Sangka berjalan mondar-mandir di kamarnya. Jarinya mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan tak sabar.
[Kamu yakin?] Balasan yang dia tunggu dari Binar, sahabatnya.
[Aku harus bagaimana?]
[Kalau aku jadi kamu. Aku terima saja Gama. Apa sih yang kamu cari dari Bahana?]
[Ini tentang rasa dikalahkan]
[Dikalahkan oleh siapa? Kamu sudah memilih Gama. Lagian, jika kamu pergi dari Gama dan lari ke Bahana, apa dia akan melihatmu lagi?] Sangka mendengkus. Binar benar. Bahana bahkan kini berani mencintai wanita lain.
Joy mengetuk pintu kamar Sangka. Ini sudah waktunya makan. "Mbak, Mas Gama sudah menunggu di meja makan," kata Joy dari luar kamar.
"Aku tak ingin makan." Sangka sedang tak ingin berhadapan dengan Gama untuk sekarang.
"Mas Gama memaksa," kata Joy tanpa beranjak dari tempatnya. Sangka membuka pintu dengan kesal. Berjalan meninggalkan Joy yang kemudian mengikutinya.
Gama sudah duduk di meja makan, menyantap makan malamnya dalam diam.
"Kenapa kamu masih menungguku untuk makan?"
"Karena kamu masih istriku," kata Gama tanpa mengalihkan pandangan dari piringnya.
"Jangan memaksakan kehendak. Aku tak ingin melakukan semua ini dengan terpaksa," pungkas Sangka tak menyentuh piringnya.
"Aku kira kamu lupa. Kamu masih berada di rumahku. Bahkan, kamu tak punya andil apa pun di sini. Dan, jika kamu ingat, sembilan puluh persen saham PT. Daya Cipta sekarang milikku." Gama menatap Sangka dengan tajam.
"Aku tak akan terintimidasi. Aku hanya ingin kebebasanku kembali," geram Sangka. Dia tak menduga Gama mampu mengancamnya secara konstan sejak kejadian itu. Gama yang halus dan lembut tak lagi tampak. Ini adalah salahnya.
"Makanlah. Nikmati selagi kamu bisa," kata Gama pelan tapi menusuk. "Lakukan apa pun yang kamu mau, tapi jangan pernah sentuh Bahana. Sekali aku mendengar kamu mendekati mereka dalam jarak mengganggu, aku tak ragu melepas semua sahamku, atau menjualnya ke pasar gelap," tekan Gama. Sekali lagi, Sangka tak berkutik. Posisinya benar-benar tak menguntungkan. Gama menatap istrinya itu dengan penuh kekesalan. Perasaannya yang tak berbalas. Kenyataan tentang dirinya tak pernah ada di hati Sangka, bahkan percintaan mereka di ranjang yang mungkin juga tak dinikmati oleh Sangka.
"Joy, biarkan besok dia keluar rumah. Ikuti saja kemauannya, asal, kamu tahu batasan mana yang boleh dia langgar atau tidak," tekan Gama menatap Joy tajam.
Joy mengangguk patuh. Tugasnya mungkin terdengar sederhana, mengawasi majikan perempuannya itu. Tapi, kalau orang tahu betapa Sangka berusaha melarikan diri, maka, akan paham betapa berat beban yang Joy tanggung.
Sangka menekan perasaannya saat Gama berlalu. Masuk ke kamar tamu di lantai bawah. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Gama merebahkan dirinya di ranjang, menatap langit-langit, menghela nafasnya. Mengendapkan segenap perasaan yang bergolak di dadanya. Perasaannya yang tak bertaut, membuatnya semakin kalut. Dia harus bagaimana untuk mempertahankan perempuan yang dia cintai setengah mati itu? Rasa sakit atas kenyataan, bahwa Bahana yang ada di hati Sangka, membuatnya mempercepat pernikahan Bahana dan Nayaka, lalu mengirim mereka ke Lombok dengan segera. Tapi nyatanya, Sangka masih memikirkan adiknya itu.
Nayaka sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, menatap Bahana yang masih tertidur di tempat tidur. Nayaka duduk di tepi ranjang, menelusuri lekuk wajah suaminya itu dengan jarinya.
Bahana mengerjapkan matanya, harum sabun mandi yang segar menyeruak ke hidungnya.
"Sudah bangun?" tanya Nayaka tersenyum manis.
"Jam berapa?" Bahana menarik Nayaka ke dalam pelukannya.
"Jam delapan," bisik Nayaka.
"Sebentar lagi," gumam Bahana menghirup wangi tubuh wanitanya itu.
"Hari ini Raka sama Mbok Ijah pasti udah di rumah," kata Nayaka seraya mengusap pipi Bahana dengan lembut.
"Tapi aku masih ingin bergelung denganmu tanpa diganggu oleh Raka." Bahana menatap Nayaka.
"Maunya," desis Nayaka.
Bahana mengeratkan pelukan, menyurukkan wajahnya ke leher Nayaka. Memejamkan matanya, enggan meninggalkan titik nyamannya itu.
"Na, ayo mandi, pulang," gumam Nayaka.
Bersamaan dering ponsel Bahana di nakas. Nayaka beranjak dan mengambilnya. Raka.
"Halo, iya, Ka. Gimana?" tanya Nayaka.
"Mbak Ka. Aku jemput di mana? Kita udah sampai dari semalam," kata Raka di seberang sana.
"Bentar, aku tanya sama Bahana dulu mau dijemput jam berapa," kata Nayaka kemudian menatap Bahana yang masih enggan beranjak.
"Pasti dia masih tidur. Tendang aja," kata Raka membuat Nayaka tertawa.
Bahana yang mendengar kata-kata Raka seketika memberengut. Menyambar ponsel dari tangan istrinya itu.
"Hei kamu, jemput lima belas menit lagi di Radja Villa. Awas kalau telat!" teriak Bahana.
Nayaka mengusap kepalanya lembut untuk menenangkan. Dasarnya Raka suka sekali menggoda Bahana. "Lima belas menit lagi dan kamu belum mandi," desis Nayaka membuat Bahana terlonjak dan seketika berlari ke kamar mandi. Jika dia terlambat maka Raka akan membuatnya tak berkutik dengan semua ocehan sepanjang jalan. Nayaka menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Bahana yang kadang seperti anak kecil kalau bersama Raka.
Lima menit kemudian, Bahana sudah selesai mandi dan gegas memakai pakaiannya. Nayaka merapikan kerah kaos polo yang dipakai laki-lakinya itu. Lalu menepuk pipinya lembut.
"Makanya, jangan suka mengancam, akhirnya jadi kelimpungan sendiri, kan?" kata Nayaka.
Bahana mengerucutkan bibirnya, membuat Nayaka gemas dan menciumnya sekilas.
"Jangan mulai," gumam Bahana membuat Nayaka tertawa.
"Berhenti di sana Nyonya Samudera!" geram Bahana, karena Nayaka menjauh setelah menciumnya. Nayaka melempar tawanya dan merapikan tas mereka.
"Jangan mulai, kita harus gegas berkemas." Nayaka mengingatkan Bahana akan situasinya. Bahana mendesah, akhirnya membantu Nayaka mengemasi barang mereka.
"Besok, aku sudah mulai masuk kantor, kamu di rumah sama Mbok Ijah, gak apa-apa?" tanya Bahana khawatir.
"I am okay with that," desis Nayaka sambil tersenyum.
"Aku tak tega meninggalkanmu sendirian," gumam Bahana sambil melingkarkan tangannya di pinggang Nayaka.
"Kerja. Sudah setahun gak kerja," kata Nayaka membuat Bahana meletakkan dagunya di pundak istrinya itu.
"Tapi aku akan merindukanmu," bisik Bahana menggoda Nayaka.
"Ish, jarak rumah ke kantor juga sepertinya tidak jauh," sergah Nayaka sambil memicingkan matanya.
Bahana tertawa karena tak berhasil menggoda. Dia memutar tubuh Nayaka dan menatap matanya dalam. "Tapi benar. Aku tak akan bisa jauh darimu," gumam Bahana membuat pipi Nayaka bersemu merah.
Dering ponsel membuyarkan romansa mereka, keduanya tertawa mengingat Raka pasti sudah menunggu di depan.
Setelah memastikan barang mereka tak ada yang ketinggalan, Bahana menggandeng Nayaka keluar kamar. Menuju resepsionis.
Raka sudah menunggu di lobi dengan tak sabar. Karena dia sudah lapar. Tadi tak sempat sarapan karena permintaan Bahana untuk menjemput dengan segera.
Melihat dua sejoli yang kasmaran itu berjalan ke arahnya dengan senyum merekah membuat Raka mendesah. "Lama," keluh Raka menampilkan wajah cemberut.
"Bawel," sergah Bahana.
"Kita sarapan aja sekalian di sini," kata Nayaka membuat keduanya sepakat tanpa banyak debat.
Setelah membayar semua akomodasi mereka, ketiganya berjalan ke arah restoran di area luar, duduk melingkari meja.
"Yang habis nikah, pada klimis ya rambutnya," ledek Raka sambil tertawa.
Nayaka menahan malu, menundukkan wajahnya. Sementara Bahana menjitak kepala pemuda itu.
"Mbak Ka, tidak menyesal, kan memilih laki-laki yang kadang kurang ajar ini?" tanya Raka membuat Nayaka tersenyum. Dia tahu, Raka menggoda Bahana. Dia selalu seperti itu.
"Kalau menyesal, nanti aku dikembalikan ke Bali, Ka," timpal Nayaka membuat Bahana melotot.
"Kenapa kamu tanggapi bocah tengil ini," desis Bahana kesal.
Nayaka mengelus pipi Bahana lembut, membuat Bahana menggariskan senyum tipis dan melirik Raka yang kini kesal.
"Gak usah bermesraan di depan jomblo!" kata Raka kesal.
Ketiganya tertawa. Melepas sejenak penat yang terasa. Hari esok akan menjadi permulaan dari sebuah hari yang sesungguhnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/381100337-288-k357576.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
RomantizmNayaka bertemu dengan Bahana, masing-masing punya luka yang harus disembuhkan. Bisakah keduanya berdamai dengan luka masing-masing, dan bertaut satu sama lain?