Bahana sudah bersiap pagi itu untuk ke pengadilan. Pradnya menunggunya di ruang tamu. Nayaka mondar-mandir di dekatnya.
"Na, aku ikut," pinta Nayaka membuat Bahana menggeleng.
"Biarkan aku ikut, aku akan tetap di mobil," lanjut Nayaka tak bisa membiarkan Bahana pergi sendiri.
"Oke, ajak Raka," kata Bahana luluh saat melihat Nayaka mengiba.
"Buat apa?" tanya Nayaka tak paham maksudnya membawa Raka.
"Biarkan dia menyetir," kata Bahana. Dengan kebingungan Nayaka memberitahu Raka.
Mereka berempat ke pengadilan. Sepanjang jalan Nayaka tak berhenti memilin ujung bajunya. Bahana meraih tangan Nayaka dan menggenggamnya erat. Meredam kegelisahan yang Nayaka perlihatkan. Nayaka menatap Bahana yang memberikan tanda bahwa semua akan baik-baik saja. Dia menghela nafasnya berat. Berusaha mempercayai Bahana.
"Ka, tunggu di mobil bersama Nayaka. Pastikan dia tak turun," pesan Bahana membuat Nayaka gusar.
"Baik, Mas," jawab Raka.
"Kamu, jangan turun dari mobil selangkah pun. Demi kebaikanmu sendiri," kata Bahana sambil menatap tajam Nayaka yang hanya bisa pasrah. Salahnya sendiri meminta ikut. Kini paham alasan Bahana mengajak Raka. Agar bisa mengawasinya.
Bahana memasuki ruang pengadilan disertai Pradnya. Setelah berbincang dengan jaksa Pradnya memberi kode kepada Bahana untuk duduk dulu.
Doni masuk dengan dikawal oleh petugas. Kedua tangannya diborgol. Matanya mengedarkan pandang menyapu ruangan, berharap menemukan Nayaka di sana. Tapi matanya menemukan Bahana yang mengawasinya dengan tajam. Doni menggeram, tapi nyalinya menciut. Laki-laki itu bisa mengambil dominasinya terhadap Nayaka. Melindungi perempuan itu. Membuatnya merasa tak berarti. Sial. Nayaka sudah berhasil kabur dari cengkeramannya.
Sidang berjalan tanpa banyak hambatan, minggu depan, sidang putusan akan dibacakan. Bahana melempar tatapan, 'aku tak akan melepasmu', ke arah Doni yang mencoba menantangnya dengan menatap balik. Tapi nyali Doni hanya mempan untuk menakuti Nayaka, bukan Bahana.
Nayaka gelisah di dalam mobil. Hampir dua jam berlalu dan Bahana belum kembali.
"Mbak Ka tenang ya," kata Raka tahu bahwa Nayaka sedang gelisah.
"Tapi ini sudah lama," sergah Nayaka membuat Raka hampir tertawa melihat reaksi Nayaka.
"Mbak Ka sabar dong, Mas Bahana pasti kembali," goda Raka membuat Nayaka mendelik. "Percaya saja sama Mas Bahana, Mbak," lanjut Raka.
Saat Nayaka bertekad untuk keluar mobil, bayangan Bahana terlihat berjalan ke arah mereka. Nayaka menghela nafasnya.
"Tuh kan benar. Mas Bahana balik," goda Raka. Nayaka menjitak kepala Raka saking kesalnya.
"Sakit, Mbak," desis Raka sambil mengelus kepalanya sendiri.
Bahana membuka mobil dan melihat Nayaka dengan wajah gelisahnya. Bila tak mengingat ada Raka dan Pradnya, sudah bisa dipastikan dia akan memeluk Nayaka.
"Ada yang mau kabur tadi, Mas," lapor Raka sambil menahan tawanya.
"Behave Ka, behave," desis Bahana membuat Nayaka cemberut.
"Na, antar aku ke kantor saja, berkas ini harus segera dilaporkan, biar minggu depan saat sidang putusan bisa langsung diajukan," kata Pradnya membuat Raka menyetir menuju kantor Pradnya.
"Thanks Prad," kata Bahana disambut anggukan.
"Ka, lapar," desis Bahana.
"Makan di mana, Mas?" tanya Raka paham kode dari bosnya itu.
"Pengen Nasi Ayam Bu Oki," kata Bahana membuat Raka melajukan mobilnya ke arah Jimbaran.
"Kenapa diam?" Bahana meraih tangan Nayaka.
"Apa dia bisa menerimanya?" tanya Nayaka.
"Sidang putusan masih minggu depan. Dia harus menerimanya. Walau mungkin hukumannya setahun dua tahun, setidaknya dia harus membayar semuanya," kata Bahana.
Nayaka menatap lekat mata hitam legam milik Bahana yang tajam. Mata yang memberinya tanda bahwa semua akan baik-baik saja. Mata yang entah sejak kapan, memberikan rasa aman. Bila tak mengingat ada Raka di sana, Nayaka sudah pasti menghambur ke pelukan Bahana. Mengurai semua beban yang dari tadi ditahannya.
Bahana membingkai wajah Nayaka dengan kedua tangannya. Menyapukan jempolnya ke pipi Nayaka yang kini memerah. Raka melirik mereka dari spion, menyunggingkan senyum, karena sudah lama tak melihat Bahana menatap perempuan dengan tatapan seperti itu, setelah dengan Sangka.
"Ehem, sudah sampai ya, Mas dan Mbak," goda Raka membuat Nayaka malu. Bahana menjitak Raka yang cengengesan.
Mereka bertiga memakan makanan dengan candaan yang akrab. Nayaka merasa beruntung menemukan mereka di saat sedang tak stabil. Bahana memperlakukan Raka seperti adiknya. Raka bahkan tak sungkan kepadanya.
"Ka, setelah ini antar kami ke Beachwalk, lalu kamu boleh pulang. Nanti aku akan pulang naik Grab," kata Bahana membuat Raka memberi kode Ok dengan jarinya.
"Ngapain ke beachwalk?" tanya Nayaka.
"Besok, kamu harus menemaniku menemui Gama. Jadi kita akan belanja," kata Bahana.
"Menemui kakakmu, kenapa harus belanja?" sergah Nayaka tak paham.
"Kamu, harus memberi kesan terbaik saat pertemuan pertamamu dengannya, terlebih di sana ada Sangka," desis Bahana.
"Aku masih punya baju yang pantas, Na," elak Nayaka.
"No. I want it be special. Kamu harus membuat Gama tahu, you are my women," protes Bahana membuat Nayaka mendesah.
"Saran saya, dari pada nanti ada yang ngambek, mending diturutin, Mbak," lirih Raka membuat Bahana menendang kakinya. Raka meringis.
"Gitu ya?" kata Nayaka menggoda Bahana dengan berbisik ke arah Raka.
"Ho oh," kata Raka sambil mengangguk dan menahan tawanya.
"Kalau ngambek, besok kita akan kelaparan, Mbak," imbuh Raka semakin membuat Bahana kesal. Nayaka tertawa. Itu membuat Bahana lega. Akhirnya dia mendengar tawa Nayaka.
"Lanjutkan," desis Bahana berpura-pura kesal.
Raka terkikik, sementara Nayaka tersenyum melihat tingkah konyolnya.
Raka mendrop mereka di depan Beachwalk. Mall di jalan Kuta yang ramai. Bahana menggandeng tangan Nayaka seolah takut dia akan hilang. Mereka menuju toko brand yang lumayan membuat Nayaka melongo.
"Bisa ke merek yang itu saja?" Nayaka menunjuk merek sebelah yang lebih ramah di kantongnya.
Bahana menggeleng tegas. Lalu dia sibuk memilih dress yang tak terlihat begitu formal. Nayaka mendesah saat melihat harganya. Baginya ini sedikit pemborosan.
"Coba ini," kata Bahana menyerahkan dress selutut, dengan kerah turtle neck dan berlengan pendek. Tak banyak ornamen, hanya bordiran bunga di bagian dada.
Nayaka dengan enggan memasuki kamar ganti dan mencoba dress itu. Dia mematut diri di cermin lalu mendesah. Apakah aku terlihat cantik? Dia lalu membuka pintu dan memperlihatkan dirinya kepada Bahana yang menunggu.
"Warna tosca ternyata cocok dengan kulitmu," kata Bahana sambil memandang Nayaka dari ujung kepala sampai kaki.
"Apa aku terlihat aneh?" Nayaka jengah.
"Sepatu," desis Bahana. Memberi kode Nayaka untuk berganti baju lagi.
Dress itu kemudian masuk ke keranjang belanjaan mereka. Kini dia mengajak Nayaka untuk memilih sepatu.
"Sepatumu tak ada yang cocok dengan dress itu," sergah Bahana melihat wajah protes Nayaka.
Sepatu putih berhak stilleto menjadi pilihan Bahana, dengan aksen pita di bagian belakang, menambah kesan manis.
Setelah memutuskan belanjaan mereka, Bahana membayar dan mengisyaratkan Nayaka untuk memesan grab.
Sepanjang perjalanan pulang, Nayaka diam tak berkata. Hatinya masih gamang memikirkan besok bertemu dengan Gama, terlebih Sangka.
Begitu sampai di depan rumah, Nayaka baru ingat sudah waktunya untuk mengganti perban luka Bahana.
"Na, ayo bersihkan lukamu dulu," kata Nayaka membuat Bahana enggan.
Mau tak mau Bahana menuruti Nayaka yang sudah siap dengan peralatannya. Dia berbaring di tempat tidurnya. Belanjaannya tadi bahkan dia lemparkan begitu saja ke sofa.
Nayaka kemudian menyeret kursi agar mudah untuk duduk di samping Bahana. Luka itu sudah mulai mengering. Tak lagi ada darah yang merembes. Nayaka lega. Dengan pelan dia membersihkan luka itu dengan NaCl.
"Lusa jadwal kontrol," kata Nayaka mengingatkan.
"Ya," jawab Bahana singkat.
Nayaka menoleh dan melihat Bahana yang mulai memejamkan matanya. Dia segera menutup luka itu dengan plester antibiotik dan kasa, lalu menutupnya dengan plester besar. Bahana mulai tertidur. Nafasnya teratur.
Setelah menyelesaikan rawat luka, Nayaka menyapu wajah Bahana dengan jemarinya. Berhenti di mata itu dan mengusapnya. Mata yang menawannya. Membuatnya melupakan Doni saat menatapnya. Melupakan ketakutannya selama ini. Mata yang mendominasi, tapi tidak mengintimidasinya. Lalu jemarinya turun ke bibir Bahana, mengusapnya pelan. Lalu dia mengecupnya, kemudian beranjak pergi. Apakah hatinya kini mulai tertambat pada laki-laki ini? Setelah setahun bersamanya tanpa pernah berharap akan kembali jatuh hati, tapi perlakuan Bahana telah membuatnya bingung dengan hatinya sendiri.
Bahana tersenyum dalam tidurnya. Merasakan Nayaka mulai membuka diri untuk perasaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
RomanceNayaka bertemu dengan Bahana, masing-masing punya luka yang harus disembuhkan. Bisakah keduanya berdamai dengan luka masing-masing, dan bertaut satu sama lain?