tujuhbelas

24 7 0
                                    

Audra bersikap seperti bos dan membuatku kesal. Saat ini kami masuk ke sebuah toko pakaian dan dia membiarkanku membawakan barang-barang belanjaan yang dia beli. Seketika rasanya aku seperti dikerjai oleh Taekim, dan mencurigainya sengaja melakukan ini padaku melalui Audra.

Ya, aku dimakan kesal berulangkali namun tak berani untuk protes. Apa yang bisa aku lakukan terhadap adik Taekim yang sangat cantik ini? Dia punya sisi seperti kakaknya yang tidak bisa dibantah, menjadi salah satu penyebab mengapa kedua Kim itu sering berdebat ketika bertemu.

Audra memilihkan pakaian-pakaian untukku, mulai dari dress berwarna peach, lingerie, dress putih dengan satu tali, cutout dress floral yang sangat dibenci oleh Jimin.

Oke, wajah tak senang Jimin terngiang di kepalaku beserta omelannya. "Awas saja jika kau pakai pakaian seksi."

Juga sepatu-sepatu juga pernak-pernik. Sungguh, apakah mereka suka sekali membelanjakan uangnya tanpa takut habis? Jumlah nominal dilabel harga saja sudah membuatku tak dapat menutup mulut seketika.

"Taekim sepertinya suka wanita yang seksi." Audra membuyarkan lamunan sambil mencocokkan gaun di tangannya ke tubuhku. Omong-omong ini sudah toko yang ke sekian, dan kakiku mulai pegal. Aku harap sehabis ini kami bisa menyantap makan siang di sekitar sini.

"Dari mana kau tahu?" tanyaku setelah menelan ludah.

"Karena aku tahu, yeah, firasat seorang adik. Pada dasarnya dia itu mesum, aku bisa melihatnya."

"Eum, itu." Aku mengerjap. Mungkin dia benar.

"Kakakku itu tipe apabila kau sudah memberikannya sesuatu yang membuatnya terkesan, dia tidak akan melepaskanmu. Sifatnya menurun dari Dad, karena Mom bilang Dad seperti itu." Aku mengerjap lagi memandang mata indah Audra, dia menyodorkan gaun untukku. "Ayo coba ini, kau harus mengenakannya malam ini,"

"Untuk apa?"

"Ya, untuk kencan dengan Mr. Kim, dia merencanakan malam yang... ugh...." Audra menunjukkan ekspresi takjub dan tersenyum penuh makna. "Dia ingin memperlakukan seorang wanita dengan semestinya, akhirnya dia melakukannya! Ini brilliant! Aku pernah berharap dia bisa melakukannya suatu saat dengan wanita yang tepat, aku berharap banyak soal ini. Bayangkan! Bagaimana dirinya yang kaku itu membuat hal seromantis ini?!" ujarnya sembari berangan-angan dengan gemasnya.

Audra tampak senang sementara aku melihat gaun yang diberikan Audra tersebut. "Aku akan pakai sekarang," ucapku.

"Oke." Audra mempersilakanku beranjak menuju ruang ganti.

***

Kami berniat ingin membeli sepatu setelah keluar dari toko pakaian. Jaraknya hanya dua toko lagi dari tempat kami sebelumnya. Namun tiba-tiba Audra menerima telepon dari seseorang.

Ponselnya berdering dan dia sedikit panik melihat siapa yang menghubunginya. Sampai-sampai Audra menjauh sedikit dariku seolah takut aku menguping pembicaraannya.

Lalu setelah menghabiskan obrolan yang dibumbui sedikit perebatan itu, akhirnya Audra kembali padaku dan mengatakan bahwa dia harus menemui seseorang di Champ de Mars, sebuah tempat berupa lapangan hijau luas yang berada di sekitar Menara Eiffel yang tak jauh dari sini.

Aku menyetujuinya untuk ikut. Kami naik taksi menuju Champ de Mars. Dan sesampainya di sana, Audra kembali dihubungi seseorang. Dengan ekspresi kesal, Audra menempelkan ponselnya ke telinga sambil berjalan memunggungiku. Dan samar aku dengar dia berkata,

"Kau bilang untuk menemuimu di sini, keparat!"

Aku melihatnya kembali marah-marah. "Tunggu di sana kalau begitu! Dasar idiot! Aku tidak pernah memintamu untuk datang ke sini!" Audra berbicara dengan nada yang tinggi lalu berakhir mematikan sambungan sepihak dengan wajah yang sudah sangat kesal. Dia mendekatiku sambil menggerutu samar.

"Naya, kau bisa tunggu di sini sebentar, kan? Aku tidak akan lama."

"Apa terjadi sesuatu?" tanyaku bingung.

Audra mengangguk kecil dengan ekspresi tidak enak. "Kau tunggu di sini karena aku harus menemui seseorang, dan ini penting,"

Aku mendadak bingung. Bukan apa-apa, tapi aku merasa takut.

"Hey, tapi—"

"Aku tidak akan lama, aku akan segera kembali," pungkasnya lantas pergi begitu saja meninggalkanku. Sosoknya berjalan cepat di antara orang-orang dan dengan segera aku tidak lagi dapat melihatnya yang masuk ke sebuah mobil di seberang jalan sana.

Bingung, maka aku hanya dapat pasrah karena yang bisa kulakukan saat ini adalah menunggu sembari berharap, Audra tidak akan lama sehingga aku tidak akan menunggu sampai mati bosan di sini.

Tetapi baru lima belas menit berlalu, rasanya sudah sangat bosan duduk lalu berdiri dan berjalan-jalan kecil sambil berusaha tetap menikmati pemandangan menakjubkan itu, sambil ber-selfie ria, juga membuat beberapa video dan mengunggahnya ke akun instagram dan SNS, menerima like dan comment yang banyak yang membuatku menghabiskan sebagian waktu membaca satu persatu akun-akun pemberi komentar berisi pujian itu. Namun, ini sudah terlalu lama dan aku mulai bosan ditambah lagi aku juga mulai mengantuk.

Merasa kesal, aku cemberut sambil bersedekap, kemudian terngiang-ngiang ucapan Audra sebelum meninggalkanku. "Aku akan segera kembali, kau tunggu saja di sini."

Dan kata 'aku tidak akan lama' itu ternyata lebih lama dari apa yang kuperkirakan. Sudah hampir satu jam menyentuh dua puluh menit ketika aku disuruh menunggu oleh Audra di taman bernama Champ de Mars itu, yang terletak di Sixth Arrodinssement—menampilkan Menara Eiffel yang mengagumkan di sisi barat, di kelilingi rumput hijau terbentang teramat sangat luas dan menenangkan.

Audra tak kunjung kembali. Aku bertanya-tanya kenapa aku tidak diajak saja? Kenapa Audra tidak berpikir bahwa aku bisa saja tersesat di tempat ini?

"Ke mana sih dia!"

Ini sudah lewat pukul enam sore. Dan aku bingung harus pergi ke mana. Ketika kukeluarkan ponselku untuk menghubungi seseorang, sialnya tak ada satupun yang merespon kepanikannya yang kian menjadi ditiap detik.

Taekim juga tidak mengangkat sambungannya. Mungkin dia masih sibuk, nomer Audra.... Ah, aku menyesal karena tidak sempat memintanya tadi. Ini situasi yang sangat menyebalkan! Aku membenci segala hal perihal menunggu, meskipun pemandangan di sini sangatlah bagus tapi jika ditinggal sendirian di tempat asing, apa enaknya? Untukku, semua ini sama sekali tak dapat menikmati itu dengan baik.

Akhirnya, aku mengirimi pesan kepada Jimin juga, tapi tidak mendapat balasan. Karena jengkel, maka aku pun nekat untuk pulang seorang diri. Namun sangat sulit bagiku untuk mencari taksi yang kosong. Jadi, aku berjalan di sepanjang trotoar seraya merenungi betapa sialnya aku hari ini.

Barang-barang belanjaan di tangan dengan dress putih bermotif bunga yang kukenakan meliuk tertiup angin sesekali, rambutku juga, membuatnya semakin menyebalkan.

"Bahagia? Haha, membahagiakan apanya?!" Aku melihat sekitar. "Aku harus mencari taksi di mana? Ke mana sih semua taksi? Kenapa semuanya penuh begitu?"

"Awas saja Taekim! Dia berusaha mengerjaiku dengan cara seperti ini, aku yakin sekali. Aduh... kakiku pegal," kesalku seraya berhenti sejenak untuk memeriksa kakiku, sedikit membuka sepatu flat yang kukenakan, dan ternyata ujung jari di balik kaus kaki putih yang kukenakan tersebut memerah, tentunya berjalan seharian membuatnya jadi begini.

Aku tetap kembali berjalan dengan pelan-pelan, sambil melihat pada mobil-mobil yang lewat, kali saja menemukan taksi yang mungkin kebetulan tidak lewat jalur ini atau bagaimana, aku tak paham.

Tetapi di tengah-tengah rasa kesal itu, aku melihat langit yang perlahan berubah warna membuat lampu-lampu jalanan dan yang ada di sekitar Menara Eiffel tampak menakjubkan. Paling tidak rasa kesalku sedikit luruh dengan semua pemandangan yang dia lihat. Aku pun berhenti ketika sadar bahwa aku semakin dekat dengan Menara Eiffel—menjulang dengan indahnya.

"Woah!" Aku berseru takjub, dengan kepala semakin menengadah memindai ke tingkat tertinggi menara.

Ponsel! Ya, aku harus mengabadikan momen ini! Kapan lagi aku bisa menikmatinya? Mungkin setelah pulang ke Seoul, aku tidak akan lagi bisa kemari.

Maka aku lekas mengambil ponselku, berniat mengabadikan momen, tetapi sial! Lagi-lagi sial! Ponselku mati. Aku ingin berteriak keras-keras, menyumpah. Namun hanya berakhir merengek sendirian di sana. menangis kemudian.

"Aku bisa gila. Aishh!" 

LOVE SCENARIO [lengkap] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang