"Kamu mau menunggu di sini?" tanya Bahana setelah Raka berangkat menjemput Gilang ke bandara.
"Boleh?" tanya Nayaka ragu.
"Kamu, duduk saja di sana. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku secepatnya," kata Bahana gemas. Bagaimana bisa Nayaka bertanya boleh menunggunya di sana, tentu saja boleh. Bahana sangat senang bisa terus melihat wajah istrinya itu langsung.
Nayaka mulai memainkan ponselnya, mencoba tidak mengganggu Bahana dengan menyibukkan dirinya sendiri.
Nares memutar handle pintu ruangan Bahana karena mendengar kabar kalau Raka sudah pulang, dia berasumsi maka Nayaka juga sudah pergi.
"Maaf," kata Nares terkejut, karena Nayaka masih duduk manis di sana, kini bahkan menatapnya tajam.
"Di mana sopan santunmu? Masuk ke ruangan orang lain tanpa mengetuk pintu?" geram Bahana.
"Maaf, saya tidak tahu kalau Bapak masih di sini," kata Nares gugup.
"Akan lebih mencurigakan kalau kamu masuk ke sini saat aku tak ada," kata Bahana membuat Nares mati langkah. "Aku tak akan mempermasalahkan hari ini, tapi bila kejadian ini berulang, aku tak akan segan untuk menskorsmu," ancam Bahana. Tatapan dingin Bahana membuat Nares mati kutu. Dia mundur dengan menahan geram.
Nares pergi dari sana dengan segera. Melampiaskan kekesalannya dengan berdiam diri di toilet. Menatap cermin di depannya dengan geram. "Apa aku kurang cantik?" Dia menepuk pipinya sendiri.
Nayaka gelisah, karena Nares bahkan berani masuk ke ruangan Bahana. Ini baru hari pertama kerja! Bahana yang tahu kegelisahan Nayaka, menghentikan segala kegiatannya. Menghampiri wanita yang mati-matian menutupi perasaannya itu.
"Kita pulang," kata Bahana mengulurkan tangannya, menarik Nayaka untuk berdiri.
"Apa, pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Nayaka ragu.
"Kamu, lebih penting," terang Bahana membuat Nayaka tersenyum kaku. Bahana gemas. Bagaimana bisa dia bersikap aneh seperti ini, hanya karena gelisah. "Ka, jangan khawatirkan dia," bisik Bahana memeluk Nayaka yang masih kikuk. Dia percaya kepada Bahana, tapi tidak dengan wanita itu. Nares pasti akan melakukan segala cara untuk mendapat perhatian Bahana. "Kamu, tenang saja, Gilang yang akan menjadi sekretarisku, dan dia tahu bagaimana mengatasi perempuan lancang seperti Nares. Do you trust me?" imbuh Bahana membuat Nayaka semakin menenggelamkan wajahnya di dada suaminya itu. Bahana mengelus punggung Nayaka untuk menenangkan. Sepertinya, dia harus membuat pengumuman resmi di kantor, kalau dia sudah beristri, sehingga kasak-kusuk dan para karyawannya bisa menjaga diri mereka untuk tak berharap mendekatinya. "Ayo pulang," bisik Bahana lembut, lalu menggandeng Nayaka keluar ruangannya. Mereka akan pulang dengan naik transportasi online.
Langkah tegap Bahana yang menggenggam erat tangan Nayaka, membuat semua karyawan berbisik-bisik. Pasangan yang sangat serasi, laki-laki tampang bersanding dengan wanita cantik.
Satpam buru-buru menghampiri Bahana. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya satpam itu membuat Bahana menggelengkan kepalanya.
"Saya sedang menunggu taksi. Tak apa, lanjutkan pekerjaanmu," kata Bahana membuat satpam itu mengerti dan pergi.
"Langsung pulang?" tanya Bahana disambut anggukan Nayaka.
"Aku lelah," desis Nayaka tak ingin ke mana-mana. Hatinya yang lelah.
"Iya," jawab Bahana sambil mengelus kepala Nayaka dengan sayang.
Taksi mereka datang, Bahana membukakan pintu dan melindungi kepala Nayaka dari bagian atas pintu mobil. Lalu menyusul masuk, duduk di samping wanitanya itu. Memberi tanda kepada sopir untuk menjalankan mobil.
"Are you okay?" tanya Bahana khawatir karena Nayaka berdiam diri.
"Im okay," desis Nayaka menyandarkan kepalanya ke bahu Bahana.
"Hei, jangan khawatir tentang Nares, jika itu membuatmu tak nyaman," bisik Bahana mengelus pipi Nayaka.
Wanita itu memejamkan matanya, berharap ketakutannya akan pergi. Tapi menghadapi kenyataan yang dia lihat tadi, betapa agresifnya Nares, membuat hatinya tak baik-baik saja. Tangan Bahana menggenggam erat tangan istrinya itu, memberi penguatan akan pernyataannya.
Nayaka gegas memasuki kamarnya, kemudian menghela nafasnya tak sabar karena perasaannya yang sedang tak karuan. Bahana mengunci kamar mereka, melonggarkan dasinya dan memeluk dari belakang, Nayaka yang berdiri di tengah ruangan.
"Ka," bisik Bahana lembut. Nayaka bergeming. "I do love you," imbuh Bahana membuat Nayaka berbalik dan membingkai wajah tampan Bahana.
"Kamu milikku," gumam Nayaka lalu mencium bibir Bahana dan melumatnya. Bahana menerima semua luapan perasaan yang mungkin sedari tadi dipendam oleh istrinya. Dia meraih tengkuk Nayaka dan membuat ciuman mereka semakin dalam. "Aku tak ingin mereka mendekatimu," desis Nayaka lirih. Hatinya sungguh bergemuruh melihat kenyataan, Bahana memancing perhatian wanita-wanita di luar sana. Dia tak ingin mereka menikmati apa yang seharusnya dia nikmati saat ini. "Aku, akan memastikan mereka tak mendekatimu dalam radius terdekat," geram Nayaka meloloskan semua pakaian yang Bahana kenakan. Jarinya meraba bekas jahitan luka itu, matanya menelisik setiap bekasnya, menciumnya dengan lembut. Memastikan luka itu tak akan berakhir sia-sia.
"Ka," desis Bahana dengan suara beratnya. Mengangkat tubuh Nayaka ke pelukannya, kembali mencium bibir Nayaka. "Im yours." Bahana membawa Nayaka ke tempat tidur.
"Aku, menginginkanmu, sekarang, melebihi segalanya," bisik Nayaka mengatakan semua yang dia pikirkan. Bahana mengangguk patuh. Membiarkan Nayaka meluapkan semuanya, dia tak akan menghentikan Nayaka. Baginya, semua kata yang Nayaka ucapkan, adalah akumulasi dari apa yang dipendam selama ini oleh wanitanya ini.
Nayaka begitu agresif sore itu, tak membiarkan Bahana memimpin setiap pergerakan mereka. Setelah semua emosi dan perasaannya tersalurkan, Bahana memeluk Nayaka dengan lembut. "Ka, aku tak akan pernah berpaling darimu," ucapnya seraya menenggelamkan wajahnya di dada Nayaka. Menciuminya dengan lembut. Nayaka mengelus kepala Bahana, matanya memperhatikan setiap gerakan laki-lakinya itu.
"Apa kamu mau, berkantor di ruanganku?" tanya Bahana membuat Nayaka menggeleng.
"Bukan seperti itu," desis Nayaka seraya menahan dirinya saat tangan Bahana mulai menelusuri tubuhnya lagi.
"Lalu? Kamu ingin bagaimana?" lanjut Bahana tanpa berhenti menciumi perut Nayaka.
"Berjanjilah untuk menjaga jarak dengan mereka," gumam Nayaka sambil menjambak rambut Bahana karena dia sudah membuat Nayaka merasakan gelenyar aneh di tubuhnya, reaksi atas semua ciuman dan sentuhan Bahana.
Keduanya memulai lagi gairah yang sempat hilang, kali ini Bahana yang melepaskan semua perasaannya dengan membuat Nayaka merasakan kenikmatan.
"I promise you, I will stay away from them," bisik Bahana. Kini mereka berpelukan, Nayaka menyembunyikan wajahnya di dada Bahana.
"Mandilah, kita makan malam setelah ini. Aku yakin Gilang akan segera datang," bisik Bahana sambil mengelus punggung Nayaka.
"I want it one more time," desis Nayaka masih ingin menikmati waktunya bergumul dengan suaminya itu.
"Hm ... Are you okay with that pain?" tanya Bahana menatap lembut mata Nayaka yang mengangguk. Abaikan semu merah di pipi Nayaka karena malu. Dia kembali mencium Bahana dan memulai lagi permainan mereka.
"Aku suka saat kamu seperti ini," kata Bahana setelah mereka selesai mandi.
Keintiman yang mereka lakukan sesorean itu membuat perut Nayaka berbunyi dengan sangat keras.
Harum sampo dan sabun menguar dari tubuh Nayaka yang sibuk mengeringkan rambutnya.
"Aku minta maaf," desis Nayaka memandang Bahana yang berdiri di sampingnya.
"Untuk?"
"Keposesifanku hari ini," kata Nayaka tak enak.
"Untuk apa minta maaf, aku menyukainya. Sangat." Bahana mengecup bibir Nayaka dan menggandengnya keluar kamar.
Gilang, Raka dan Mbok Ijah sudah menunggu mereka di meja makan.
"Untung mereka keluar, kalau tidak, kita akan kelaparan," goda Raka membuat pipi Nayaka merona.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
Lãng mạnNayaka bertemu dengan Bahana, masing-masing punya luka yang harus disembuhkan. Bisakah keduanya berdamai dengan luka masing-masing, dan bertaut satu sama lain?