Renjun yang memasuki kantor Jeno dengan tatapan penuh amarah. Setelah menerima kabar dan melihat langsung bukti perselingkuhan Jeno, hatinya terbakar. Bukan, bukan karena cemburu, namun karena rasa malu. Tanpa membuang waktu, ia mendekati Jeno dengan langkah tegas dan suara penuh kebencian. Renjun menatap Jeno dengan ekspresi tajam, wajahnya memerah karena emosi yang terpendam.
"Kau benar-benar menjijikkan, Jeno. Apa kau pernah berpikir tentang kehormatanmu? Tentang keluarga kita?"
Jeno, yang duduk dengan ekspresi dingin dan acuh, hanya melirik sekilas ke arah Renjun. Selama ini mereka berdua jelas paham jika hubungan mereka tak lebih dari sekadar status. Jeno menghela napas dan menjawab dengan nada malas.
"Keluarga? Renjun, sejak kapan kita menjadi keluarga yang sebenarnya? Kau bahkan tak pernah mengurus Ryo. Jangan membuatku ingin tertawa.."
Renjun terdiam sejenak, merasa diserang dengan kenyataan yang menyakitkan. Namun, egonya terlalu tinggi untuk mengakui kesalahannya. Renjun mengangkat dagu—angkuh, berusaha menunjukkan kendali diri, meski hatinya semakin marah.
Jeno menambahkan dengan nada tajam.
"Haechan jauh di atasmu, Renjun. Setidaknya dia memang menyayangi Ryo."
Ucapan itu seperti memercikkan bensin ke dalam api kemarahan Renjun. Matanya berkilat penuh kebencian, dan ia tidak lagi menahan dirinya.
"Kau yakin? Bukankah guru miskin itu hanya menginginkan uangmu saja? Aku tidak akan pernah percaya ucapanmu yang mengatakan jika Haechan menyayangi Ryo! Aku ibunya, dan aku juga menyayangi Ryo! Aku akan memastikan dia merasakan akibat dari semua ini."
"Ibu macam apa yang pergi meninggalkan anaknya untuk tinggal bersama pria lain? Malulah pada dirimu sendiri, Renjun.."
Renjun berdecak kemudian berbalik, berniat mencari Haechan untuk mengungkapkan kemarahannya secara langsung. Kepergian Renjun hanya meninggalkan Jeno yang kini terdiam, namun dalam hatinya Jeno sadar bahwa ia tidak berniat menyerah. Perasaannya pada Haechan bukan sekadar pelarian. Ia tidak akan membiarkan siapa pun, bahkan Mark, untuk merebut Haechan darinya.
---
Taman Kanak-kanak yang begitu disukai oleh Haechan kini tidaklah lagi terasa sama. Hari ini merupakan hari terakhir Haechan, Haechan benar-benar dipecat dan kini Haechan harus menghadapi tatapan tajam dari rekan kerja dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan ketika berita tentang kehamilannya telah tersebar--yang Haechan sendiri tidak tahu bagaimana caranya, orang-orang mulai bergosip tentang siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Suasana di sekolah tersebut penuh dengan bisikan yang mana sebagian besar menghakimi serta menuduhnya sebagai orang yang tidak tahu malu.
Dalam kondisi yang sudah begitu tertekan, Haechan merasa semakin rendah diri. Ia merasa terasing dan tak ada lagi tempat berlindung. Di saat inilah Ningning datang, pura-pura menunjukkan simpati dan kembali mencoba "menghibur".
Ningning menepuk pundak Haechan dengan senyum lembut yang palsu.
"Haechan, aku tahu ini berat bagimu. Tapi kau harus kuat, setidaknya untuk bayimu. Tidak ada yang berhak menghakimimu, meski semua orang sedang... ya, tahu sendiri."
Ucapan Ningning hanya membuat Haechan semakin tenggelam dalam rasa malu. Ia menunduk, tak mampu menatap mata Ningning, percaya bahwa Ningning adalah satu-satunya teman yang tersisa.
"Terima kasih, Ning. Aku... aku tak tahu bagaimana harus melanjutkan ini."
Ningning mengangguk, mengusap lengan Haechan dengan lembut. Dalam hatinya, ia bersorak dan merasa senang melihat Haechan hancur. Saat Haechan pergi, senyum dingin terbentuk di bibirnya. Ningning tahu bahwa ia telah berhasil membuat Haechan menderita seperti yang ia inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING RING [END]
FanfictionHaechan mencintai Mark, begitupun sebaliknya. Namun, terkadang kata cinta tidaklah cukup untuk membuat segalanya lebih baik. Haechan hanya kesepian. Mark berjanji akan membahagiakan Haechan, seperti terucap dalam janji sucinya kala menyematkan cinc...