• Abu-Abu: Prolog

74 6 0
                                    

Langit meledak persis untuk ke dua kalinya hujan memborbardir kota.

Bel berdenting nyaring tujuh detik sebelumnya. Murid-murid di luaran kelas memekik panik. Angin kencang menerjang. Udara dingin menyerang. Yang lain segera mengangkat tangan dan berdoa perlindungan segera datang selagi atap koridor belum merosot dan bersuara lantang.

Angin kembali membawa hujan. Koridor lantai atas nyaris menggenang.

"Woi hati-hati!"

Air muncrat lebih deras dari langit selagi Cia berhenti dan menoleh. Yang berteriak sudah pergi entah ke mana. Matanya menatap sekeliling, koridor sudah semi hancur semenjak hujan deras menyerbu Jakarta. Titik air sebesar butir pasir menyasar baju. Cia masih menanti panggilan dari ponsel, berharap ada getaran dari sana sambil berharap panik, meski itu bukan ide bagus. 

Atap sekolah mendadak bocor, sekarang yang tersisa hanya hiruk-pikuk hujan dan keramaian.

Lima menit kemudian Cia kembali menatap ponsel, pikirannya hampir buyar. Mama ke mana sih?

Kalau saja nomor kontak yang berusaha dia hubungi segera mengangkat, mungkin sekarang Cia tidak perlu saling desak dengan orang-orang takut petir atau apa pun yang membuatnya harus kerepotan seperti saat ini. Tapi itulah masalahnya.

Mama tidak bisa dihubungi.

Diam-diam Cia menggerutu. Kalau gak bisa dihubungin kenapa tadi nelpon?

Akhirnya dia menyerah. Dengan setengah berlari Cia kembali menuju kelas. Berusaha tidak peduli wajah-wajah sanksi orang-orang menyuruhnya menyingkir dan tidak menabrak. Persis setelah cahaya petir sedetik membutakan mata, siswi-siswi berteriak panik. Cia tidak sempat berhenti, ikut berteriak.

BRUK!

Tapi itu suara tabrakan, suara ledakan dua detik kemudian. Cia langsung tersungkur jatuh. Kakinya mendadak sakit, seragamnya basah. Sementara orang yang masih bertahan seolah tidak terguncang apa pun. Cia baru menyadari kalau sekarang sedang berada di ambang tangga, koridor mendadak dikerumuni orang-orang ingin membantu, sementara yang lain berbisik-bisik mencari tahu.

"Hati-hati makanya!"

"Bukannya lo—"

Cia tidak meneruskan ucapannya, lanjut mengerang. Sekarang masalahnya bukan itu. Mendadak kepalanya reflek menoleh ke tangan kanan—ponselnya jatuh, tapi seolah itu belum cukup, ponsel itu jatuh dan menghantam lantai bawah keras. Gadis itu segera bangun, meraih pembatas koridor antara lantai dengan ketinggian, dan hal paling dia takuti terjadi begitu saja.

Ponselnya sudah semi remuk.

Berantakan.

"Hp Gue..."

Kali ini Cia benar-benar gak
bisa menghubungi Mama. Dia mengerang setengah marah.

"Sorry."

"Sorry." Cia menoleh, benar-benar marah. "Sorry lo bilang? Ponsel gue remuk, dan lo cuma bilang sorry?"

"Hah? Tapi gue gak-"

"Lo gak bisa jalan hati-hati apa? Hp gue rusak," seru Cia. " Sekarang lo ambil!"

"Gue enggak—bukannya lo yang jalannya gak hati-hati?"

"AMBIL!"

Si penabrak—yang ternyata seorang cowok—hendak protes dan menolak. "Denger. Gue lagi buru-buru dan—"

"Gue gak peduli. Cepetan ambil!" Gadis itu sudah hampir bergerak maju. Amarah naik ke ujung kepala waktu si pelaku malah tersenyum seolah bukan apa-apa. "Lo emang—"

"AKSA!"

Waktu itu Cia tersentak. Suara Bu Adis tiba-tiba menggema selagi hujan mengguyur, mengalahkan ribut angin badai. Suara yang membuatnya menyadari ada sesuatu dengan laki-laki itu. Dia terlihat santai, bahkan terlalu santai, seragamnya acak-acakan, dengan kancing paling atas tidak dikaitkan, mulutnya menekan melonggar mengunyah permen karet, tubuhnya tinggi, rambut yang gak terlalu panjangnya sengaja diberantaki, tapi bukan itu point yang dia perhatikan, ada sesuatu yang membuatnya untuk beberapa detik terdiam, sesuatu ketika dia tersenyum. Seolah menantang sesuatu.

Suara Bu Adis terdengar lagi, dan nama Aksa Argantara berdesakan dengan nada khawatir takut hujan tidak akan berhenti.

"Gue duluan, kapan-kapan ketemu lagi."

Cia reflek menoleh, yang terakhir dia lihat darinya adalah bagaimana cengiran menyebalkan itu sampai tampak gingsul di sisi kiri dan kanan. Saat itulah dia sadar sudah kehilangan cowok itu. Kelepasan. Gawat.

"Lo gak boleh pergi!"

Terlambat. Laki-laki itu sudah pergi entah ke mana. Berlari kencang meninggalkan jejak sepatu di lantai sejauh beberapa langkah. Meninggalkan dia dan Bu Adis yang lari terengah-engah.

Sial!

Cowok gila itu sudah menghilang tanpa hukuman. Cia nyaris marah-marah dan hendak mengembalikannya ke tempat semula kalau tidak ingat satu hal.

Gadis itu kembali mengarahkan pandangan ke lantai bawah dengan segera. Dan kepanikan baru muncul. Ponselnya kembali hilang.

Benar-benar lenyap.

Cia menelan ludah. Ini sudah kelewatan. Cowok itu benar-benar gila!

"Cia."

Persis setelah suara yang sangat familiar itu terdengar, gadis itu tersentak untuk kedua kalinya. Amarahnya nyaris hilang. Bahkan beberapa detik kemudian benar-benar hilang. Tidak jauh dari posisinya terdiam, Bima berdiri dengan raut tidak tenang.

Satu-satunya yang membuat Cia yakin kenapa Bima begitu, karena ponselnya ada di tangan cowok itu.

°°°°

Abu-Abu KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang