• Abu-Abu 03: Belakang Sekolah

8 1 0
                                    

Aksa

Bangku yang gue tempati berderak nyaring. Mungkin karena terlalu lama gak diganti. Sekali bergerak, suaranya keras menyeruak.

"Bu, bagi segelas, dong!" seru gue lantang. Ibu Sri balas berteriak. Gue tergelak. Karena terlalu sering berada di sini, gue nyaris hafal bagaimana cara memesan agar terdengar normal untuk tempat berandal. Sekiranya hanya di sini.

Siku gue ditumpu ke meja selagi mata gue memerhatikan setiap detail sudut tempat ini. Jajanan berjejer sedikit di depan, snack menggantung sembarangan, minuman gelas ditaruh berantakan, kulkas setengah rusak dibiarkan terbuka.

Warung belakang sekolah terlalu asing untuk anak ambis dan pengejar nilai A, mereka lebih suka tempat-tempat yang legalitasnya terjamin. Meski bukan berarti tempat ini termasuk kawasan SMA, warung belakang sekolah sudah santer diisi cowok nakal dan sebagian murid malas.

Gue gak pernah melabel tempat ini khusus anak IPS, meski memang sebagian besar dari kelas ini karena tempatnya berseberangan dengan kelas IPA, tapi tentu saja anak-anak "rajin" dari sana butuh kebebasan. Gak jarang berandal IPA lebih brutal dari cowok-cowok kelas gue.

Gue mencomot rokok dari isi saku seragam, setelah sebelumnya disembunyikan aman sampai bolos ke sini. Yah, sama seperti sekolah lain, SMA Nusa Bangsa masih cukup waras untuk melarang anak didiknya mengonsumsi barang-barang macam ini. Cuma masalahnya, gak semua murid mau menaati, pihak sekolah juga kadang enggak tahu-menahu. Jadi gue pikir gak ada salahnya.

"Mau ngerokok di sini, Mas Aksa?" Gue menoleh begitu terdengar suara Bu Sri-pemilik warung.

"Iya, Bu. Emang udah gak boleh?" Gue nyengir. "Pinjem korek, Bu."

"Enggak." Ibu itu memberikan korek yang diminta dan minuman yang dipesan. "Cuman jangan sampai ketahuan aja. Nanti Ibu dimarahin lagi."

Gue mengangguk paham.

Sudah dua bulan lalu setelah kejadian waktu itu. Ibu Sri harus menanggung malu karena ketahuan menjual rokok ke area sekolah. Akibatnya, warung nyaris di tutup dan anak-anak gak punya tongkrongan bolos. Untung saja Bu Sri datang tepat waktu untuk memohon. Jadilah warung masih dibuka. Sepertinya kami harus bersyukur untuk kebaikan kepala sekolah. Pria paruh usia itu masih sadar anak tercintanya sering keluyuran menyesap nikotin, seenggaknya sebelum kasus penganiayaan itu mencuat ke publik.

Ibu Sri memperbolehkan merokok dengan catatan membawa sendiri dan berjaga-jaga. Jadi kami masih bebas keluar bolos sampai sekarang. Kadang wanita itu sama bebalnya dengan murid brengesek. Untung saja kawasan ini cukup tersembunyi dan jarang diselidiki.

Rokok itu akhirnya gue selip di bibir, korek api digesek, sebelum akhirnya diterima ujungnya, asap mengepul di udara setelah terhisap dan keluarkan.

Polusi bukan apa-apa kecuali kalau sakit kronis.

"Goblok lo, Sa!"

Gue menoleh lagi mendengar suara setengah mendesah kelelahan.

"Apanya?"

"Lo, tolol! Udah, deh gak usah pikun gitu. Najis gue dengernya."

Gue tergelak kedua kalinya. Oji lebih lawak setelah kesusahan membebaskan gue dari guru sejarah. Sebagai gantinya dia yang terjebak cukup lama.

"Yaelah, dendaman amat, lo. Gue udah beliin teh dingin, nih. Minum, sana!" Ucap gue dengan sisa tawa. Oji mengambil meski setengah enggan.

Suara tegukan beberapa saat mengganggu.

"Gila Pak Dandang lama banget sih. Ngomong terus buset, dah. Mana paham gue, yang ada ngantuk masa?"

"Derita lo, Ji!"

Abu-Abu KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang