18.

2.2K 202 27
                                    

"Hey, Dee." Chris duduk disebelahku. Aku tersenyum padanya.

"Lo kesini gak buat nanya tentang Sophie, 'kan?" Tanya Dee yang membuat Chris mengernyit.

"Apa maksud, lo? Kalian lagi ada masalah?" Kini giliran Chris yang bertanya.

"Intinya, kalo lo nanya tentang kabar terbaru Sophie, gue udah gak bisa kasih tau lo apa-apa lagi." Dee tersenyum. Chris menarik tangan Dee keluar kelas.

"Tell me what's happening?" Chris mendudukkan Dee dibangku taman.

"I don't know. Sophie started it." Dee menunduk. "Dia menjauh. Entah karena apa." Semilir angin menyapu lembut kepalanya. Membuat anak rambutnya keluar karena desiran angin.

"Cantik," Chris melotot mendengar gumamannya sendiri. Ia mengutuk dirinya. Dee menoleh. Apakah ia mendengarnya?

"Chris," Chris menatap mata biru Dee. "Gue ngerasa, kita bakalan jauh." Ucapnya sambil menengadah.

"What do you mean? Yeah." Chris mencoba mencairkan suasana yang entah kenapa menjadi menyedihkan.

"Gue ngerasa, gue- gue bakal menjauh." Meskipun tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Dee. Chris merengkuhnya kedalam pelukannya. Dan pada saat itu juga, tangis dari mata perempuan itu pecah. "Gue gak tau kenapa, Chris. Gue ngerasa bakalan hilang. Aneh, ya."

"Sssh, udah jangan nangis lagi, sahabat gue yang cantik gak boleh cengeng." Chris mengelus lembut rambut pirang Dee.

KLIK!

lagi-lagi suara kamera itu.

"Woi! Siapapun lo, keluar kalo berani!" Kali ini Chris ikut tersulut emosi ketika mendengar suara kamera yang entah siapa fotografernya. Dee melepaskan pelukan Chris.

"Janji sama gue, lo gak akan pernah lupain gue?" Dee menatap Chris dengan mata sembab.

"Janji."

◇◆◇

DEE

Ketika aku berjalan bersama Chris menuju kelas, berbagai macam pandangan menusukku. Tiba-tiba Maggie muncul sambil menggandeng tangan Brent.

Shit.

"Hello, bitch." Chris melotot mendengar sapaan Maggie untukku.

"Lo ngomong apa? Hey, girl. Look at your self, you look like a slut who really horny and wants to have sex with..euhm... a fucking bastard." Kini mata Brent melebar mendengar sindiran Chris.

"Watch your mouth, kid!" Brent menunjuk wajah Chris. Aku menengahi mereka.

"Udah, udah. Ayo, Chris." Aku menarik tangan Chris sebelum mengucapkan permintaan maaf kepada dua insan yang sedang jatuh kedalam jurang kasih sayang itu. "Maaf udah ganggu acara kalian," Lalu aku tersenyum dan mendorong pundak Chris menuju kelas.

Untuk yang kedua kalinya, aku yang meninggalkan Brent.

___

Aku sangat kesal.

Cairan sialan ini tak berhenti mengalir dari hidungku. Apa yang salah dengan hidupku? Mengapa aku sama sekali tak boleh berbahagia?
Persetan dengan leukimia. Aku hanya ingin bahagia!

Dan hal kedua yang membuatku kesal.

Aku lemah.

Aku hanya bisa melampiaskan kekesalanku lewat air mata. Aku hanya bisa menangis, menangis dan menangis.

Aku menghapus jejak darah itu lalu kembali menulis catatan keseharianku pada buku diary berwarna hitam ini. Buku ini, buku ini selalu siap aku tindih dengan tulisan-tulisan mengenai hari-hariku. Dan kebanyakan tentang laki-laki itu, laki-laki yang sangat aku cintai.

Siapa lagi kalau bukan Brent?

Aku kembali menangis mengingat Brent. Tentang bagaimana bahagianya dia jika berada bersama Maggie. Tawa tak pernah lepas dari bibirnya. Tapi bagaimana jika ia bersamaku? Wajah datar selalu tercetak dengan jelas disana, menunjukkan betapa ia sangat-sangat tidak mau berada di dekatku. Mata yang selalu dihiasi warna merah karena tersulut emosi mengenai masalah yang aku sendiripun tak tahu apa itu.

Dan masalah ciuman itu...

Tangisku kembali pecah. Ia menyebutkan nama Katelyn ketika ia menciumku. Jika saja ia sadar, mana mungkin ia melakukan hal itu padaku. Melihatku saja jijik. Haha, jika aku mati pasti ia akan sangat senang.

"Dee?" Aku tersentak. Suara Chandler menghentikan lamunanku. Aku menghapus air mataku sebelum Chandler melihatnya. "Hey," Dia memelukku. "Gue tau lo gak baik-baik aja." Aku membalas pelukannya lalu menangis lagi. Dia sangat mengerti aku, padahal aku sudah mematahkan hatinya.

"Ayo, kita makan malem dulu." Ia menghapus air mataku lalu mengecup kelopak mataku yang sembab. Aku tersenyum dan mengikutinya menuju meja makan.

"Hello, kiddo." Sapa Mum dari meja makan. "Dee? Kamu kenapa, sayang? Kenapa mata kamu sembab?" Tanya Mum padaku. Chandler mengisyaratkan pada Mum bahwa sekarang bukan waktunya untuk membicarakan hal ini. Aku hanya tersenyum.

"Baiklah. Mum tidak akan memaksamu, tapi jika kau butuh tempat untuk bercurah hati, Mum disini." Aku tersenyum lagi. Aku sungguh beruntung selalu mendapatkan kehangatan keluarga.

"Hi, Dad." Sapaku pada Dad yang baru saja turun dari tangga.

"Hello, baby girl." Goda Dad padaku. Aku hanya tertawa kecil. Lalu kami melanjutkan acara makan malam kami.

"Euhm, Dad? Aku boleh bertanya?"

"Of course, baby girl. Memangnya kau mau tanya apa, sayang?" Dad tersenyum padaku sembari menatapku dengan wajah antusias.

"Kenapa Dad sama Mum nitipin Dee dikeluarga Dallas?"

Dad, Mum, dan Chandler tersedak secara bersamaan. Aku mengernyit lalu menuangkan air pada gelas mereka dan memberikannya pada mereka.

Mereka meneguknya dengan ganas lalu menatapku horror.

"Ada apa?" Tanyaku.

"Eh—— okay, maafkan kami. Kami hanya sedikit terkejut." Ucap Dad. Aku hanya mengangguk memaklumi.

"Dulu," Mum membuka penjelasannya. "Kami adalah direktur dan wakil direktur perusahaan Leorus, pada saat itu kami sudah memiliki Chandler, dua tahun kemudian perusahaan itu bangkrut dan Mum melahirkanmu,"

"Apakah aku membuat konsentrasi Mum buyar sehingga tidak fokus dengan Leorus dan Leorus bangkrut?" Tanyaku. Mum menggeleng cepat.

"Tidak, sayang. Kau sama sekali tidak membuat kesalahan, okay?" Tatapan teduhnya membuatku mengangguk. "Itu semua takdir. Dan kami putus asa, kami bisa membahagiakan Chandler tapi tidak denganmu, bahkan untuk membeli susu formula, Dad mu harus bekerja di barber shop. Kami berpikir keras, lalu ide gila itu melesat di pikiran kami. Kami ingin menitipkanmu pada sahabat semasa SMA kami, Fransisco dan Eleanor. Mereka sangat berkecukupan. Setidaknya mereka bisa menanggung segala kebutuhanmu sampai kami bisa kembali menjemputmu dengan hasil usaha kami. Mereka menerimamu dengan senang hati karena mereka memang sangat mengidamkan anak perempuan. Kami meminta tolong pada mereka untuk merahasiakan keadaan kami. Lalu kami membawa Chandler ke London untuk mencari pekerjaan."

"Dan alhasil, kami kembali lagi dan menjemputmu dengan janji kami." Dad melanjutkan penjelasan Mum. Mataku berkaca-kaca, terharu.

"Aku- aku terharu. Kurang beruntung apa aku ini." Air mataku meleleh, membuat mereka bertiga memelukku dan menangis.

"Kami tidak akan melepaskanmu untuk yang kedua kalinya."

brother ➳ magcon boysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang