- SIAPKAN OTAK UNTUK MENGHALU -
Sabtu pagi.
Hujan turun mengguyur Ibukota.
Berlin mendongak ke atas kala tetesan hujan mulai turun perlahan-lahan mengenai seragam pramuka coklat yang dia kenakan, gadis itu menyampirkan tasnya kedepan sambil membuka resleting. Mengambil hoodie hitam yang terlipat di dalamnya.
"Pake aja deh," gumam Berlin.
Dia merentangkan hoodie yang sedikit kebesaran pada badannya, segera memakai tanpa kata lagi hingga tubuh langsing dia tenggelam.
"Ayo Lin–Hahahaha anjir! Kek orang orangan sawah," kata Linggar sudah tertawa-tawa di atas motornya. Berlin tuh kecil, badannya mungil apalagi di kenakan hoodie yang kebesaran.
Berlin mendelik, berjalan mendekati kakaknya. "Diem lo."
Gadis itu langsung mengambil helm kasar tanpa aba aba naik ke atas motor, membuat Linggar hampir saja jatuh jika tidak menahan berat keduanya di atas motor.
"Eh, eh. Njir aba-aba dulu dong kalau mau naik," ucap Linggar menyeimbangkan motornya. "Lo tuh badan aja kurus, tapi berat badan lo hampir 50. Keberatan dosa sih."
Berlin tak tahan dengan kicauan Linggar di pagi hari ini, apalagi semakin lama gerimis ini berubah menjadi tetesan air yang semakin deras. "Bacot banget sih, cepetan njir."
"Santai elah, sekolahan lu gak bakal lari." Linggar mendengus, mulai menyalakan mesin motor. "Lagian Sabtu sekolah, kek gue dong Sabtu tuh libur."
"Apasih sekolah lo mah, sekolah pinggiran," balas Berliana sambil bersedekap.
"Heleh, nanti juga lo sekolah disana."
"Maaf yah, nilai gue cocok masuk ke Negeri. Males banget masuk sekolah kejurusan."
Linggar ingin membuka mulut, membalas kata-kata songong adiknya. Tapi, ekor mata pemuda itu menatap seseorang keluar dari rumah.
"Eh, OY BRO!" panggil Linggar menolehkan kepala ke arah Gilang. "Sekolah juga lu?"
Gilang mengangguk, tak banyak bicara mulai memakai sepatu di teras rumahnya.
"Lang, pake jaket. Mau hujan," pesan Berlin menatap adik bungsunya.
"Iya, Mba," jawab Gilang.
"Kok bawaanya adem gitu yah kalau liat si Gilang," kata Linggar kini menatap Gilang lurus. Ketika pemuda kecil itu menatapnya, Linggar berdecak kagum melihat wajah tampan yang mirip dengannya itu.
Berlin memutar bola matanya. "Ya dia kan kalem, gak kek elu titisan setan."
"Ck, setan di fitnah iblis."
"Lo yang iblis, Lingkaran!"
"IH KENAPA JADI BERANTEM SIH?!!" Mama keluar dengan suara menggelegar menengahi perdebatan Berlin dan Linggar yang bisa saja berujung tonjok-tonjokan.
Gilang menerima kotak bekal dan memasukannya ke dalam tas, masih terus memandang kedua kakaknya yang saling melempar tatapan tajam. Mama sudah berdiri berkacak pinggang.
"Kalian tuh bukannya pergi sana, keburu makin hujan entar," ujar Mama menatap langit yang mulai mereda menurunkan air. "Udah sana, kamu juga, Lang. Sana keburu angkotnya lewat."
Gilang memang tidak diantar, dia sedari kelas 3 SD diajarkan mandiri untuk mencari jalan bagaimana dia sekolah. Hal yang dulu di ajarkan ke Linggar juga Berlin, yang membuat keduanya mandiri.
Laki-laki kecil berseragam merah putih itu mengangguk, menyampirkan tasnya sambil mencium punggung tangan Mama. "Assalamu'alaikum," pamit Gilang.
"Wa'alaikum salam," sahut Mama masih terus menatap punggung anak bontotnya hingga hilang.
Mama kembali menatap kedua anaknya yang berada di atas motor, saling melotor garang dari kaca spion. "Udah sana kalian, sekolah sana," usir Mama mengibaskan tangannya.
Linggar mencibir, mulai menaikan standar dan menyalakan mesin motor.
"Assalamu'alaikum," pamit Berlin sambil berteriak dan melambaikan tangannya ke arah Mama yang membalas.
Selama perjalanan, tak ada kata diam bagi Linggar. Cowok itu terus saja berkicau tiada henti membuat Berlin muak begitu saja, berpikir bahwa Linggar nih adalah anak pungut karena kepribadiannya yang beda sendiri.
"Lin, kok pohon ada daunnya yah?"
"Bang, kok lu gak punya otak?" tanya Berlin membalas ucapan Linggar dengan sinis sambil berdecak.
Linggar melepaskan satu tangannya untuk menyugar rambut coklat yang sama seperti Berlin ke belakang.
"Yang penting sih, gue ganteng," kata Linggar tersenyum miring yang mana membuat Berlin langsung memeletkan lidah.
Linggara memang tampan, rahang tegas, kulit putih, hidung bangir, dan mata hitam jernih miliknya yang selalu teduh melihat sekitar. Tapi, mulutnya yang kadang suka tidak terfilter dengan otak yang mungkin saja berguna atau tidak itu menjadikan segala macam hal yang ada di diri Linggar hangus meninggalkan, KETIDAKWARASAN dimata keluarganya.
Berlin berdecak, jadi tersenyum miris melihat kelakuan kakaknya. "Dosa apa Mama sama Ayah punya anak kek lo, Bang," kata Berlin dengan pandangan menerawang.
"Harusnya, kebaikan apa yang Mama dan Papa lakuin sampe punya anak ganteng, keren, bai–AKH! LIN!?"
"DIEM GAK LO, NJING!" amuk Berlin sudah menarik rambut Linggar dari belakang.
Linggar mengeluh, langsung menghentikan motornya dan menarik tangan Berlin dari atas kepalanya. Tubuhnya sedikit ke belakang dengan kepala ikut tertoleh menatap Berlin.
"Udah diem, jangan ngamuk lagi. Khodam nenek lampir lu simpen dulu," kata Linggar menatap tajam adiknya.
Berlin mendengus. Ingin menarik tangannya dari Linggar sebelum sebuah motor berhenti di samping mereka membuat kedua kakak-adik itu menoleh serempak, menatap seorang cowok berjaket bomber hitam dengan motor beat merah.
Gadis bersurai coklat itu membulatkan matanya, mata tajam itu, wajah datar milik Alkeno di depan wajahnya membalas tatapan Berlin yang melebar.
"Gak usah pacaran di tengah jalan."
Deg.
Berlin mengantupkan bibir, tak bergerak sama sekali dari duduknya bahkan ikut menahan nafas hingga cowok itu menjalankan motornya. Meninggalkan Berlin dan Linggar tak bergeming.
"Padahal ini pinggir jalan yah."
Tak tahan, Berlin kembali menarik rambut Linggar di depannya guna menyalurkan perasaan sakit tiba-tiba dihatinya.
"ISH! DASAR LINGKARAN KESIALAN!!"
"AKH! BERLIN AMPUN, DEK."
- BATAS HALU -
dasar Linggar PHO :(
By the way guys, kok setelah nulis 3k kata seterusnya nulis gak sampe 1k njir
Mabok keknya gue, huhuhuhu.
#71124
#10:55