Announcement

2 1 0
                                    

Nayaka melihat isi kulkas, memastikan ada sesuatu yang bisa dia masak untuk siang ini.
"Non mau masak apa?" tanya Mbok Ijah membantu Nayaka menyiapkan bahan.
"Masak pasta saja ya, Mbok. Lagi malas masak ribet ya," kata Nayaka disambut oleh tawa Mbok Ijah.
"Non, kan bisa minta Mbok yang masak," kata Mbok Ijah.
"Sesekali, Mbok," desis Nayaka.
Gilang yang mendapat perintah untuk ke Lombok, mendampingi Bahana gegas menyiapkan semua persiapannya. Bahana adalah atasannya saat dia masih di kantor ini. Jadi dia tahu harus bagaimana menghadapinya nanti.
"Jaga dia untukku, Lang," kata Gama sambil menyandarkan tubuhnya di pintu ruangan Gilang.
"Apa yang, Mas Gama takutkan?" tanya Gilang merasa Gama sangat khawatir tentang adiknya itu.
"Semuanya," gumam Gama menutup matanya.
"Aku akan memperhatikannya, Mas," kata Gilang sambil menepuk pundak Gama.
Gama benar-benar tak ingin Bahana kenapa-kenapa. Sangka akan dia atasi. Tapi masalah lain, dia tak bisa mengawasinya sekarang. Beruntung Bahana meminta Gilang untuk ke sana, maka dia bisa mengawasinya.
"Ka, jemput Nayaka di rumah," kata Bahana di ponselnya. Jam makan siang sebentar lagi.
"Siap," jawab Raka yang sedang menunggu di basemen.
Nayaka sudah menunggu, dia melihat dress yang dia pakai, pantaskah? Sikapnya tak tenang sesekali menatap halaman, berharap Raka datang dan sesekali menatap kotak makan yang sudah dia siapkan.
"Non Ka, cantik," kata Mbok Ijah tahu kegelisahan Nayaka.
"Apa sih, Mbok," desis Nayaka merapikan rambutnya.
"Mas Bahana tidak akan melihat yang lain," bisik Mbok Ijah membuat pipi Nayaka memerah. Hatinya berdesir. Apakah tindakannya benar untuk ke kantor Bahana, mengenalkan dirinya sebagai istri seorang pemimpin?
Raka datang, tersenyum melihat Nayaka sudah siap dan gelisah. Dia tahu Nayaka pasti cemas membayangkan Bahana di kantor dikerubungi oleh wanita lain.
"Sudah siap?" tanya Raka menggoda.
"Raka, sukanya menggoda saja," sergah Mbok Ijah melihat kejengahan Nayaka. Raka tertawa dan mengambil kotak makan dan membawanya ke mobil.
"Ka pergi dulu ya, Mbok," pamit Nayaka disambut anggukan Mbok Ijah. Hampir setahun lebih mengenal Nayaka, perempuan tua itu menyukai sikap Nayaka yang sopan.
"Mas Bahana gak ngapa-ngapain, Mbak Ka," kata Raka sambil melirik Nayaka yang duduk di sampingnya. Nayaka tak pernah mau duduk di kursi belakang jika mereka pergi berdua. Dia tak pernah mau terlihat seperti majikan. Padahal, iya, kan?
Kantor itu tak begitu besar, karena masih dalam tahap berkembang. Nayaka masih kagum dengan kegigihan Gama dan Bahana dalam membangun bisnis mereka.
"Sudah sampai, Mbak," kata Raka membuyarkan lamunannya.
Nayaka membuka pintu mengambil kotak makan di kursi belakang dan mengikuti Raka masuk ke dalam kantor.
Resepsionis yang melihat Nayaka, kagum dengan pesona sederhana perempuan yang melangkah anggun di belakang Raka. Kekikukannya terlihat tapi tak mengurangi pesonanya.
"Ruangan Mas Bahana," kata Raka membuat resepsionis itu mengernyitkan dahinya.
"Maaf, Pak Bahana," ralat Raka sambil tersenyum.
"Apakah sudah ada janji?" tanya resepsionis bernama Lita itu. Dia harus memastikan semuanya berjalan sesuai prosedur, karena Nares tak akan suka dengan pelanggaran.
"Telepon saja bilang Raka sudah datang," kata Raka santai. Nayaka menunggu sambil mengedarkan pandangannya. Mengamati setiap sudut.
Lita menelepon ruangan Bahana. Seketika mengangguk saat dia mendengar suara Bahana yang terkesan geram. "Silakan, kalian sudah ditunggu," kata Lita gugup.
"Apa kubilang," goda Raka. "Ayo, Mbak Ka," kata Raka membuat Nayaka mengangguk pada Lita yang kini canggung. Istri, dia istri dari bos baru yang tampan itu!
Sepanjang lorong, Nayaka menundukkan kepalanya, hanya mengikuti langkah Raka. Dia tak siap dengan mata yang menatapnya intens. Para karyawan wanita berbisik, apalagi saat mereka berdua masuk ke ruangan Bahana. Maka kasak-kusuk semakin jelas.
Bahana sudah menunggu wanitanya itu, berdiri di belakang pintu, begitu Raka masuk dia menyambar Nayaka ke pelukannya.
"Na!" teriak Nayaka kaget dengan kelakuan Bahana.
Raka menutup pintu sambil menahan kesal. Harus melihat kemesraan yang selalu saja mereka perlihatkan. "Makan siang, bukan pelukan!" kata Raka berkacak pinggang.
Bahana tertawa, mereka duduk di sofa, menikmati makan siang yang Nayaka sajikan. "Raka ambil minum," perintah Bahana membuat Raka memutar bola matanya tapi tak ayal bangkit juga. Saat tangannya meraih handle pintu, pintu itu terbuka dan seorang wanita cantik hampir melangkah masuk kalau tak melihat Raka.
"Maaf, apakah saya mengganggu?" tanya Nares, matanya bersibobrok dengan pemandangan yang tak mengenakkan hatinya.
Bahana sedang makan berdua dengan wanita cantik dan terlihat sangat berbeda. "Iya. Ini jam makan siang. Jika ingin membahas masalah kantor, datang lagi satu jam setelah ini," kata Bahana tanpa mengalihkan matanya dari Nayaka.
Raka yang paham dengan sikap Bahana kemudian menutup pintu dan menarik Nares agak menjauh. "Maaf, Mbak. Mas Bahana sedang makan siang dengan istrinya, mungkin nanti Mbak bisa datang lagi," kata Raka sambil melepas tangannya dari tangan Nares yang kaget dengan sikap lancang Raka. Nares mengusap tangannya gusar. "Mas Bahana tak suka diganggu saat bersama dengan istrinya," imbuh Raka dengan tujuan membakar Nares yang semakin kesal.
Raka berlalu dengan tanpa dosa dan menuju pantri. Mengambil air minum untuk mereka bertiga. "Permisi, saya mau mengambil air minum untuk Mas Bahana," kata Raka yang disambut anggukan kepala oleh Roni, OB kantor yang sedang berada di pantri.
"Saya anterin saja, Mas," kata Roni menawarkan diri.
Raka mengangguk dan berbalik menuju ruangan. Nares sudah tak terlihat. Raka melihat gelagat aneh dari wanita itu.
Nares menendang meja kerjanya kesal. Bahana sudah punya istri, dan wanita itu cantik, sederhana tapi pesonanya mematikan.
"Pantas saja dia dingin. Sudah ada wanita di sampingnya," gumam Nares sambil memukul sandaran kursinya kesal. Rencananya untuk mengajak Bahana makan siang buyar karena ternyata laki-laki sudah menikmati makan siang romantis dengan istrinya.
"Siapa dia?" tanya Nayaka setelah melihat Nares.
"Manajer operasional," gumam Bahana tak semangat membahasnya.
"Cantik," desis Nayaka.
"Lebih cantik wanitaku yang ini," kata Bahana sambil mengelus pipi Nayaka yang memerah.
"Jangan gombal," sergah Nayaka.
"Sayang, kamu cemburu?" Bahana menghentikan makannya dan menatap Nayaka yang kini salah tingkah.
"Dia cantik, dan selalu di kantor ini," desis Nayaka tak ingin mengakui gemuruh hatinya.
Bahana meletakkan kotak makannya, kemudian membingkai wajah istrinya yang kini gelisah.
"Kamu, satu-satunya wanita yang ada di mataku." Manik mata Bahana bertemu dengan mata Nayaka.
"Tuan dan Nyonya, mesranya nanti malam saja," keluh Raka, yang masuk diiringi oleh Roni yang membawa nampan berisi gelas minuman untuk mereka.
Nayaka malu, Bahana terkekeh. Mempersilakan Roni masuk.
"Silakan, Pak, Bu," kata Roni sopan lalu undur diri.
"Ka, nanti sore jemput Gilang di bandara. Dia akan menjadi sekretarisku di sini. Nanti dia akan tidur di rumah juga." Bahana memberikan tanda ke pada Raka.
"Okay. Aku ada teman jomblo," kata Raka senang.
Nayaka tersenyum. Rumah akan ramai, dan itu akan menyenangkan.

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang