8

6 2 0
                                    

"Sejak kapan?" Suara Dyo seperti pedang yang menusuk. Yunda semakin tersedu saat kakaknya tampak menahan amarah yang begitu dalam.

"Maaf, Mas. Nggak seharusnya aku rahasiain ini dari Mas. Tapi itu permintaan Bunda...."

Dyo mengacak rambutnya frustrasi, masih segar di ingatannya saat Bunda mengalami henti jantung. Dyo tak bisa membayangkan jika hal paling buruk terjadi pada Bunda. Shira ingin mengusap pundak Dyo menenangkan, namun urung. Tangannya hanya terangkat di udara.

Bangkit, Dyo berjalan keluar. Menenangkan dirinya sendiri.

Yunda segera menggenggam tangan Shira. "Tolong temenin Mas Dyo, Mbak. Dia pasti syok banget," ujar Yunda dengan suara bergetar.

Shira mengangguk dan meremas bahu Yunda. "Kamu yang kuat ya."

Shira kemudian berjalan menyusul Dyo. Dyo duduk di bangku taman rumah sakit dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Shira tak menyangka bisa melihat sisi Dyo yang serapuh ini. Shira lalu perlahan duduk di samping pria itu.

Taman rumah sakit tampak sepi. Hanya ada beberapa pasien yang menggunakan kursi roda ditemani wali mereka termenung menikmati ketenangan di tengah hiruk-pikuk kota Seoul. Memandang langit yang mulai berubah warna, menunjukkan semburat oranye dan merah muda. Burung-burung berkicau pelan, menciptakan suasana yang damai.

Shira memberanikan diri menepuk pundak Dyo menenangkan. Diliriknya Dyo yang mulai agak tenang, Dyo menghapus air matanya yang basah kemudian kembali mengenakan kacamatanya.

"Shira," suara berat Dyo memecah keheningan, "gimana kalau...."

Shira menoleh, menatap mata Dyo yang serius. "Kenapa, Mas?"

Dyo menarik napas dalam-dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian. "Saya tahu ini agak gila, tapi ... gimana kalau kita menikah?"

Kata-kata itu menggantung di udara, menimbulkan keheningan yang mendadak. Shira terdiam, tidak yakin apakah dia mendengar dengan benar. "Nikah?"

Dyo mengangguk pelan. "Bunda ... Bunda bilang dia mau liat aku nikah, bahagia, punya pasangan. Saya tahu ini mendadak, tapi ini mungkin satu-satunya cara buat memenuhi keinginan Bunda."

Shira merasakan berbagai emosi berkecamuk dalam dirinya. Rasa iba, kebingungan, dan ketidakpastian. "Tapi, Mas ... kita baru kenal baru-baru ini dan belum bener-bener saling tau satu sama lain. Ini kayaknya mendadak banget."

Dyo tersenyum lemah, tatapannya penuh penyesalan. "Kamu bener. Sorry, saya nggak berpikir jernih. Nggak papa, lupain aja."

Shira melihat kesedihan di mata Dyo. Shira menggenggam tangan pria itu menguatkan. Dyo menarik tangannya kembali, mengguncang kepalanya. "Sorry ya, lupain aja apa yang saya bilang tadi. Kamu punya kehidupan sendiri, impian kamu sendiri. Nggak seharusnya saya melibatkan kamu dalam hal ini."

Shira terdiam, rasanya benar-benar campur aduk. Baru kemarin ia seolah membenturkan diri agak tersadar tidak terbawa perasaan pada Dyo dan menjauhi harapan, hari ini secara mendadak Dyo melamarnya. "Mas..."

Dyo tersenyum tipis, berusaha menenangkan suasana. "Sekali lagi saya minta maaf. Anggap aja saya nggak pernah bilang itu ya."

Mereka berdua terdiam, membiarkan angin sore membawa pergi kata-kata yang sempat terucap. Kendati perasaan keduanya tidak sepenuhnya tenang. Shira jelas tak bisa menghapuskan lamaran Dyo dari pikirannya.

Sekitar jam 9 malam, Bunda sadarkan diri dan sudah bisa dijenguk. Dyo dan Shira memasuki kamar rumah sakit dengan langkah pelan. Bau antiseptik dan suara mesin medis memenuhi udara. Di ranjang, Bunda terbaring lemah, senyum tipis menyambut mereka saat melihat kedatangan mereka. Sementara Yunda, segera memeluk sang Bunda.

DREAMS & VOWS: Seoul EditionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang