"Lang, aku mau besok kamu kumpulin karyawan di aula. Aku merasa perlu untuk memperkenalkan diri secara resmi untuk menghindari hal yang tak diinginkan," titah Bahana membuat Gilang mengerti. "Besok, kita berangkat bersama, Nayaka akan ikut juga. Setelah itu, Raka antar ke mana dia mau, terserah dia," kata Bahana kepada Raka.
"Na, aku gak perlu ikut," desis Nayaka.
"Tidak. Aku akan mengenalkanmu secara resmi," tekan Bahana membuat Nayaka membuang napasnya kesal. Bukan seperti ini, dia hanya tak mau Bahana terjerat wanita semacam Nares. Bukan dikenalkan dengan resmi seperti itu.
"Tapi ...." Nayaka menatap Bahana dengan tatapan memohon.
"Ka, aku tak ingin kamu cemas. Terlebih jika mereka mengira aku masih sendiri." Bahana balas menatapnya dengan lembut.
"Kerjaku hari pertama, langsung berat ya, Bos?" kekeh Gilang.
"Susah kalau punya Bos macam dia emang," timpal Raka. Bahana tertawa, mereka menyelesaikan makan malam dengan saling melempar candaan.
"Istirahatlah, Lang," kata Bahana setelah membantu membereskan meja.
"Siap," kata Gilang memberi hormat seolah Bahana adalah kapten polisi. Gilang menuju kamarnya yang berada di belakang, berjajar dengan kamar Raka dan Mbok Inah.
Nayaka menyusul ke kamar setelah membantu Mbok Inah mencuci piring.
"Na, apa perlu aku ikut besok?" tanya Nayaka masih enggan.
"Harus, aku ingin mereka melihatmu, mengenalmu," kata Bahana menarik Nayaka ke pelukannya.
"Tapi aku malu," desis Nayaka.
"No, dont be shy. Im on your side," bisik Bahana sambil membelai rambut istrinya.
"Na, aku hanya memintamu menjauhi mereka, bukan memperlihatkanku ke mereka," elak Nayaka.
"Justru karena itu. Mereka harus tahu alasanku, mereka harus paham, bahwa sudah ada wanita yang sangat cantik di sampingku. Sehingga, tak ada celah untuk mereka masuk," terang Bahana. Nayaka memejamkan matanya. Mencerna kata-kata Bahana. Menegarkan hatinya menghadapi khalayak yang mungkin ada yang tak suka dengan kehadirannya sebagai istri Bahana. Tapi, bukankah ini kesempatannya untuk menunjukkan, bahwa laki-laki ini miliknya? Seutuhnya miliknya?
Bahana menatap Nayaka yang masih tertidur di pelukannya, mengamati wajah cantik yang tak menyadari kalau dia benar-benar memesona. Hubungan yang tak sehat membuat rasa percaya dirinya menghilang, dan sangat susah mengembalikannya ke kenyataan bahwa dia sangat cantik dan harus berbahagia. Tangannya mengelus lembut pipi yang akhir-akhir ini dia ciumi entah sudah berapa ratus kali. Pipi yang akan merona bila digoda. Mata yang memancarkan kegugupan saat bertemu banyak orang. Bibir yang terkatup saat sedang gelisah. Bahana menghela napasnya, dia ingin wanita ini kembali percaya bahwa dia berhak bahagia, berhak mempertahankan miliknya dan menatap semua mata yang menolaknya dengan berani.
"I will make you feel confident and comfort all the way we through. Trust me, My Lady," bisik Bahana. Nayaka menggeliat dan merengkuh Bahana ke dalam pelukannya. Dia masih ingin bergelung, tak ingin bangun dari tidur nyenyaknya. "Ka, udah pagi. Kita harus ke kantor," desis Bahana.
Nayaka membuka matanya perlahan. Mengerjap menatap laki-lakinya itu. "Jam berapa?" gumamnya masih enggan beranjak. Malah menyusupkan kepalanya di dada Bahana.
"Jam tujuh," jawab Bahana sambil mengelus rambut Nayaka.
Seketika Nayaka bangkit dan panik. "Maaf, kamu harus ke kantor ya," ucapnya membuat Bahana tertawa.
"Tenang, Ka. Santai. Aku mandi dulu." Bahana menepuk pipi Nayaka lembut dan mengecup bibirnya.
Beranjak ke kamar mandi. Membiarkan Nayaka tersadar sendiri dan menyiapkan baju untuk Bahana.
"Mandilah, kita berangkat bareng," kata Bahana menyadarkan Nayaka yang masih terpekur di samping tempat tidur dan mengelus jas yang dia siapkan. "Aku akan bersiap sendiri, mandilah," desak Bahana karena Nayaka masih kikuk dan berusaha membantu suaminya memakai baju. Enggan, Nayaka melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Dia mau tak mau harus menemani Bahana ke kantor hari ini. Membayangkannya saja, kepala Nayaka pening.
Bahana memilihkan gaun yang pantas untuk Nayaka, pilihannya jatuh ke gaun selutut yang simpel. Selera Nayaka sangat simpel untuk ukuran wanita yang mempunyai pendapatan sendiri dan cantik. "Harus?" tanya Nayaka saat melihat Bahana memegang gaun dan mengangsurkannya.
"Ya," jawab Bahana singkat. Bahana membantu Nayaka merapikan dressnya, menarik risleting yang berada di belakang dress itu ke atas, seiring jarinya menelusuri tulang belakang Nayaka sampai ke leher. "Tangannya," desis Nayaka menahan diri untuk tak berbalik dan melumat bibir Bahana. Bahana terkekeh, mengurai rambut panjang Nayaka dengan jarinya, membuat Nayaka tak berkonsentrasi memoleskan makeup-nya. "Na, jangan buat aku lama berdandan," geram Nayaka, karena Bahana tak hentinya menggoda.
"Aku sangat menyukaimu," desis Bahana sambil memeluk Nayaka dan meletakkan dagunya di pundak wanita itu.
"Ayo sarapan," kata Nayaka mengalihkan perhatian Bahana yang menurut saat Nayaka menyeretnya.
Gilang dan Raka sudah menunggu di meja makan. Bahkan, mereka sudah selesai sarapan.
"Mau dibungkus saja sarapannya?" tanya Mbok Inah menatap jam dinding. Tersisa lima belas menit sebelum jam delapan.
"Boleh, Mbok," kata Bahana.
Mbok Inah cekatan menaruh nasi goreng ke wadah makan.
"Kamu sih," desis Nayaka.
"Gak apa-apa kali, Mbak. Bos mah santai kalau telat datang," ledek Raka disambut tawa Gilang.
Nayaka menatap mereka satu persatu dengan kesal. Sepertinya ketiga laki-laki itu memang suka sekali menggodanya.
Perjalanan ke kantor tak butuh waktu lama, karena memang jaraknya tak begitu jauh. Ditambah lalu lintas di Lombok masih tak semacet kota besar lainnya.
Bahana menggandeng Nayaka ke ruangannya, sementara Gilang menuju salah satu ruangan manajer di sana setelah bertanya kepada karyawan.
Gilang mendatangi satu per satu ruangan untuk mengenalkan diri dan meminta mereka untuk berkumpul di aula kantor.
Bahana sedang menikmati sarapannya yang telat dan meminta Nayaka menyuapinya sementara dia sibuk melihat dokumen di mejanya.
"Apa, kita begini saja tiap hari?" goda Bahana sambil menggigit sendok yang Nayaka sodorkan ke mulutnya.
"Na, jangan mulai deh. Aku tak ingin menjadi istri posesif yang terus-terusan ikut suami ke kantor," kata Nayaka tak enak.
"Aku tak keberatan," kata Bahana.
"Mas, para karyawan sudah berkumpul," kata Gilang membuat Bahana mengangguk.
Beruntung sarapannya sudah selesai. Setelah menegak air minumnya, Bahana mengajak Nayaka untuk ke aula. Meninggalkan kotak sarapan yang belum dibereskan.
Nares yang berdiri di jajaran depan dari kerumunan karyawan, bertanya-tanya dengan pengumpulan ini. Karyawan lain mulai berbisik-bisik.
Bahana memasuki aula dengan tegap, menggandeng Nayaka yang terlihat gugup. Sementara Gilang mengikuti mereka di jarak yang terjangkau.
"Selamat pagi, semuanya," sapa Bahana disambut dengan balasan serempak dari karyawan tak terkecuali Nares.
Mata Nares nyalang menatap genggaman tangan Bahana di tangan Nayaka. Pandangan yang sebenarnya biasa karena mereka sepasang suami istri. Tapi, hati Nares masih tak terima, karena dia ingin mendekati Bahana agar posisinya di kantor aman.
"Maaf, baru hari ini bisa memperkenalkan secara resmi. Saya, Bahana Samudera, pimpinan baru yang ditugaskan oleh direktur utama kita, Gama Narendra, yang kebetulan adalah kakak saya sendiri." Mata Bahana menyapu seluruh ruangan itu. "Semoga ke depannya kita bisa bekerjasama dengan baik dan memajukan perusahaan ini bersama. Oh ya, ini istri saya, Nayaka Sakuntala, kalian akan sering melihatnya datang ke kantor ini, jadi untuk menghindari asumsi maka saya ingin memperkenalkannya secara resmi kepada kalian." Bahana menunggu reaksi para karyawan sebelum melanjutkan kalimatnya. "Saya, tak bisa jauh darinya, jadi mohon dimaklumi jika nanti saya akan sering memintanya datang ke kantor. Saya mengatakan ini untuk menghindari desas-desus yang tak mengenakkan nantinya. Lalu, perkenalkan laki-laki di sebelah sana, yang mungkin sudah kalian kenal tadi, Gilang Dirgantara, sekretaris saya. Untuk urusan pekerjaan, bisa melalui dia, dan dia akan menyampaikannya secara langsung kepada saya," terang Bahana membuat para karyawan mengangguk.
Nayaka masih berdiri gugup di sebelahnya. Berusaha melepaskan genggaman tangan Bahana, tapi suaminya itu tak memberinya kesempatan untuk lari.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
RomanceNayaka bertemu dengan Bahana, masing-masing punya luka yang harus disembuhkan. Bisakah keduanya berdamai dengan luka masing-masing, dan bertaut satu sama lain?