisa, wanita akan menolak pesonamu? Bahkan, kamu menempel terus padaku setahun belakangan. Rasa sakit dan traumaku atas hubungan yang menyakitkan, kemudian mendapat perlakuan yang begitu menyentuh. Bagaimana bisa aku tak luluh?" Nayaka menatap Bahana dengan lembut. "Mata ini, mata ini yang membuatku jatuh padamu." Nayaka menyapu wajah Bahana dengan jarinya.
"Thank you," desis Bahana.
"No. Dont say thank you. Aku yang berterima kasih padamu. Karena sudah membuatku bahagia," kata Nayaka. Genggaman tangan mereka bertaut. Tak lepas sepanjang waktu.
Pesawat sudah mendarat, jemputan mereka sudah menunggu. Mereka tak langsung ke rumah, karena Raka dan Mbok Inah belum sampai. Mereka menginap di hotel untuk malam ini.
Nayaka memandang laut lepas dari jendela kamar mereka. Menghirup udara mengisi paru-parunya. Mulai besok, dia akan menjalani peran barunya, sebagai seorang istri.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Bahana sambil meletakkan dagunya di pundak Nayaka, melingkarkan tangan di pinggang wanitanya itu.
"Memikirkan kenyataan ini," desis Nayaka sambil mengelus tangan Bahana.
"Tidur yuk," ajak Bahana.
"Tidur aja, tanpa aneh-aneh," gumam Nayaka.
Bahana tertawa dan menggendong Nayaka menuju tempat tidur. Nayaka melingkarkan tangannya di leher Bahana. Menikmati wajah suami yang tersenyum lebar.
Mereka sudah berbaring di tempat tidur. Tangan Bahana memeluk Nayaka erat.
"Ingatkan aku, jika nanti menyakitimu," bisik Bahana sambil menenggelamkan wajahnya di leher Nayaka.
"Ingatkan aku juga, bila nanti terlalu mengekangmu," balas Nayaka.
"Aku tak tahu jika nanti aku akan menjadi sangat tak bisa kehilanganmu. Maka, itulah saatnya kamu menyadarkanku," lanjut Bahana.
"Aku juga memintamu untuk mengembalikanku ke kenyataan, bila nanti aku terlalu menginginkanmu untukku sendiri." Nayaka menelusuri rambut Bahana. Nayaka kemudian membawa wajah Bahana sejajar dengannya. Menatap mata itu, kemudian mencium Bahana dengan lembut. "Terima kasih, Na. Terima kasih untuk semua cintamu. Aku tak tahu harus membalasnya dengan apa," kata Nayaka saat bibir mereka terlepas.
"Terimalah aku seutuhnya. Aku tak memintamu membalasnya. Hanya peluk aku sepanjang waktumu," ucap Bahana membuat Nayaka malu. Pipinya terasa panas. Memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
Lãng mạnNayaka bertemu dengan Bahana, masing-masing punya luka yang harus disembuhkan. Bisakah keduanya berdamai dengan luka masing-masing, dan bertaut satu sama lain?