• Abu-Abu 06: Krisis Band Sekolah

1 0 0
                                    

"Lo gak apa-apa, Bim?"

"Bim?"

Derum motor lantang berseru selagi roda-rodanya membawa mereka berdua pergi dari lingkup riuh sekolah. Jalanan tengah malam sepi. Membuat laki-laki yang sedari tadi Cia tanyai bergeming, menyisakan asap kenalpot dan pertanyaan gadis itu yang entah sudah terbang ke mana.

"Kalau lo—"

"Gue gak apa-apa, Cia."

Nada suara itu, Cia bisa merasakan bukan pertanda baik.

"Gue gak kenapa-napa. Lo tenang, oke?"

Gadis itu mengangguk meski setengah hatinya emggan. Laki-laki itu tidak baik-baik saja, bagaimanapun. Gadis itu bisa merasakan getar kecil di balik tenggorokan kering Bima yang keluar bersama sederet kalimat penenang lima detik lalu.

"Lo yang harusnya tenang," balas Cia menghela napas.

Gadis itu mengalihkan pandang ke sisi kiri. Berusaha mengabaikan prasangka kalau Bima mendengar kalimat putus asanya dan akan semakin tidak tenang sehabis membalas ucapannya.

Gadis itu memilih melirik jalanan dari samping yang sepi entah kenapa. Jakarta selalu berisik. Kota ini tidak lebih dari hamparan gedung dan uap panas, jalanan padat melintang, urusan-urusan klasik sampai kecurangan-kecurangan samar yang rasanya tidak mengusik. Meski sesekali suara motor dan mobil-mobil besar melintas, tiang-tiang dan lampu-lampu jalan bersemarak, entah kenapa Jakarta malam ini terasa lebih tenang untuk bergerak ke segala arah.

Cia berani menatap ke depan kembali setelah satu kali gemuruh terdengar dari selatan langit, mengingatkannya kalau hujan sebentar lagi turun meski gadis itu ingat persis dua jam sebelumnya bulan masih benderang di langit malam.

Gadis itu mendesah mengingat kejadian apa saja yang baru saja mereka berdua alami sebelum berada tepat di atas jok motor di tengah jalan.

Sejujurnya, Cia tidak paham kenapa dia dan berandalan itu tiba-tiba saling memaki dan saling menghabisi lewat kata-kata. Cia tidak paham kenapa laki-laki itu bisa dia temui sedang merokok di tengah lorong, tidak paham kenapa laki-laki itu bisa lebih beringas waktu bersitatap dengan raut Bima di ujung perdebatan.

Bagaimanapun, Cia masih ingat bagaimana kalimat terakhir laki-laki itu berhasil membuat mereka berdua terdiam cukup lama sebelum akhirnya tersadar dan segera membopong Bima ke UKS setelah luka pukul di perut dan rahangnya berdenyut nyeri.

Cia bukan anak remaja bodoh, dia tahu laki-laki itu tidak mungkin bicara asal-asalan, apalagi waktu amarahnya tersulut sedemikian besar. Setelah dicaci di dan dipukul beberapa kali. Tapi entah kenapa Cia berusaha paham cowok itu bukan siapa-siapa selain berandal gila perusak sekolah.

Cia tidak yakin laki-laki itu pernah ikut band sekolah bersama Arvin dan Dimas, tapi dia cukup yakin kalimat cowok itu berhasil membuat kesadaran Bima terguncang. Karena mau setidakpercaya apa pun, Bima tetap bisa masuk band sekolah setelah katanya seseorang memutuskan mengundurkan diri.

"Cia."

Gadis itu mengerjap tiba-tiba. Suara Bima cukup keras mengagetkannya.

"Kenapa?"

"Lo tadi gak di apa-apain kan sama dia?"

Gadis itu terdiam sejenak sambil memerhatikan pantulan Bima di sepion. Cia nyaris mengkhawatirkan Bima sepanjang malam tanpa peduli keadaannya sekarang.

"Gue baik-baik aja. Dia gak ngapa-ngapain, kok."

"Dia gak nyentuh lo, kan. Cowok brengsek itu, dia gak seberani itu, kan?" Bima menghela napas. "Gue takut lo kenapa-napa."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Abu-Abu KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang