Bangku yang Aksa tempati berderak nyaring. Mungkin karena terlalu lama tidak diganti. Sekali bergerak, suaranya keras menyeruak.
"Bu, bagi segelas, dong!" seru laki-laki itu lantang. Ibu Sri balas berteriak. Aksa tergelak.
Karena terlalu sering berada di sini, Aksa nyaris hafal bagaimana cara memesan agar terdengar normal untuk tempat berandal. Sekiranya hanya di sini.
Siku Aksa ditumpu ke meja selagi matanya memerhatikan setiap detail sudut tempat ini. Jajanan berjejer sedikit di depan, snack menggantung sembarangan, minuman gelas ditaruh berantakan, kulkas setengah rusak dibiarkan terbuka.
Warung belakang sekolah terlalu asing untuk anak ambis dan pengejar nilai A. Orang-orang itu jelas lebih suka tempat-tempat yang legalitasnya terjamin daripada kawasan semi kumuh. Meski bukan berarti tempat ini termasuk kawasan SMA, kebanyakan anak rajin sadar untuk memilih tidak bergabung dengan sekumpulan murid bebal daripada coba-coba datang berakhir kena mental.
Aksa tidak pernah melabel tempat ini khusus anak IPS, meski kebanyakan memang berasal dari sana. Tempatnya berseberangan dengan gedung kelas IPA, dan tepat terhalang satu pagar besi tua dengan kelas IPS. Meski begitu, tetap saja sebagian besar berandal kelas IPA rela datang untuk satu-dua kali bolos. Kebanyakan dari mereka bahkan lupa daratan dan tiba-tiba datang untuk mengudeta.
Cowok dengan setelan kalung hitam menggantung di leher itu mencomot rokok dari isi saku seragam, setelah sebelumnya disembunyikan aman sampai bolos ke sini. Yah, sama seperti sekolah lain, SMA Nusa Bangsa masih cukup waras untuk melarang anak didiknya mengonsumsi barang-barang macam ini. Cuma masalahnya, tidak semua murid mau menaati, pihak sekolah juga kadang tidak tahu-menahu. Jadi dia pikir tidak ada salahnya.
"Mau ngerokok di sini, Mas Aksa?" Laki-laki itu menoleh begitu terdengar suara Bu Sri—pemilik warung.
"Iya, Bu. Emang udah gak boleh?" Aksa nyengir. "Pinjem korek, Bu."
"Enggak." Wanita setengah jompo itu memberikan satu korek yang diminta dan minuman yang dipesan. "Cuman jangan sampai ketahuan aja. Nanti Ibu dimarahin lagi."
Aksa tidak bilang apa-apa, tapi kepalanya kontan mengangguk paham.
Sudah dua bulan lalu setelah kejadian waktu itu. Ibu Sri harus menanggung malu karena ketahuan menjual rokok ke area sekolah. Akibatnya, warung nyaris di tutup dan anak-anak gak punya tongkrongan bolos. Untung saja Bu Sri datang tepat waktu untuk memohon. Jadilah warung masih dibuka. Sepertinya mereka harus bersyukur untuk kebaikan kepala sekolah dengan tidak menutup warung tempat bolos tersebut. Pria paruh usia itu masih sadar anak tercintanya sering keluyuran menyesap nikotin, setidaknya sebelum kasus penganiayaan itu mencuat ke publik.
Ibu Sri memperbolehkan merokok dengan catatan membawa sendiri dan berjaga-jaga. Jadi mereka masih bebas keluar bolos sampai sekarang. Kadang wanita itu sama bebalnya dengan sekumpulan murid brengesek. Untung saja kawasan ini cukup tersembunyi dan jarang diselidiki.
Rokok itu akhirnya Aksa selip di bibir, korek api digesek, sebelum akhirnya diterima ujungnya, asap mengepul di udara setelah terhisap dan keluarkan.
Polusi bukan apa-apa kecuali kalau sakit kronis.
"Goblok lo, Sa!"
Cowok itu menoleh lagi mendengar suara setengah mendesah kelelahan.
"Apanya?"
"Lo, tolol! Udah, deh gak usah pikun gitu. Najis gue dengernya."
Aksa tergelak kedua kalinya. Oji lebih lawak setelah kesusahan membebaskannya dari guru sejarah. Sebagai gantinya dia yang terjebak cukup lama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Abu-Abu Kelabu
Teen Fiction[ON GOING, UPDATE SEMINGGU SEKALI] Besok adalah sesuatu yang tidak pernah benar-benar kita ketahui. Mungkin itulah yang membuat Cia penasaran. Tentang apa pun, tentang siapa pun. Tentang Aksa. Meskipun itu berarti ketidaktahuan. Sekalipun bertaruh d...