1 Malam Yang Dingin Di Ohio
Di apartemennya yang mewah, Laura duduk di sofa dengan nyaman sambil memeluk erat Gabriel, sosok yang selama ini ia anggap sebagai ayah sekaligus pelindung. Bagi Laura, Gabriel bukan hanya wali, tetapi juga satu-satunya pria yang selalu memberinya rasa aman tanpa syarat. Namun, di balik wajah manja dan senyum lembutnya, tersimpan kecemasan dan kecemburuan yang perlahan menggerogoti pikirannya.
"Kamu sudah yakin dengan pilihanmu?" tanya Gabriel lembut, sambil menatap wajah Laura yang terlihat bahagia namun sedikit tertekan. Gabriel adalah pria yang sangat memanjakan Laura, selalu memenuhi permintaannya sejak dia diangkat sebagai wali.
Apartemen ini pun, beserta segala kemewahan yang dimiliki Laura, semuanya adalah hadiah dari Gabriel, demi memastikan Laura hidup dalam kenyamanan. Laura begitu berharga baginya, amanah yang ia jaga setelah kakaknya meninggal.
"Daddy, Laura sudah yakin! Kevin dan Laura saling mencintai! Daddy jangan berpikiran yang aneh-aneh!" Laura memeluk Gabriel erat, dengan senyum yang dibuat seolah-olah penuh kepastian. "Daddy janji akan memberinya posisi di perusahaan setelah kami menikah, kan? Itu untuk kebahagiaan Laura juga! Nanti, kita akan menjadi keluarga. Bukankah memang seharusnya Kevin membantu Daddy di perusahaan?"
Gabriel mengangguk perlahan. "Daddy akan lihat kemampuannya. Jika dia memiliki kemampuan, tentu saja Daddy akan mempertimbangkannya."
"Terima kasih, Daddy! Aku sayang sekali sama Daddy! Aku hanya ingin Daddy selalu bersamaku, meskipun aku sudah menikah nanti. Daddy tak akan pernah meninggalkan aku, kan?" Nada cemas yang tersembunyi terungkap dalam suaranya.
Gabriel tersenyum, mengusap lembut punggung Laura. "Siapa yang akan meninggalkanmu? Kamu akan selalu menjadi anak pertama Daddy. Tidak ada yang bisa menggantikanmu."
Pelukan hangat di antara mereka terasa hangat dan penuh kasih. Namun, momen itu terganggu ketika Elise, nenek Laura sekaligus ibu Gabriel, masuk dengan membawa sekeranjang buah-buahan.
Elise adalah wanita tua yang bijaksana dan sangat menyayangi cucunya, selalu siap mendukung segala kebutuhan Laura. Sama seperti yang selalu Gabriel lakukan selama ini.
"Ada apa ini? Kenapa cucu nenek menangis?" Elise segera memeluk Laura yang menahan air matanya.
"Nenek, nanti kalau Daddy menikah dan punya anak, apa aku akan dilupakan? Aku jadi takut untuk menikah. Bagaimana kalau setelah aku menikah, Daddy tak lagi sayang padaku?" Laura mengadu sambil memeluk neneknya erat, menyembunyikan kecemasannya dengan sempurna.
Elise tertawa kecil, menepuk-nepuk pundak Laura dengan lembut. "Kamu ini, jangan berpikir yang macam-macam. Nenek dan Daddy akan selalu sayang padamu, tidak peduli apapun yang terjadi. Kamu selalu jadi prioritas kami!"
"Janji?" Laura memandang Elise dengan tatapan penuh harap.
"Janji," jawab Elise sambil tersenyum, mencium cucunya. "Ayo makan buah! Buat apa menangis?"
Di sela-sela percakapan mereka, Elisa tiba-tiba teringat pada Gween, sahabat lama Laura yang dulu sering menginap di rumah mereka. "Oh ya, Laura, bagaimana kabar Gween? Nenek hampir tidak pernah melihatnya lagi."
Laura segera memasang wajah sedih, sebuah ekspresi yang sudah ia kuasai. "Entahlah, Nek. Dia marah karena aku dan Kevin menjalin hubungan. Padahal, Laura sudah minta maaf berkali-kali, tapi tidak dihiraukannya."
"Sayang, bukankah kamu juga salah? Gween dan Kevin dulu cukup dekat," ucap Gabriel, yang tampaknya mengerti hubungan persahabatan yang mungkin terasa rumit bagi Laura dan Gween.
Laura mendengus kesal, memperlihatkan kepahitan yang selama ini disembunyikannya. "Daddy, tapi mereka sudah putus sebulan sebelum aku dan Kevin memulai hubungan. Gween yang tidak terima! Aku sudah meminta maaf berkali-kali."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cost Of Revenge (On Going)
RomanceSetelah berhasil selamat dari percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh sahabatnya, Laura, dan tunangannya, Kevin, Gween memutuskan untuk menjalani operasi plastik dan mengganti identitas menjadi Glenca. Sekarang, dia kembali dengan misi balas dendam...