CAM
Aku menatap Dee yang sedang duduk ditepi kasur dengan wajah murungnya.
Tadinya aku hanya ingin kedapur untuk mengambil cemilan. Tapi pintu kamarnya terbuka dan aku melihat pemandangan ini.
Belakangan ini, wajah cantik itu selalu terlihat murung.
Hell, yeah. Aku kakaknya dan aku tidak pernah tahu masalah apa saja yang ia hadapi. Kakak macam apa aku ini?
Aku berjalan mendekatinya. Aku tidak pernah tahu kenapa jika berada didekatnya, jantungku selalu berdegup diluar kendali.
"Hey," Sapaku. Ia tampak tersentak tapi beberapa detik kemudian ia tersenyum. Senyum yang selalu aku sukai. "Lo kenapa akhir-akhir ini demen banget bengong?"
Ia menggeleng. "Enggak. Gak apa-apa." Alasan pertama aku tidak pernah mengerti dengan wanita: mereka selalu menutup-nutupi semua dan berusaha terlihat kuat walaupun masalah yang mereka hadapi sangat besar.
"Oh, c'mon, Dee. Gue kakak lo dan lo gak pernah curhat sama gue." Ujarku sembari menariknya ke pelukanku. Aku sedikit merasa geli ketika rambutnya menyentuh dadaku yang terekspos.
Dee mendongak dalam pelukanku. "Lo emang mau dengerin curhatan gue?" Tanyanya. Astaga kenapa ia terlihat begitu menggemaskan?
"Iya lah. Bagi uneg-uneg lo sama gue. Gue gak yakin lo bisa ngehadapin itu semua sendirian. Lo pasti perlu berbagi." Ucapku lalu mengelus rambut pirangnya.
Kalau boleh jujur, aku sedikit tidak mengerti kenapa ia bisa mendapatkan rambut pirang sedangkan Ayahku; Frans dan Ibuku; Eleanor sama-sama memiliki rambut cokelat sepertiku. Tapi aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Hanya sedikit curiga.
Ia bercerita tentang semua yang menyesakkan rongga hatinya.
"Gue... sayang sama Brent."
Kini malah aku yang kekurangan oksigen.
Dan aku mulai menyadari perasaan apa yang selalu menyelimutiku jika berada didekat Dee.
Salahkah perasaan ini?
◇◆◇
DEE
"Dee!" Aku menoleh mendengar dua suara yang nyaris mirip dan tak bisa kubedakan memanggilku.
Siapa lagi kalau bukan si kembar keparat itu?
"Gue kangen lo, nyongs!" Laki-laki yang aku rasa Ethan ——karena ia lebih tinggi dari yang satunya—— merangkulku.
"Gue juga kangen lo, dak." Ucapku. Ethan mengernyit.
"Dak?" Tanyanya.
"Iya, badak." Aku terkekeh dengan ucapanku sendiri. Lalu aku berhenti ketika tidak mendengar tawa susulan.
"Kalo dia badak, gue juga, dong?" Tanya Grayson. Tawaku kembali menyembur.
"Lo yang lebih mirip badak."
"Lo, badak."
"Kita kembar, gue badak, lo juga badak."
"Lagipula lo ngapain juga mirip sama gue. Pake nyusul lagi waktu lahiran."
"Go ask your Mum!"
"That was your Mum fault!"
"My Mum is your Mum!"
Grayson memasang tampang kicepnya. Aku tertawa lagi. Si kembar ini memang hobi membuat orang tertawa.
"Udah-udah, yok kekelas. Kalo lo berdua berantem, sampe idup gue kelar pun kagak bakal selesai-selesai."
◇◆◇
"Aku harap kalian bisa menerima aku dengan baik."
Maggie?!
Aku baru mendengar perkenalan dari murid baru itu karena aku sibuk mendengarkan lagu dari headset ku.
Murid baru itu adalah mantan temanku sewaktu aku masih duduk dibangku menengah pertama. Kenapa aku memanggilnya mantan teman? Karena ia tidak pantas disebut teman. Apa ada teman yang menikung temannya sendiri?
Saat itu aku memergoki mantan pacarku, Dakota. Sedang make out dengannya. Dan dengan tampang tanpa bersalahnya, Maggie mengatakan bahwa dia dan Dakota sudah resmi berpacaran satu hari sesudah aku dan Dakota menjadi kekasih.
Dan mulai saat itu aku menjauhinya, sewaktu SMP juga Maggie sering memfitnahku. Mengatakan bahwa aku sangat senang menyontek. Bukannya sombong, malahan teman-temanku lah yang selalu menyontek padaku.
Aku benci dia.
Maggie tersenyum licik padaku. Apa lagi yang dia inginkan?
Dia duduk di deretan bangku sebelahku. Tetap dengan senyum liciknya, ia menyapaku "hello again, Dee."
Aku hanya mencebik. Memalingkan wajahku darinya.
Bel istirahat berbunyi.
Aku bebas dari Maggie.
Aku pergi ke toilet. Tapi ketika aku melewati toilet pria, aku mendengar getaran pada tembok yang keras.
Dengan ragu aku masuk ke dalam. Tapi tidak ada siapa-siapa.
Aku merinding lalu beranjak untuk keluar sebelum ada yang datang dan berpikiran yang tidak-tidak tentangku.
Tetapi ketika baru 3 langkah aku berjalan, aku mendengar seseorang berteriak.
Seperti teriakan amarah.
Aku menghampiri sumber suara.
"Chris?!" Pekikku. Ya, Chris sedang memukuli tembok tak berdosa itu dengan tangan yang sudah berlumuran darah. Dia tak mendengar pekikanku.
Aku berlari untuk menghentikan aksi bodohnya.
"Stop!" Aku berdiri diantara tangannya dan tembok. Aku memejamkan mataku.
Tapi tidak ada yang memukulku. Aku membuka mataku perlahan dan melihat Chris yang matanya memerah karena amarah. "Bego! Lo ngapain coba?!" Chris memalingkan wajahnya dariku.Aku menarik tangannya kearah wastafel yang kebetulan ada dibelakangnya. Aku menghidupkan keran dan membasuh tangannya. Ia meringis.
"Sakit, 'kan? Makanya jangan bego. Mikir sebelum bertindak." Ucapku ketus. Aku membersihkan tangannya dari darah, lalu mengambil betadine dan handsaplast dari dalam backpack ku dan mengobatinya. "Now tell me, what the fuck is going on?"
Bukannya menjawab. Chris malah memelukku. Aku membalas pelukannya dengan canggung. "Sophie is cheating on me." Ucapan Chris membuatku melepaskan pelukannya.
"Sophie? Really?" Chris mengangguk. Ia mengambil ponselnya dan menunjukkan foto Sophie yang sedang make out dengan....
Gilinsky?!
"Wait... what?! Is that Jack G?!" Lagi-lagi Chris mengangguk dengan wajah sedihnya. Astaga, ternyata jika masalah hati, pria sekuat apapun akan luluh. Aku mengelus pipinya, "I will talk to her. Everything's gonna be okay. Dan, jangan sakitin diri lo——"
KLIK!
Aku menghentikan omonganku dan menurunkan tanganku dari pipi Chris karena mendengar suara kamera.
Hell! I will get on trouble!
KAMU SEDANG MEMBACA
brother ➳ magcon boys
FanfictionDear, God. Kenapa kau memberikannya padaku, jika pada akhirnya aku harus melepaskannya? Copyright 2015 by Dee ©blackprada