Sebelum benar-benar meninggalkan Paris, seharian itu Taekim mengajakku untuk berkeliling. Dia membawaku ke Musse du Louvre, sebuah museum di tepi Sungai Seine yang katanya merupakan museum terbesar di dunia.
Aku terperangah sekaligus terkagum melihat arsitektur bergaya klasik yang dimiliki bangunan yang didirikan sejak abad delapan belas ini. Apalagi ketika aku masuk ke dalam. Dia menjelaskan bagaimana sejarah terbangunnya, tragedi yang pernah terjadi, siapa-siapa yang pernah menjadi pemilik, hingga beberapa keputusan dari pemerintah kota Paris untuk menjadikan museum yang sebelumnya merupakan benteng tersebut agar dibuka untuk umum.
Dia berbicara seperti seorang ahli sejarah, pengetahuannya sangat luas untuk memberikan detail yang aku sendiri kurang memahaminya.
Taekim sangat menyukai seni, dengan kamera di tangannya dia terus menerus mengambil gambar. Aku berjalan di sampingnya untuk ikut melihat-lihat benda-benda kuno dari zaman prasejarah hingga abad sembilan belas yang dipamerkan.
Tempat ini luar biasa luas hingga kakiku mulai pegal dan aku mulai berkeringat. Aku tetap berada di dekat Taekim, di belakangnya dan menyaksikan apa yang dia lakukan.
Dia sempat berhenti di depan lukisan Mona Lisa. Katanya di hari-hari tertentu, akan ada banyak sekali pengunjung atau wisatawan yang akan datang untuk memotret lukisan tersebut.
Namun, hari ini hanya beberapa orang terlihat.
Taekim memandangnya dari jarak lima meter, dan selama beberapa detik hingga ia beranjak dari sana. Namun, aku tetarik memandang lukisan ini lebih lama, karena aku terpana bahwa ini adalah kali pertama aku menyaksikannya secara langsung lukisan Mona Lisa yang berukuran 21 x 30 inci, tak terlalu besar seperti yang selama ini aku ketahui.
Aku selalu bertanya-tanya apa sebenarnya arti di balik senyuman Mona Lisa? Siapa dia bagi Leonardo da Vinci yang namanya terukir sebagai pelukis lukisan yang sangat terkenal ini? Mengapa ia meletakkan teori dan kode yang sulit dipecahkan di dalam karyanya, yang banyak sekali diteliti oleh ilmuan-ilmuan dan akademisi-akademisi itu.
"Banyak yang percaya bahwa lukisan ini adalah potret istri seoranng saudagar kaya di Italia, nama aslinya adalah Lisa del Giocondo." Taekim bersuara. Dia berbalik setelah melihatku terdiam di depan lukisan yang kini seperti memandang kami. Senyuman manisnya, namun juga ia tampak murung.
Aku melirik Taekim sejenak. Dia kembali melanjutkan. "Ketika melukisnya, Da Vinci pun diam-diam menaruh hati, namun tentu dia tahu bahwa sangat tidak mungkin baginya untuk memiliki Lisa, untuk itulah setelah diteliti, banyak sekali kode-kode rahasia yang dia letakkan tepat di mata lukisan Mona Lisa, dipercaya bahwa itu sebagai luapan perasaannya yang tak akan pernah tersampaikan."
Kisahnya sedih, bagaimana seorang pria tak dapat memiliki wanita yang sudah dimiliki oleh pria lain. Aku turut merasakan bagaimana sendunya Da Vinci saat melukis wanita yang dia cintai itu. Pasti rasanya sangat menyakitkan.
"Aku kira yang menarik adalah makna di balik senyumannya."
"Eum...." Taekim mengelus dagunya yang sedikit ditumbuhi bulu-bulu halus. "Senyumnya menarik, namun menurutku tatapannya begitu sendu, seolah menggambarkan kesedihan bahwa Lisa juga menaruh hati namun kisah asmara mereka bahkan tak mendapat akhir yang bagus." Taekim melirikku.
"Tatapan tak akan bisa berbohong. Kau tahu, kan?" Taekim tersenyum sebelum dia mengambil kameranya dan memotretku.
Aku kesal dan mengerutkan dahi. "Itu pelanggaran!" sergahku pada Taekim yang berlalu begitu saja. ini sudah dua kali dia melakukannya.
Tak tahu bagaimana hasil jepretan itu sampai Taekim tertawa saat melihat kameranya sendiri. Namun, dia lekas menyembunyikannya saat aku berjalan di sampingnya menuju pintu keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE SCENARIO [lengkap]
FanficJudul sebelumnya: Filter Shin Naya ditantang Jimin untuk membuat si billioner Taekim sembuh dari trauma. Sebagai imbalan Jimin harus putuskan pacarnya. Namun skenario mereka berantakan ketika Taekim benar-benar jatuh cinta dan dia menuntut Naya atas...