...........
"Coba lah cicipi teh andalan keluarga kami, nona," pinta Lexi pada Cathline yang duduk di kursi seberang meja.
Mereka berdua tengah duduk di tempat minum teh yang terletak di teras yang pemandangannya langsung mengarah pada taman bunga yang disebut un paradiso friorito ialah kebanggaan keluarga Luiz. Taman indah dengan berbagai jenis bunga yang bermekaran memamerkan kelopaknya, jalan setapak yang menghubungkan dua taman juga terlihat indah dengan pagar tanaman hias yang ada di kedua sisi.
Tepat di tengah taman bunga itu, sebuah air mancur yang dasarnya berbentuk lingkaran berdiri dengan penuh percaya diri bahwa ia tak kalah cantik dibanding para bunga yang menari bersama angin sepoi-sepoi sambil melebarkan kelopak kebanggaannya.
Pria dengan jas hitam yang melekat di kulit tubuhnya itu menyentuh tangan cangkir dengan pelan sebelum mengangkatnya bersama dengan mangkuk kecil di bawahnya lalu air teh di serapnya perlahan. Lexi menghela napas lega merasakan segarnya tenggorokan yang baru tersiram teh.
Pria dengan mata sehitam obsidian itu bernama Lexi Morrison Luiz, putra tertua dari keluarga Luiz. Lebih tepatnya pria itu ialah kakanda dari Mattew Sayersz Luiz. Meski begitu, sifat antara keduanya sangat jauh berbeda.
"Tenang saja, teh itu tidak mengandung racun di dalamnya." Ujar Lexi menyadari tatapan gelisah yang terpancar dari raut wajah Cathline.
Cathline membalas dengan senyum kaku, jemari tangan kanannya meraih gagang cangkir teh dengan anggun. Menikmati aroma harum dari teh dan menyesap air teh itu secara perlahan. "Teh ini memang enak," sela bibirnya berucap pelan seraya menyimpan cangkir teh di tempat semula dan menatap bola mata Lexi.
"Syukur saja jika sesuai dengan selera mu." Balas Lexi, melirik sekeliling taman, memastikan mereka benar-benar hanya berdua. Wajahnya condong maju kedepan, berbisik pelan. "Jika boleh tahu, apa hubungan kalian berdua?"
"Berdua? Apa maksudmu?"
"Tidak usah berlagak bodoh, antara kau dengan Mattew, apa hubungan kalian?" Senyum simpul terpampang di sela bibir bawah Lexi. Pandangannya sedikit meredup kala Cathline terdiam dengan wajah menunduk.
"Bisa beritahu jawabanmu sekarang, nona?" Suara berat nan tegas terkuar dari mulut Lexi, mengangkat paksa wajah Cathline untuk menatapnya.
Belah bibir Cathline bergetar pelan, jawabannya sudah ada, hendak diucapkan, namun tak kuasa. Ragu, ia masih belum tahu siapa sosok Lexi di depannya, tak mungkin ia harus memberi penjelasan detail pada orang yang belum jelas memihaknya, apa tidak.
"Tuan Mattew, menyelamatkan ku saat tersesat di hutan." Satu jawaban kecil hanya mampu dikeluarkan Cathline. Terdengar tidak masuk akal, Lexi saja sampai berkerut dahi.
"Lantas, mengapa kau pergi ke hutan. Sendirian?" Tekan Lexi, memantapkan ucapannya, membuat goyah keyakinan diri Cathline. "Kau mata-mata?" Ucapan menuduh kembali Lexi berikan.
Sekujur tubuh Cathline bergetar, tekanan yang diberi Lexi kasat mata, namun dapat dirasakan dengan begitu menusuk Cathline. "Tidak, aku bukan mata-mata. Tuan Mattew menyelamatkanku, aku berhutang budi padanya!" Cathline membela diri, hanya karena diberi tekanan, ia tak akan goyah dengan mudah.
Lexi menajamkan tatapannya, semakin tajam, seolah menusuk mata. "Kau pergi dari kediaman ini, hutang budi biar aku yang membayarnya." Tangan kanannya terangkat, mengusir kehadiran Cathline melalui isyarat tangan.
"Mana bisa begitu, kakanda. Cathline harus tinggal di sini!" Mattew menampakkan wujudnya di tengah perkumpulan mereka, membuat taman menjadi sunyi untuk beberapa detik.
Lexi mendengus. "Lantas, kenapa dia harus tetap tinggal? Dia sama sekali tidak berguna, hanya menambah beban dan dia orang asing." Sergah Lexi, bangkit dari posisi duduknya menghadap Mattew. Tinggi badan mereka hampir sama, tak beda jauh dan itu membuat mereka leluasa untuk saling mendelik.
Orang asing memang tak diperkenankan masuk ke dalam kediaman Luiz, jika sudah menyangkut hal itu, sulit untuk melawan balik. Lexi akan terus melakukan apapun, untuk mewujudkan ambisinya, meski dengan cara kotor sekalipun.
Dua menit, seisi taman lengang. Mattew mulai bersuara, menghancurkan lengang yang telah nyaman di sini.
"Cathline berguna, ia bisa menjadi tambahan penyelidik untuk kasus SMA Panca Negara. Terlebih lagi, dia tidak membutuhkan bayaran." Alibi Mattew. Memantik percikan baru di dalam pemikiran sempit Lexi.
"Bukankah, itu sama saja kau mengatakan jika kita membutuhkan bantuan untuk kasus ini? Kita, orang kita tidak sanggup menyelesaikannya? Begitu maksudmu?" Ucapan dingin Lexi sukses membuat bulu kuduk Cathline berdiri.
Dingin, tetapi memiliki lebih dari sekumpulan niat jahat yang disimpannya. Lexi kembali menyudutkan Mattew yang sudah kehabisan kata-kata.
"Kau seakan mengatakan jika kita tidak becus melakukan tugas itu. Tidak kah kau malu sebagai seorang pemimpin?" Sorakan kemenangan berbunyi meriah di dalam hati Lexi. Senyum sumringahnya tak bisa ditahan saat melirik Mattew yang membawa Cathline masuk dengan wajah menunduk.
Hatinya puas, namun masih belum cukup. Ia menginginkan lebih dari ini.
Selagi Lexi tertawa puas di taman sendirian, Mattew membawa masuk Cathline ke kamarnya. Menutup rapat semua akses masuk dan bersitatap mata hanya dengannya.
"Bagaimana?" Mattew yang paling pertama buka suara. Perlahan, kamar lengang itu penuh dengan suara lembut dan tegas yang bergantian untuk bersuara.
Cathline menunduk kepala ke bawah, mata tajam Mattew begitu menakutkan baginya. "Bagaimana, apa?"
"Saat berbicara kepada seseorang, kau harus melihat matanya." Sarkas Mattew dibarengi gerakan tangan mengangkat dagu Cathline hingga wajahnya terangkat, melihat matanya. "Katakan lagi," titah Mattew seraya menurunkan tangannya.
"Bagaimana, apa?" Cathline mengulang dengan lirih.
"Ikut denganku untuk bersekolah di Panca Negara, semua biaya kau akan ku tanggung. Namun, setiap pergerakanmu harus sesuai dengan perintahku. Lagipula, kau tidak memiliki tempat pulang bukan? Biar aku yang menjadi tempat kau pulang." Kalimat panjang dilontarkan pertama kali oleh Mattew.
Hanya kalimat singkat tentang tempat pulang, namun menggerakkan hati Cathline untuk mengangguk. Cathline tidak sempat berpikir apa yang terjadi selanjutnya, ia hanya senang, ada seorang pria yang menjadi tempat pulangnya.
Mattew mengangguk, mengangkat tangan kanannya mengelus anak rambut Cathline. "Besok, kau berangkat dengan ku. Semua persiapan akan selesai nanti malam." Pungkasnya, mengakhiri elusan di rambut Cathline dan beranjak pergi dari kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love is complicated
FantasyAUTHOR:saya!! AUTHOR: Theodore Bikin cerita ini bukan cuma saya doang ya,ini cerita hasil collab sama author hebat guys,jadi jangan lupa vote akun dia sma saya. Akun nya:Theodore0Roosevelt Noh itu akun author satu nya lagi,ingat follow akun kita guy...