• Abu-Abu 01: Sore dan Gerimis

19 3 0
                                    

Hujan tinggal menyisakan rintik saat abu-abu pudar dan kilatan kecil beberapa kali bercak bersuara. Musim hujan sudah berlangsung beberapa bulan lalu, tapi Cia baru merasakan dampaknya akhir-akhir ini.

Biasanya, kalau titik air turun dari langit, Cia tinggal menarik gorden dari kamar lalu membuka jendela sampai angin kecil masuk. Cia selalu suka hujan. Tapi mungkin hujan badai beberapa waktu lalu pengecualian. Tidak ada yang mengira Jakarta ketumpahan air sederas ini. Satu jam sebelum bel masuk berbunyi, semuanya yakin sinar matahari masih layak untuk berjemur, hingga mungkin tiga puluh menit melelahkan berikutnya, titik awan gelap bermunculan, lalu begitu saja angin besar membawa hujan paling mengerikan.

Walau durasinya pendek, hampir semua siswa terdengar merengek.

Tapi memang begitulah keadaan membuat manusia terdesak. Apalagi, badai dan Jakarta bukan perpaduan yang pas untuk cewek-cowok manja, sekiranya menurut Cia. Sekalipun itu berarti bicara tentang dirinya sendiri

Dan beginilah Cia sekarang, berdiri di ambang hujan dan atap konter. Tangannya terjulur menyentuh air dari udara sampai mati rasa, sepatunya nyaris basah karena benturan hujan ke tanah, matanya terkunci ke langit. Gerimis masih menyerbu sampai akhirnya suara seseorang terdengar.

"Bak, ada yang bisa dibantu gak?"

Gadis itu menoleh kebelakang, laki-laki yang bersuara berdiri di balik etalase mengernyit, beberapa meter ke belakang, laki-laki lain yang diperkirakan usia dua luluh tahun sedang duduk mengotak-atik ponsel rusak, sementara di tempat lain-di luar konter-tepat di kursi yang tersedia, empat orang dewasa terduduk lesu menunggu.

Oh hampir lupa, satu perempuan berdiri dengan ponsel di telinga, menelpon entah siapa dengan wajah gelisah seperti kebingungan. Seperti Cia beberapa jam lalu.

Konter ponsel penuh orang-orang, dan dia hanya tersenyum kikuk ketika dipanggil.

"Ada, Mas!" Gadis itu menyerbu ke depan setelah mengerti orang-orang ini sudah dari tadi menyelesaikan urusan mereka. Sedikit ngacir ketika laki-laki konter itu berdecak.

"Dari tadi saya panggil-panggil gak nyaut."

Cia hanya tersenyum bodoh. Ternyata lamunannya makan waktu. "Sorry.."

"Ck, udah lah." Galak banget masa? "Kenapa handphone-nya?"

"Ini ponselnya-"

"Remuk?"

Kok dia tahu si?

Sementara Mas-Mas konter galak itu menunjuk ponselnya yang sudah terlihat tidak bisa diapa-apakan lagi, Cia berdecak pelan. Sebenarnya kalau dibilang ponsel itu tidak benar-benar rusak. Ponsel itu hanya terbentur ke lantai, tergeser beberapa meter, kemudian terbentur lagi ke lantai bawah dengan keras, dan akhirnya terkena air deras.

Jadi Kalau menurut Cia, benda itu lebih ke babak belur daripada remuk. Dan intinya, dia sudah tidak berharap banyak.

"Ini masih bisa nyala gak, Mas?" tanya Cia sambil menyerahkan ponsel itu.

Sementara tangan Mas konter merayap mengambil ponselnya, sebelum kemudian mengotak-atik beberapa saat, mata gadis itu sudah bolak-balik memerhatikan seisi konter yang tidak terlalu besar itu. Peralatan perbaikan berserakan di mana-mana, kontras dengan barang-barang jualan tertata rapi. Casing di gantung di dinding, charger berdebu di taruh di paling bawah, ponsel keluaran baru ditata rapi supaya terlihat mewah. Konter ini terlalu sederhana untuk pengunjung yang hilir-mudik minta perbaikan.

"Ini masih bisa nyala, tapi butuh waktu buat benerinnya lagi sampai bener-bener berfungsi, emang Mbak tadi di sekolah jalan gak bener apa?"

"Bukan saya, loh, Mas."

Abu-Abu KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang