BAGIAN 2

2 1 0
                                    

~vote nya ya, jangan jdi beban!~
Happy reading
..............

"Kau sudah sadar?" Tanya seorang pria yang menyender di pintu dengan tangan yang terlipat. "Tuan Mattew," lirih Cathline memanggil nama pria itu

"Panggil nama saja." Ralat Mattew merasa keberatan dengan panggilan Cathline yang terasa formal.

Mattew mendekat padanya seraya mengusap pelan air matanya yang keluar dari bola mata indah Cathline. Baru saja air matanya dihempaskan oleh Mattew, kini air mata baru ikut mengucur membasahi pipinya.

Pria itu sampai menarik napas beratnya lalu duduk di tepi ranjang yang ditiduri oleh Cathline, tangannya juga sesekali mengelus surai hitam legam Cathline yang masih sedikit kusut. "Dokter mengatakan kau hanya kelelahan, istirahat sebentar sehabis itu pergi." Ucapnya dengan nada mengusir.

"Aku tidak punya tempat tinggal lagi," jawab Cathline seraya memalingkan wajahnya. Memang sedikit memalukan, tetapi itulah kenyataan. Kota kelahirannya sudah setengah hancur oleh serangan Keylova, terlebih lagi Cathline sudah pergi meninggalkan dunianya.

"Gadis bangsawan namun tidak memiliki rumah? Memalukan saja," sindir Mattew lalu menoleh pada jendela ruang perawatan yang terbuka.

Gadis itu menggulum bibirnya, "Apa boleh buat bukan? Jika saja Keylova tidak datang mengganggu pasti semua ini tidak akan terjadi!" ujarnya dalam hati, ia semakin menangis tanpa suara. Bibir bawahnya dengan sengaja digigit agar tak menimbulkan suara.

"Kalau begitu, bagaimana jika tinggal dengan ku saja? Keberadaan mu masih mencurigakan dan itu membuatku penasaran, aku bukan singa bodoh yang melepaskan mangsanya dengan sukarela." Haven berucap seraya menolehkan kepala kecil gadis itu secara paksa agar melihat padanya.

Netra gadis itu membesar, melihat sosok Mattew yang terasa berbeda dengan sebelumnya. Bukan berbeda, namun kali ini ia melihat dengan sudut pandang berbeda dengan tadi. "Eh? Mangsa apa yang kau maksud—"

"Aku tidak menerima penolakan, kau akan tinggal dengan ku." Mattew menyela dengan suara tegasnya. Sesudah itu, Mattew dengan kesadaran penuh menunduk mendekat pada wajah gadis itu untuk mengecup keningnya.

"Hanya sebuah ciuman perpisahan, jangan anggap serius." Timpalnya menekankan tiap kata yang diucapkan lalu pergi setelah menutup pintu ruang perawatan.

"Apa-apaan coba itu?" racaunya dalam hati seraya menekan dada kirinya yang berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

***

Pria berbadan kekar bersurai hitam legam itu mengantar gadis menawan dengan gaun bangsawan yang compang-camping menuju salah satu kamar di rumahnya untuk tempat gadis itu akan beristirahat malam ini.

Senyum kecil terbit di belah bibir Mattew, "Sana istirahat, pakaian ganti mu juga ada disana." Ucapnya sedikit menunduk lalu mengelus pelan kepala Cathline yang masih berantakan akibat berlarian di hutan.

"Sekali lagi terimakasih tuan Mattew, aku akan membalas perbuatan mu dilain ha—"

Mattew memberhentikan ucapan Cathline dengan menaruh telunjuknya di bibir gadis itu. "Sudah ku bilang berhenti memanggilku tuan, panggil saja nama ku." Bisik Mattew mengecup pelan telinga Cathline yang mulai memerah menjalar hingga keleher.

Mendorong Mattew menjauh, Cathline menutupi mukanya dengan kedua tangan lalu membungkuk hormat. "Baiklah tuan tidak, Mattew selamat beristirahat." Ucapnya langsung mempraktekkannya lalu bergegas membalik badan masuk kedalam kamar dan menguncinya dari dalam.

"Memalukan sekali ya tuhan, aku harap dia tak melihat muka ku yang memerah." Bisiknya pada diri sendiri lalu mulai membersihkan diri.

Gadis berkucir pita putih dengan gaun putih se lengan dan berpotongan selutut itu terlihat sedang membenahi kekuatan cahaya nya yang mulai kacau akibat terkena serangan penyihir jahat Keylova.

Berulang kali ia memanggil kekuatannya, tetapi sama sekali tak ada respons. Seolah kekuatan itu tidak pernah ada hingga ia tidak bisa memakainya atau mungkin sedang kehabisan tenaga.

Krukk kruyuk

Cacing dalam perutnya mendadak demo meminta makan, sepertinya Cathline lupa belum memakan apapun setelah keluar dari hutan. Memang salahnya sendiri, namun bukan saatnya menyalahkan diri.

Sembari terus memanggil nama Mattew ia berjalan menuju tempat yang terlihat seperti ruang makan. Cathline sama sekali tak tahu dimana dan kapan makanan akan dihidangkan.

Ia menunggu Mattew sambil duduk dengan mata yang berkeliling ruangan. Dengan harapan akan bertemu seorang pelayan, akan cukup bagus juga jika ia bertemu Mattew saja.

"Siapa kau!?" Tanya seorang pria berbadan besar dengan otot yang terpampang jelas meski memakai kaos seraya menodongkan sebuah pisau dapur ke leher gadis itu.

Mendapati lehernya bersentuhan dengan sebuah benda lancip berbahan besi, sontak membuat bulu kuduk Cathline berdiri. "A—aku Cathline," ujarnya terbelit sedikit ketakutan.

"Darimana kau berada dan siapa yang membawamu kemari?" tanya pria itu kembali menekan ujung pisaunya hingga sedikit merobek leher Cathline. Menelan ludahnya, Cathline ingin menoleh namun ujung pisau akan semakin menekan jika dia bergerak. "Mattew yang membawa ku." Ucapnya setelah lama bungkam.

Kedua sudut bibir pria itu terbit sesaat lalu ia tenggelam kembali, seraya menarik pisau dapur itu. Dengan sekilas, wajah pria itu terlihat mirip dengan Mattew meski agak berbeda termasuk bola mata dan rambutnya.

"Lalu apa hubungan kalian?" Tanya pria itu seraya menautkan alisnya. Kecurigaannya terhadap Cathline semakin membesar, tidak mungkin jika ia membiarkan sosok tak jelas berkeliaran di kediamannya.

"Itu hanya dapat membuat ayahanda tersulut amarah." Batinnya berujar seraya menatap dalam pada Cathline.

Gadis itu seketika terdiam, rasa gugup mulai menyelimuti. Keringat dingin menetes membasahi keningnya, tubuhnya ikut gemetar ditatap oleh pria itu.

"Aku dan tuan Mattew sama sekali tidak mempunyai hubungan khusus, hanya sekedar teman, mungkin?" Jawabnya dengan belah bibir yang bergetar takut akan jawabannya sendiri, lebih tepatnya Cathline kurang yakin dengan ucapannya.

Pria itu menautkan alisnya dengan pikiran yang seakan bercampur aduk tidak tahu maksud dari jawaban gadis itu. "Hm, mungkin? Apa arti kata 'mungkin' mu itu? Apakah kau seorang mata-mata yang dikirim oleh musuh keluarga Luiz!?" Hardiknya dengan nada yang dinaikkan sontak membuat Cathline terdiam tak berani menatapnya.

Rasanya seakan pundak Cathline tertimpa ratusan batu, berat dan tak sanggup ia pertahankan dalam waktu yang lama. Suasana diantara mereka begitu hening saat ini, Cathline masih belum berani membalas maupun menatap pria itu.

Saking sunyi nya, suara napas diantara keduanya mampu terdengar. Udara di sekitarnya terasa memberat hingga paru-paru Cathline kesulitan mengambil napas. "Ma—mana mungkin itu terjadi, aku bukan seorang mata-mata atau pencari informasi. Aku hanya seorang gadis yang di selamatkan oleh tuan Mattew, meski nyawa ku taruhannya aku tetap akan mengatakannya dengan lantang." Setelah lama bungkam akhirnya Cathline mampu menjawab meski masih gagap.

Seringai jahat terukir indah di bibir pria itu, sembari mengulurkan pisau dapur pada Cathline ia juga berujar. "Kalau begitu mati lah sambil mengatakan itu." Kedua bola mata Cathline sontak membulat, ia sama sekali tidak memperkirakan pria itu akan menekannya.

Dengan segala rasa tertekannya, Cathline menelan saliva nya guna membasahi tenggorokan. "A—pa ingin mu?" Pupil matanya bergetar kala melihat betapa tajamnya mata pisau yang disodorkan padanya.

Pria itu mengendikkan bahunya, "Mana ku tahu," balasnya ketus seraya mengangkat satu sudut bibirnya terbit. "Kau datang ke ruang makan karena ingin mencari Mattew atau karena apa?"

Cathline terdiam kaku, haruskah ia jujur mengatakan ingin makan atau ia harus berbohong dan ingin menemui Mattew? Pertanyaan serupa berputar mengelilingi kepalanya searah jarum jam, Cathline merasa gelisah harus menghadapi pria yang tak jelas itu.

Bola mata segelap batu obsidian milik pria itu melirik penuh pada Cathline, di pikirannya seakan ia bergelut bimbang harus bagaimana caranya memperlakukan gadis itu. "Merepotkan saja," gumamnya dalam hati lalu merangkul bahu gadis itu dengan tangan kiri dan menggiringnya ke tempat makan.

"Kau lapar bukan? Makanan akan segera tiba jadi tunggu di sini sebentar." Ungkap pria itu seraya menebar senyum manis di bibir lalu berjalan menjauh setelah berteriak kepada pelayan rumah untuk segera menyiapkan makanan.

Love is complicated Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang