Alur Kehidupan Kita

9 1 0
                                    

Biar ku ceritakan sebuah kisah tentang kita. Tentang bagaimana semesta mempertemukan dan memisahkan tanpa alasan.
~ Alika Ahaura

"People come and people go."

Kenapa harus ada kalimat menyebalkan itu di dunia? Seolah-olah kita diharuskan untuk merelakan kepergian orang-orang yang awalnya datang.

Bolehkah jujur kalau dirinya trauma ditinggalkan? Memang tidak banyak yang pergi darinya, hanya 'dia' yang pergi tanpa kembali. Namun, kenapa terasa begitu menyebalkan? Ingin Alika menarik tangannya kala itu, mengatakan kepadanya untuk tidak pergi kemana-mana dan menetap saja di sisinya.

Akan tetapi, nyatanya, Alika yang pergi lebih dulu. Tidakkah 'dia' menunggu? Padahal Alika bisa saja kembali untuknya. Kembali mengukir kenangan indah yang dahulu mereka ukir bersama.

Hari terus berlalu hingga tiba dimana Alika akan segera kembali ke Jakarta besoknya. Ia meminta orang-orang itu berkumpul untuk yang terakhir kali. Menatap mata mereka satu-satu dan berharap mereka akan baik-baik saja tanpa dirinya. Ya, walaupun tidak terlalu berpengaruh.

"Alaska udah selesai di Ruko, katanya suruh jemput. Nggak ada motor dia," ujar Rizki sembari mengecek ponselnya. Membaca pesan yang baru saja dikirim Alaska ke grup mereka.

"Biar Alika aja yang jemput," tawar gadis itu tiba-tiba. Yang lain menatapnya kaget sekaligus khawatir.

Rara menghela napas. "Nggak mungkin lah kamu yang jemput, Lika. Ruko Alaska jauh, mana lewat pesawahan gitu, gelap jalan ke sana."

"Bener.  Nggak usah, biar gue aja." Aksa bangun dari duduknya, mengambil kunci motor, namun, cekalan pada tangan membuat laki-laki itu menoleh. "Kenapa lagi sih, Ka?" Jujur, Aksa tak habis pikir. Bagaimana gadis ini begitu keras kepala? Ingin sekali memarahinya tapi dia tidak tega. Apalagi ketika melihat mata berharap yang jujur, menyebalkan itu.

"Udahlah, kasih aja dia yang jemput, Sa. Biarin dia berduaan malam ini," goda Zaidan yang sama sekali tidak menatap Alika. Dia malah asik dengan ponselnya, walau ternyata juga ikut mengikuti alur pembicaraan.

Aksa menghela napas. Memberikan kunci motor kepada Alika yang tersenyum lebar. Gadis itu terlihat benar-benar kegirangan. "Tencu, Aksa. Aku pergi dulu."

"Hati-hati tuh!"

"Iya ... iya."

"Eh tunggu!"

Gadis itu berbalik badan, menatap Aksa keheranan. "Kenapa, Sa?"

"Hp lu nggak ada kuota sama pulsa kan? Bawa hp gue aja nih, biar kalau ada apa-apa bisa telpon ke yang lain."

***

Pemuda dengan balutan kaos hitam yang tampak cocok membalut kulit kuning langsatnya berdiri sembari menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan. Saat motor yang dikendarai Alika berhenti tepat di depannya,  senyum lebar tercetak jelas di wajah tampan itu.

"Yang lain di mana?"

Alika menaikkan sebelah alisnya keheranan mendengar pertanyaan Alaska. "Di tempat tadi."

"Jadi, kita balik ke sana?"

"Iya, kan yang lain semuanya di sana. Nggak mungkin cuma kita di sini," jawab Alika seraya surut ke jok belakang tanpa turun, membiarkan Alaska yang mengemudi.

"Kalau tau gini nggak usah minta jemput. Kasian kamunya sendiri bawa motor mana jauh. Maaf ya, Alika. Beneran deh, nggak enak banget ini."

Alika hanya menangapi dengan tertawa kecil. Lagian mau dibilang bagaimana pun juga, Alaska akan selalu merasa bersalah dan tak enakan. Memang sudah tipikal seperti itu.

Meski Sia-sia, Senang Pernah Bersama [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang