🍡A N O Z 16 🍡

174 14 2
                                    

          Hanya dalam hitungan detik, Louhan sadar dia baru saja melakukan kesalahan besar. I think it's so fault. Komentar Louhan pada si cungkring.

         Kesalahan tak terbantahkan itu adalah menguping pembicaraan seorang cowok yang kerap di jadikan buah bibir para cewek, dan kesalahan lainnya adalah mereka gak sengaja ikut campur urusan si cowok itu.

          Namun, bukannya sadar dan cepat-cepat pergi sebelum membuat kesalahan yang lebih besar mereka–––Louhan plus si cungkring malah lanjutin nguping pembicaraan cowok itu.

         "So why? elo bakalan ngadu?" Katanya, "Dia bakalan mikir Lo nipu, i think he is stupid for know."

          Lawan bicaranya membalas harap-harap cemas serta gugup, "Of course! Dia pasti udah inget sama masa lalunya. Dari awal gua ketemu sama dia gua udah tahu itu dia, apalagi sewaktu-waktu dia nyanyi."

          "Ha!" Si cowok mengulurkan tangan lalu menampar pahanya keras, "Tolol. Lalu dia bakalan inget elo? Sayang sama elo kayak waktu itu? Ahahaha! Mungkin elo bakalan di bunuh sama dia!"

          Somehow ada aja orang-orang bebal kayak Louhan plus si cungkring, bebalnya melebihi keledai yang jatuh di lubang yang sama. Udah tahu nguping pembicaraan itu gak bener mereka bisa-bisa lanjut dengerin. Lagipula di zaman sekarang menggunakan kata 'bunuh' adalah hal tabu, mungkin saja akan ada kasus yang bikin mereka jadi salah satu kunci karena denger pembicaraan ini. Pikir dua orang bebal ini.

           Si cowok dengan cepat mendorong bahu lawan bicara membuat gaya dorong yang keras hingga dapat membenturkan lawan bicaranya itu, "Walaupun kita saudara, dia tetep punya gue."

          Si cowok membalikkan tubuhnya dan dengan cepat Louhan plus si cungkring segera pasang wajah polos kayak orang baru sampe dan mau buka pintu, sewaktu pintu terbuka cowok tadi menatap mereka lalu bertanya. "Lo denger?"

          "Denger apa kak?" tanya si cungkring, keringat sebesar bulir anakan jagung terlihat di pelipisnya.

          "Enggak."

           Louhan tak membalas, dia hanya mengamati si cowok yang terus berjalan keluar dan menjauh dari ruang kesehatan. Louhan tersenyum kecil, ternyata begitu.

          "Ayo, sepertinya kamu butuh istirahat." Louhan tersenyum menanggapi dan menarik lembut tangan si cungkring kedalam ruang kesehatan.

         "Ah! Halo, kak Maxime!" Louhan tersenyum sebaik mungkin ketika netranya bertemu dengan si berandal yang sering banget-banget pokonya banget masuk ruang BK.

          Kalo dipikir-pikir kayaknya Maxime sehari dua kali masuk BK sampe-sampe guru konselingnya aja resign jadi guru konseling dan daftar jadi pasien RSJ, and Louhan sama seperti murid lainnya yang mencoba tidak mengusik laki-laki berkebangsaan London ini.

          Maxime menyipitkan matanya, seakan sedang menimbang-nimbang apa niat dua bocah di depannya. Rambut gondrongnya tergerai berantakan, dan senyumnya setengah sinis, setengah tertarik.

“Well, that’s quite unexpected,” gumam Maxime dengan aksen British-nya yang kental. Jelas terlihat dia baru saja terlibat masalah, seperti biasa. Dia menatap Louhan dan si cungkring yang sekarang berpura-pura sibuk dengan sesuatu di dinding, berharap bisa menghindari tatapan mata yang mengintimidasi itu.

"Apa kabar, anak-anak? Lo berdua ngapain di sini, ha?" tanya Maxime, dengan nada yang lebih seperti investigasi ketimbang sapaan ramah.

“Oh, gak ada, cuma—” Louhan langsung terdiam begitu si cungkring menjitak lengannya diam-diam, mencoba mengingatkan untuk tidak sembarangan ngomong. Mereka saling melirik dengan pandangan aneh.

          "Udahlah bro, jangan bikin ribet". Keliatan banget tuh si cungkring ngomong begitu dari matanya.

          Maxime melipat tangannya di dada, menunggu jawaban. Bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang entah mengapa bikin orang merinding.

          Si cungkring akhirnya bicara, "Ya, ini... kita cuma mau ngeliat apakah ruangan ini ... ya, aman buat istirahat.”

          Maxime mendekat, membungkuk hingga wajahnya hanya beberapa senti dari si cungkring, "Lo kira gue bodoh, ya?"

          Louhan dengan cepat memasang senyum kaku, “Gak, kak. Maksudnya, siapa yang mau nipu orang kayak Kak Maxime, ya kan? Kayaknya cuma The King of Trouble, ya gak sih?”

          Maxime tertawa terbahak-bahak, tapi ada nada ketegangan di balik tawanya itu, seperti ada sesuatu yang mengintai di benaknya. "Good one, kiddo. Tapi, next time, mind your own business." Lalu, tanpa menunggu jawaban, Maxime berbalik dan keluar dari ruangan, menyisakan aroma campuran cologne mewah dan ketegangan yang menusuk.

          Louhan menghela napas panjang. “B-bukankah kita hampir mati barusan, tau gak?”

          Si cungkring mengangguk cepat. “I know, dude, I know.

          Louhan mengacak-acak rambutnya yang tertata, memperlihatkan matanya yang sebening kaca. Rambut yang udah ditata lebih dari 2 jam ini sekarang jadi kayak mi goreng, semrawut like gonzang-gonzeng.

          "Ekhem, btw ... What's your name?"

           Senyuman setipis tisu dibagi delapan terlihat di bibir si cungkring, "Xafier, Xafier Von Hunberd."

          "Oh, keluarga Hunberd?" Louhan tersenyum lalu melanjutkan ucapannya, "Kenalin, Louhan Dhe Bell."

          Jika kita flashback, keluarga Von Hunberd cukup terkenal di kalangan novelis. Ada validitas thesis yang beredar tentang keluarga bersejarah itu, dan salah satunya adalah kisah Gabriel Von Hunberd.

          Kisahnya yang tragis membawa banyak orang untuk bersekutu membalikkan Jepang, katanya ada pula yang mengatakan jika keluarga Von Hunberg adalah keluarga penghianat. Sayangnya tak pernah ada bukti yang menyatakan kebenaran dari desas-desus beruncing tersebut.

          "Hee? Keluarga Dhe Bell? Apakah dulunya keluargamu adalah penjual bell?" Masih autopilot dan masih terbayang-bayang momen sepersekian detik saat hantu Noni yang dilihat Xavier membuatnya sedikit perasaan ketika berada di dekat Louhan, jadi dia hanya bertanya sesuatu yang biasa ditanyakan seperti ini.

          Pernah nggak sengaja ketumpahan air panas? Kalau iya pasti kamu bisa membayangkan seperti apa yang dirasakan Louhan saat ini. Bener-bener perasaan kesel, marah, dan membuncah itu ada gitu di otaknya si Louhan ini. Introvert aja tahu kalau nanya asal usul nenek moyang itu adalah privasi, seperti kulit yang terasa nyeri karena air panas kulit louhan pun terasa begitu nyeri akibat menahan hasrat untuk menonjok wajah tampan agak cungkring orang di depannya.

          "Bukan, tetapi keluarga kami adalah keluarga pertama yang berkontrak dengan spirit bell. Karena itu keluarga kami dinamakan Dhe Bell." Ucap Louhan semanis mungkin.

           Sedangkan Xavier menyalah artikan ucapan yang terlontar dari bibir Louhan, seketika hatinya menghangat karena ini pertama kalinya dia bahagia memikirkan sesuatu selain saudaranya.

          Semuanya berjalan terlalu cepat, ya, mereka berdua tahu itu. Bel pulang tiba-tiba berbunyi dan sebelum jam makan malam Louhan harus sudah ada di rumah.

          "Udah bell, aku mau pulang." Kata Louhan sembari berjalan ke arah pintu ruang kesehatan. Kepalanya sudah diterjang badai, ombak, puting beliung yang benar-benar bikin dia ingin membanting dewa yang menciptakan penyakit ini!

           "Gitu, ya?" Wajah safier tampak sedikit kecewa. Tapi hanya sebentar karena mendadak Dia merasakan getaran harus di celananya, matanya sampe terbelalak nggak percaya saking nggak yakinnya cowok itu sampai harus menggosok-gosokkan matanya untuk memastikan dia lagi nggak berhalusinasi.

          "This my number, aku simpen no aku di Hp kamu waktu Hp kamu jatuh di gudang lalu aku masukin lagi ke saku kamu. Dan yang paling lucu kamu nggak sadar itu semua."

          Tulisan di LCD handphonenya: LOUHAN DHE BELL ♥️

         

[TRANSMIGRASI] Invisible Twins || Crt ke 6 [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang