Bab 35

54 0 0
                                    

Redupnya Asa Sang Pendekar

"Maafkan aku yang terlambat datang, Pendekar. Aku baru mendengar berita ini dari penjaga istana. Bagaimana keadaan istrimu?" Raden Randu Panji buru-buru duduk di samping Banyu Langit dengan wajah khawatir.

Mereka berdua duduk di luar kamar sementara Anom Kinasih beristirahat di dalam.

Kondisi penginapan menjadi lebih tertata setelah serangan malam meluluhlantakkan sebagian bangunan dan banyak perangkat bertebaran di pekarangan. Anggota Kelabang Sewu sendiri sudah tidak nampak sejauh mata memandang, mereka seperti terhisap oleh gelapnya malam, menghilang ditelan kabut jahanam.

Tubuh-tubuh rakyat kecil yang tak bersalah bergelimpangan tanpa nyawa, tangis menyayat hanya sendu dilantunkan, takut mengganggu keheningan malam di tengah kehadiran Randu Panji. Hal itu pula yang tengah mendera Banyu Langit yang pucat, sungguh dia mengkhawatirkan istrinya, tapi tentu dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Randu Panji, karena khawatir akan merepotkan sang punggawa kadipaten lebih dari yang diharuskan.

"Mohon maaf telah merepotkan njenengan, Raden. Sesungguhnya tidak apa-apa. Kejadian ini benar-benar diluar kuasa kita semua. Tidak ada yang menyangka bahwa Kelabang Sewu akan menyerang kami dengan demikian ganas. Mereka datang secara tiba-tiba dan menyerang tanpa alasan," ucap Banyu Langit sambil menundukkan kepala, "Istri hamba yang terkena naas, Raden. Dia pingsan tersambar racun dari jarum Kelabang Sewu."

"Tabib Wu."

"Sendiko dawuh."

Seorang pria yang sepertinya berasal dari negeri asing datang menghampiri Randu Panji, orang ini sejak awal sudah datang bersama sang raden. Wajah Tabib Wu unik dengan kumis panjang yang licin sampai ke dada. Rambutnya hanya ada di bagian belakang kepala dan dikuncir silang temali. Tapi herannya, bahasa dan logat sudah sangat fasih seperti halnya orang lokal. Orang ini adalah Tabib kepercayaan Kadipaten Setono, Tabib Wu.

"Tolong periksa istri sang pendekar. Mereka berdua adalah sahabat kadipaten. Jika perlu pengobatan diusahakan dengan cepat. Pastikan sang pendekar wanita bisa sembuh dalam waktu singkat." Perintah Randu Panji tegas. "Aku tidak ingin kita main-main dalam mengatasi masalah ini."

Sang tabib menjura dan meminta ijin pada Banyu Langit. "Mohon izinkan saya memeriksa istri Pendekar."

Banyu Langit mengangguk dan mempersilahkan Randu Panji serta Tabib Wu masuk ke dalam ruang tempat Anom Kinasih dibaringkan. Wajah si cantik itu pucat pasi, keringatnya mengalir deras. Lengan yang terkena racun mulai membiru – tercetak jelas di kulitnya yang putih mulus.

Tabib Wu geleng-geleng kepala melihat kondisi Anom. Pria tua itu lantas duduk di samping Anom Kinasih, memegang pergelangan dan menyentuhkan punggung tangan di dahi sang pendekar wanita. Tangannya bergerak lincah dan dengan gerakan tegas menotok beberapa pembuluh darah.

Tkk! Tkk! Tkk!

Ia kembali memegang pergelangan tangan Anom, lalu membaca detak jantungnya dan mulai memperkirakan bagaimana kondisi tubuh sang pendekar wanita. Setiap titik nadi diperiksa, denyut di telisik, dan aliran darah ditelusuri.

Hingga pada akhirnya sang tabib mencapai sebuah kesimpulan.

Tabib itu kembali ke depan kamar untuk menemui Randu Panji dan Banyu Langit.

"Racunnya benar-benar ganas." Tabib Wu menggeleng-gelengkan kepala, ia kemudian menarik napas panjang. "Mohon maaf. Tapi saya rasa saya tidak akan mampu menyelamatkan nasib pendekar wanita ini, mohon maaf tapi kemampuan saya sangat terbatas. Saya hanya bisa memperlambat laju racunnya, bukan menghentikannya."

"Apa maksudmu, Tabib!" Randu Panji berseru marah, "bukankah kamu Tabib paling terkenal dari negeri seberang yang sudah sangat kami percayai? Apa maksudnya tidak bisa menyelamatkan pendekar wanita ini? Jangan main-main! ini perintah langsung dari Kadipaten! Kedua orang ini sahabat Setono! Kamu harus bisa menyelamatkannya! Ojo ngawur!"

Tabib Wu kembali memberikan hormatnya pada Randu Panji dan Banyu Langit, "maafkan hamba yang kurang wawasannya ini, Raden. Bukan karena hamba tidak hormat pada Kadipaten Setono, tapi karena memang pendekar wanita ini telah terkena racun ganas yang disebut Kelabang Roso – racun paling mematikan dari kelompok Kelabang Sewu."

"Lalu, kamu tidak bisa melakukan apa-apa, begitu!? Memalukan!"

"Ampun, gusti. Untuk dapat menghentikan kekejaman racun Kelabang Roso dalam tubuh, seseorang harus mendapatkan obat pemunahnya langsung dari kelompok Kelabang Sewu. Sudah tentu hingga saat ini kita tidak tahu mereka sebenarnya dari mana, ada di mana, dan juga siapa yang menyimpan obat pemusnah tersebut."

"Lalu apa saranmu, Tabib?" kali ini Banyu Langit yang bertanya, "berapa lama istri saya dapat bertahan dari racun ini?"

Tabib Wu melirik ke dalam ranjang Anom Kinasih sekali lagi dan menggelengkan kepala. "Maaf Pendekar, hanya dua purnama. Tidak kurang tidak lebih."

Tembang Sukma KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang