Bram kembali ke kantor yang sebagian besar sudah gelap. Di tangan Bram, ia membawa sebuah kotak besar berisi empat gelas kopi. Karena malam ini tim marketing perlu melakukan lembur, Bram jadi berinisiatif untuk membelikan kopi bagi para karyawan yang lembur untuk membuat mereka lebih bersemangat.
Sebenarnya sebagai manajer umum, Bram tidak berkewajiban menemani divisi pemasaran untuk lembur. Namun tidak seperti reputasi Kevin di perusahaan yang kurang baik—karena sifatnya, di kalangan karyawan Bram punya reputasi yang jauh lebih baik karena terkenal ramah dan mengayomi para karyawan dengan ramah.
"Kok sendirian? Sherly sama Arga di mana?" tanya Bram kepada Henny sembari meletakkan kopi di atas meja bundar yang dipakai divisi marketing untuk lembur.
Henny tampak terkejut dengan kehadiran Bram, dia tak menyangkan Bram akan ikut lembur. Henny langsung mengalihkan pandangannya dari laptop kantor yang ada di meja dan menatap Bram canggung.
"Mereka ke lantai dua puluh ambil berkas-berkas," jawab Henny. "Bapak sendiri kenapa nggak pulang?"
"Kalau ditambah aku kan kerjaan kalian bisa cepat selesai. Lagi pula lumayan, kan? Aku jadi bisa ngasih sedikit saran sebelum kalian menghadap Pak Kevin besok."
"Iya tapi tetap saja saya merasa tidak enak karena ini kan sebenarnya bukan kewajiban Bapak," kata Henny.
Bram mengembuskan napsanya, dia pun duduk di kursi terdekat dari tempat Henny duduk. "Aku mohon jangan begini, Kak. Kita gak secanggung itu dulu kan. Aku akuin aku salah, aku gak seharusnya ngomong gitu ke Kak Henny, aku terlalu ceroboh, tapi ayolah, aku juga gak nyaman kalau kita jadi secanggung ini. Aku juga kan gak maksain apa pun kan ke Kak Henny, kenapa sebegitunya ngehindarin aku?" tanya Bram, raut wajahnya tampak memelas.
"Maaf, aku gak mengerti maksud Bapak apa. Lagi pula ini di kantor, tolong jangan bawa bahasan pribadi ke sini," kata Henny, menghindari tatapan Bram.
"Kenapa gak boleh? Kita sekarang cuma berdua. Kak Henny juga pasti paham apa yang aku bahas." Raut wajah Bram tampak frustrasi. "Ayolah, aku perlu ngobrol sama Kak Henny bukan sebagai atasan dan bawahan."
"Aku rasa jawabanku waktu itu udah jelas kan, Pak. Setelah itu aku cuma coba bersikap profesional aja." Henny berkilah. Tak seperti Bram yang menatap Henny langsung, wanita itu menatap ke sembarangan arah dan memalingkan tatapannya dari Bram.
"Gak bisa ya kalau Kak Henny nganggep semua itu gak pernah terjadi dan ngembaliin hubungan kita seperti sebelumnya? Santai dan gak canggung?"
Henny menggeleng cepat. Menolak tegas permintaan Bram.
"Tapi—"
"Loh ada Pak Bram?" tanya Arga yang tiba-tiba datang ke ruangan tersebut sersama dengan Sherly sembari membawa setumpuk berkas.
Bram langsung berdiri dan sedikit menjauh dari Henny. Gelagatnya tampak canggung. "Iya, ini aku bawain kopi biar lemburnya gak ngantuk. Sekalian bantu-bantu biar kalian juga bisa cepet pulang," kata Bram.
"Oh iyakah? Pak Bram baik banget, deh," kata Sherly.
Bram tersenyum canggung. Sayang sekali, sudah mencari kesempatan dalam kesempitan pun, Henny tampaknya benar-benar tak akan mengubah pikirannya. Bram merutukki dirinya, waktu itu, ia benar-benar bertindak bodoh.
***
Masih seperti kemarin-kemarin, Sueny datang sebelum jam sembilan dan langsung duduk manis di tempatnya. Sueny rasa Kevin belum datang karena melihat lampu di depan ruangannya tidak menyala. Sueny rasa lampu itu bisa menandakan kedatangan Kevin karena bosnya itu sepertinya punya kebiasaan menyalakan lampu di depan ruangannya. Sueny memeriksa jadwal Kevin hari ini, tampaknya cukup longgar karena tidak ada meeting atau kunjungan kerja, hanya ada persiapan untuk rapat direksi saja lusa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SS] - Touch the Cold Boss [On Going Revisi]
ChickLit"Aku ingin menyentuhnya. Menyentuh hatinya." Sueny Anya Saputro, anak konglomerat terpandang yang bersikeras ingin bekerja menjadi seorang sekretaris. Dalam bayangan Sueny, semuanya akan mulus-mulus saja. Bosan menjadi pengangguran dan bergaya ingi...