Kenyataan

2 1 0
                                    

Sangka sudah bersiap untuk keluar rumah. Dia menunggu Gama selesai dengan sarapannya. Dia tak ingin membuat Gama semakin kesal. Mulai sekarang, dia harus bisa bermain cantik. Posisinya harus tetap aman, tapi juga bisa menjangkau Bahana dan menghancurkan pernikahan itu.
Joy menunggu di depan pintu kamar Sangka dengan sabar. Setelah mengikuti Nyonyanya itu selama beberapa belakangan, membuat Joy tahu harus bagaimana bersikap dengan sifat Sangka.
"Aku akan bertemu temanku, aku perlu ruang untuk pribadi, apa kamu akan mengekoriku?" tanya Sangka tak suka dengan kehadiran gadis itu.
"Saya hanya mengikuti perintah," jawab Joy datar.
"Terserah saja. Aku ingin kamu berada dalam jarak tertentu," kata Sangka menyerah untuk mengenyahkannya.
Joy menyetir mobil Sangka menuju sebuah kafe di daerah Seminyak. Mereka saling berdiam sepanjang jalan. Tak ada basa-basi yang harus dilempar jika Joy sedang bertugas mengawal wanita yang duduk di kursi belakang itu. Penampilan anggunnya itu menipu. Dia wanita yang sadis. Tak segan untuk mengatakan hal kejam jika dia tak menyukai seseorang.
Binar sudah menunggunya, bermain dengan ponselnya. Joy mengambil meja terpisah beberapa jarak dari meja mereka. Dia akan memberi Sangka dan temannya itu ruang.
"Sudah lama?" tanya Sangka lalu mendudukkan dirinya di kursi. Tangannya melambai memanggil pelayan.
"Belum. Apalagi yang membuatmu galau sih?" tanya Binar tak percaya dengan keadaan Sangka.
"Aku, menginginkan Bahana hanya melihatku, bukan wanita itu," gumam Sangka membuat Binar memutar matanya.
"Jangan egois." Binar mengatakan itu dengan datar.
"Sejak kapan, Sangka Gauritama menginginkan sesuatu dan tak menjadi miliknya?" Sangka melempar eleginya.
"Sejak hari ini. Ayolah, belajarlah menerima kenyataan. Kamu yang mencampakkannya, kini kamu juga yang merengek menginginkannya kembali," ledek Binar. Tangan Sangka mengepal. Tapi itu kenyataan dan kebenaran yang sesungguhnya. "Gengsimu masih terlalu tinggi, untuk mengakui sebuah kekalahan? Bukan, sebuah pukulan, bahwa laki-laki yang sangat memujamu dulu, kini bisa beralih ke pelukan wanita lain?" imbuh Binar membuat raut muka Sangka semakin tak karuan.
Joy melihat perdebatan kecil kedua wanita cantik itu. Wanita yang sama-sama memiliki ambisi tak pernah padam untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Nayaka membantu Mbok Ijah memasak di dapur. Menyiapkan sarapan untuk mereka berempat.
"Non Ka, duduk aja, biar Mbok yang natain," kata Mbok Ijah melihat Nayaka sibuk.
"Ya udah, Nayaka duduk aja nih, liatin Mbok," kata Nayaka menggoda pembantunya itu.
"Nanti siang, mau dimasakin apa, Non?" tanya Mbok Ijah sambil menata piring di meja makan. Menyajikan nasi dan tumis buncis kesukaan Bahana.
Bahana keluar dari kamar, berjalan ke arah mereka. Nayaka sedikit kaget dengan penampilan Bahana yang berbeda. Laki-laki itu semakin menunjukkan pesonanya dalam balutan jas dan celana bahan, serta sepatu pantofel yang berkilat.
"Aku memang ganteng, kok, Sayang," kata Bahana membuat Nayaka tersadar dari keterpanaannya.
"Apaan sih," tepis Nayaka jengah.
"Mas Bahana memang ganteng, Non. Makanya Mbok was-was kalau dia banyak yang suka," timpal Mbok Ijah semakin membuat Nayaka jengah. Tunggu dulu, banyak yang suka? Maka hati Nayaka berdesir. Membayangkan wanita-wanita di luar sana memperhatikan suaminya dan menatap dengan mata penuh harap.
"Tenang, mataku, hanya akan melihatmu," bisik Bahana seolah tahu apa yang ada di pikiran Nayaka saat ini.
"Hm ...." Nayaka masih merasakan hatinya berdesir. Dia tak bisa membayangkan, jika akan ada wanita lain seperti Sangka yang terobsesi terhadap Bahana.
"Mau ikut ke kantor saja?" tanya Bahana melihat perubahan raut muka Nayaka.
"Nggak," elak Nayaka enggan. Dia tak ingin terlihat khawatir.
"Kalau ada apa-apa segera hubungi aku," tekan Bahana membuat Nayaka menunduk.
Mereka memakan sarapan dalam diam. Nayaka tak ingin mengeluarkan kata-kata yang mungkin akan membuatnya terlihat menahan perasaannya. Bahana mengecup kening Nayaka setelah menyelesaikan sarapannya.
"Aku berangkat dulu. Kalau mau ke mana-mana, telepon Raka," pesan Bahana diangguki oleh Nayaka.
Bahana menjejaki kantor barunya. Seorang wanita menyambutnya, memberikan senyum terbaiknya.
"Selamat datang di Cabang Lombok, Pak Bahana. Perkenalkan, saya Nares, Manajer Operasional di sini," kata wanita mengenalkan dirinya.
"Terima kasih. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik," jawab Bahana mengangguk dan mengikuti wanita itu ke ruangannya.
Para karyawan berdiri dan menunduk memberi hormat kepada pimpinan mereka. Sebelum Bahana datang, desas-desus tentang ketampanannya sudah merebak. Gama yang tampan, pasti adiknya juga tampan. Isu itu terbukti dengan sosok Bahana yang memang sempurna. Para karyawan wanita berbisik-bisik memujanya.
Nares merasakan sikap dingin Bahana. Ketampanannya meningkat beberapa ratus persen dengan sikapnya itu. Tak sadar Nares menarik garis senyum samar. Laki-laki ini menarik.
"Siapa yang akan menjadi sekretarisku?" tanya Bahana melihat meja di depan ruangannya kosong.
"Kami belum menemukan orang yang cocok. Karena kami belum tahu kriteria apa yang akan Bapak pilih," jawab Nares hati-hati.
"Aku akan menarik orangku," kata Bahana membuat Nares paham. Bahana menekan nomor telepon Gama. "Kirim Gilang untukku. Aku memerlukannya di sini," kata Bahana membuat Gama mengangguk.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Gama khawatir.
"Kami baik. Kamu juga, harus bisa kuat," kata Bahana membuat Gama meringis. Bahana selalu bisa memahaminya tanpa harus mengetahui semua perasaannya.
"Aku akan mengirim Gilang sekarang. Suruh Raka menjemputnya di bandara. Aku akan mencari tiket terdekat," kata Gama tak ingin membahas masalah lain.
Bahana menutup teleponnya. Menatap Nares yang masih belum pergi dari ruangannya. "Kenapa kamu masih di sini? Apa kamu tak punya pekerjaan?" tanya Bahana heran.
"Saya menunggu, takutnya Pak Bahana memerlukan sesuatu," kata Nares mencoba menyembunyikan kesalnya.
"Aku akan mencarinya sendiri. Kamu Manajer, bukan urusanmu mencarikan apa yang aku cari," kata Bahan dengan penuh penekanan.
Nares undur diri dengan muka memerah. Sikap Bahana memang benar-benar dingin. Dia memilih sekretaris laki-laki. Tak tergoda dengan senyum manisnya dan sikapnya.
Karyawan yang melihat raut kekesalan Nares berbisik-bisik, Manajer mereka itu memang selalu cari muka di hadapan bos baru. Nares masih mengelak dari kenyataan bahwa pesonanya sama sekali tak membuat Bahana meliriknya. Apakah laki-laki itu sudah beristri? Apakah dia sudah mempunyai kekasih? Pertanyaan apakah lain memenuhi kepala Nares.
"Sayang, kamu tak ingin membawakan makan siang untukku?" tanya Bahana di ponselnya, sambil membaca berkas yang harus dia periksa.
"Kamu ingin di masakin apa?" tanya Nayaka yang sedang memeriksa surelnya, melihat apakah ada pekerjaan yang bisa dia kerjakan.
"Apa saja, asal kamu yang membawakannya," goda Bahana.
Nayaka membayangkan Bahana dengan wajah menggodanya di kantor. Sial.
"Jangan gombal. Nanti aku ke sana. Raka akan menjemputku?" tanya Nayaka sambil menutup laptopnya dan menuju dapur.
"Iya. Nanti aku suruh Raka menjemputmu," jawab Bahana kemudian menutup sambungan.
"Laporan ini bagus. Tapi ada selisih yang membuatku ragu," desis Bahana pada dirinya sendiri. Dia semakin ingin Gilang cepat datang dan membantunya mengurus hal ini. Setahun tak bekerja membuat otaknya sedikit kaku untuk berpikir. Setahun belakangan, hanya Nayaka yang ada di kepalanya. Mengingat hal itu membuat Bahana tersenyum sendiri.

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang